Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Uang Berkibar Seperti Bendera

7 April 2016   01:29 Diperbarui: 7 April 2016   01:54 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kampung Damai"][/caption]SEKARANG aku terbiasa menjejali anak-anak dengan dongeng menjelang tidur. Saat paling sulit untuk menjelaskan kepada mereka kemana bapaknya pergi. Saat aku kehabisan jawaban kalau Si Bungsu menanyakan kapan bapaknya pulang. Saat ia mengeluh perutnya lapar. Aku tutup teka-teki yang bergelimang pada benak mereka dengan dongeng-dongeng.

“Mak, aku sekarang tidak bertanya lagi tentang bapak. Tapi bawalah aku ke desa yang menyenangkan.” Pinta Si Bungsu suatu malam.

Aku mengingat-ingat, barangkali ada suatu desa yang masih terselip, yang belum aku ceritakan. Maka aku teringat pada desa yang aneh; yang memiliki pegunungan, memiliki padang dengan gundukan-gundukan pasir. Rumah-rumah penduduk yang berada di bukit-bukit. Kalau mereka membuka jendela pada pagi hari, padang pasir bergunduk-gunduk itu akan merona oleh cahaya matahari yang memutih.

Padang pasir itu awalnya dari mana, tidak ada yang tahu. Waktu nenek moyangnya dulu babat alas padang pasir itu sudah ada. Rumah-rumah mereka dibangun di punggung bukit itu, karena di bawah bukit berbatasan dengan padang pasir keluar mata air. Airnya mengalir membentuk sungai kecil yang ujungnya lenyap di tengah-tengah padang pasir. Air bening itu meresap ke dalam tanah.

Rumah-rumah itu semua menghadap ke padang pasir. Bentuknya sama, seperti rumah lukisan anak-anak. Ada satu pintu di sebelah kanan, sebelah kirinya ada jendela dengan penutup selembar daun jendela dari papan. Temboknya juga terbuat dari kayu. Dulu, warna tembok itu sama, putih. Tapi, kemudian berbeda-beda; ada yang dicat merah, putih, hijau, biru. Kayak pelangi.

***

Pagi hari, hampir serentak, jendela-jendela itu dibuka. Ketika matahari merona warna jingga sedang memutih. Kemudian penghuninya keluar dari pintu sebelah jendela, pergi mengambil air. Bapak-bapak mereka pergi ke lereng-lereng gunung untuk bekerja,  mencarikan makan anak-anaknya. Namun tidak setiap hari mereka bisa memperoleh makanan. Kalau tidak mendapatkan pekerjaan hari itu, bapak-bapak mereka mengatakan, “Maaf Nak, hari ini belum kebagian.” Anak-anak mau mengerti. Istrinya mengolah sisa makanan kemarin untuk dimakan hari ini. Tapi kalau tidak ada sisa, mereka puasa. Hanya minum air putih dari sumber air yang dimasak.

Itulah yang dialami keluarga Mistat. Hari itu ia puasa. Bapaknya puasa, ibunya puasa, adiknya juga puasa. Semalam perutnya berbunyi, kayak kokok ayam jago; kruk kruuuk kruuuuukkk.

Meskipun begitu, saat matahari jingga memutih di pucuk gundukan padang pasir, Mistat tidak terlambat membuka jendela. Saat Mistat melebarkan daun jendela dan kepalanya melongok ke luar, matanya melihat ada yang lain di pucuk gundukan padang pasir itu. Ia meneliti benda itu dengan cermat. Benda itu berkibar-kibar seperti melambai-lambai padanya. Benda itu sebuah bendera kecil, seperti bendera mainan yang dibuat anak-anak ketika melakukan peringatan kemerdekaan. Tapi, mengapa ditancapkan di gundukan padang pasir itu?

Mistat bergegas keluar. Kakinya yang mungil berlompatan di sengkedan tanah menuju padang pasir. Ternyata ada beberapa anak yang juga berlari kesana. Mereka beradu cepat, layaknya perlombaan lari untuk memperebutkan juara. Mereka sama-sama cepat. Mereka sampai di bendera yang menancap itu bersama-sama pula.

Mistat terperangah menyaksikan bendera itu. Anak-anak yang lain juga terperangah. Bendera itu berupa lembaran uang yang nilainya paling besar diantara uang kertas. Mereka sudah mengerti tentang uang. Bagaimana untuk mendapatkannya. Apa gunanya uang. Namun, mereka tidak pernah melihat uang sebesar itu nilainya. Kemudian, mereka menjadi semakin kagum dan heran. Karena di bawah bendera itu ada peti kayu yang di sela-sela tutupnya menyembul lembaran yang sama dengan bendera itu.

Mistat dan anak-anak sekampungnya itu hanya berani memandang. Mereka tidak berani menyentuh, apa lagi mengambilnya. Mereka semburat lari menuju rumah masing-masing, memberi tahu orang tua mereka, menceritakan kepada kawan-kawannya, mengabarkan kepada sesepuh kampung.

“Ada bendera.” Kata Mistat.

“Bendera uang.” Kata teman Mistat.

“Bendera uang berkibar-kibar.” Kata teman Mistat yang lain.

“Dan sepeti uang.” Kata yang lain.

Sesepuh kampung mengernyitkan dahinya. Memata-matai padang pasir. Kemudian mengajak orang-orang kampung; bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak. Mereka berduyun-duyun menuju bendera uang di pucuk gundukan padang pasir. Kaki-kaki mereka berderap bersama, mengepulkan debu-debu pasir seperti pasukan perang yang sedang menyerbu.

Mereka sampai di tancapan bendera uang ketika cahaya matahari sudah sangat putih. Sesepuh kampung berhenti di dekat bendera uang itu. Orang-orang kampung berhenti mengelilingi uang yang berkibar-kibar itu. Kepala Sesepuh kampung melongok mendekat untuk memperjelas uang itu. Orang-orang kampung ikut melongok.

“Betul. Uang asli.” Katanya sambil menegakkan badanya.

Orang-orang kampung ikut menegakkan badan mereka, kemudian saling berpandangan satu sama lain. Sesepuh kampung berbalik arah, bergegas meninggalkan gundukan padang pasir. Orang-orang mengikutinya, pulang ke rumah maisng-masing. Tidak satu pun diantara mereka yang ingin mengambil uang itu. Tidak ada niat sedikit pun di hati mereka. Mereka hanya mengawasi bendera uang itu dari balik jendela. Berkibar-kibar dihembus angin.

***

Kebiasaan di kampung ini sudah berjalan bertahun-tahu. Tidak ada satu orang pun yang berani ingin memiliki barang yang bukan miliknya. Jangankan selembar uang yang jelas-jelas ada nilainya. Terhadap sebiji jambu yang jatuh di halaman rumahnya yang terbawa kelelawar di waktu malam, mereka tidak berani memungutnya untuk dimakan. Paling jauh mereka akan menyingkirkan di pinggir pagar sampai jambu itu membusuk.

Tidak ada jadwal ronda malam untuk menjaga keamanan kampung. Ibaratnya rumah pintunya terbuka lebar di waktu malam pun tak akan ada seekor kucing yang berani masuk. Mereka merasa kampungnya ini sudah ada yang menjaga. Penjaga keamanan kampung itu bersemayam di pucuk gunung yang ada di atas kampung mereka. Sosoknya adalah seekor anjing hitam kelam bermata bening menyala dengan lidah menjulur lebar.

Anjing itu sudah ada sejak nenek moyang mereka bermukim di kampung ini. Tidak ada yang mengetahui asal usul anjing itu. Ia akan turun dari pucuk gunung itu tengah malam, untuk menangkap seseorang yang berani mencuri di kampung ini.

Orang-orang terdahulu di kampung ini hanya mendapat kisah anjing itu dari orang tua mereka. Karena mereka hanya mengetahui dari cerita, kemudian ada saja yang mengangap itu hanya cerita bualan. Diantara mereka, karena hidupnya tergencet dan tidak sabar menghadapinya, ada yang mengambil kambing tetangganya sendiri. Esoknya si pencuri kambing itu terikat di bawah pohon waru, setali dengan kambing itu. Ia terbebas dari hukuman setelah minta ampun.

Pencuri kambing itu mengisahkan kepada orang-orang tentang pengalaman itu; ketika ia sedang menuntun kambing di jalan setapak untuk dibawa ke desa seberang, tiba-tiba ada sorot cahaya meluncur dari atas gunung. Cahaya yang menusuk matanya itu dibarengi suara lolongan yang memekik. Sebelum ia dapat melarikan diri, seekor anjing hitam kelam menerkamnya. Ia tersungkur. Kemudian ia tidak sadarkan diri. Tahu-tahu sudah terikat di pohon waru.

***

Begitulah yang terjadi bertahun-tahun, turun temurun di kampung itu. Namun, kadang-kadang, anak-anak ingin melihat anjing hitam mata menyala itu turun ke desanya. Mistat juga ingin melihat anjing itu. Ia berharap ada orang yang datang ke gundukan padang pasir itu dan mengambil lembaran uang itu, agar sang penjaga kampung ini menyergapnya.

Karenanya, Mistat memasang telinga baik-baik. Kerap kali mengintip dari lubang dinding papan kayu rumahnya. Hanya desir angin bersautan dengan suara belalang daun yang terdengar di luar sana. Padang pasir sangat gelap. Pekat. Hanya terlihat bentangan layar hitam dari lubang tembok rumahnya.

Harapan Mistat berkecamuk di dalam pikirannya. Hingga matanya tak kuat menahan kantuk. Orang yang ia inginkan mengambil lembaran uang itu muncul dalam mimpinya. Wajahnya terpampang antara jelas dan kabur. Saat orang itu menggenggam lemabaran uang dari dalam peti, Mistat melihat kelebatan hewan hitam itu. Namun, agak berbeda dengan yang diceritakan orang tua di kampung itu, anjing itu matanya tidak hanya mengeluarkan cahaya, tetapi juga mengeluarkan sepasang tombak dengan matanya yang runcing. Badan ajing itu lebih besar dari yang ia bayangkan, kira-kira sebesar anak sapi. Anjing besar itu menerkam pencuri lembaran uang dan mencaplok kepalanya hingga putus. Mengerikan!

Mistat berteriak ketakutan. Saat itu Mistat dibangunkan bapaknya. Laki-laki itu bilang dengan tergopoh-gopoh, kalau orang-orang kampung berkerumun di padang pasir. Katanya, uang itu telah dirampok orang.

Mistat terduduk dengan keringat bercucuran, kemudian melongok ke jendela. Rupanya cahaya matahari sudah berpendar. Mistat segera melompat ke kerumunan orang-orang kampung.

Bendera uang itu memang sudah lenyap. Sedangkan yang di dalam peti juga tak berbekas, bersama petinya. Mistat memandangi wajah orang-orang itu. Wajah-wajah dengan sorot mata yang tak menentu. Ada tanda tanya penyesalan;  kenapa ada orang yang berani mengambil bukan miliknya? Ada kecemasan yang memastikan bakal ada peristiwa yang buruk di kampungnya; munculnya anjing hitam pekat bersorot mata tajam.

***

Sepanjang hari tidak ada satu orang pun penduduk kampung ini yang bepergian. Mereka berkerumun di depan rumah mendendangkan kisah-kisah yang mencuat dalam pikirannya. Orang tua-orang tua memesankan pada anak-anak, bahwa menjaga kejujuran merupakan keutamaan di kampung ini. Kalau tidak, penjaga kampung ini pasti akan turun dari gunung dan menemukannya. Dia akan diterkam. Dipermalukan di hadapan  seluruh pasang mata yang ada di kampung ini.

Pembicaraan sepanjang siang tadi, membuat malam ini menjadi mencekam. Seluruh kampung seperti dibungkam. Orang-orang tidak tidur, ada di dalam rumah masing-masing. Mereka ingin sekali menonton perampok itu diterkam anjing hitam kelam. Mata mereka mengintip di lubang-lubang dinding. Namun, sampai sejauh malam tidak ada satu kejadian apapun di luar sana.

Saat menjelang fajar, ketika rumput-rumput mulai basah oleh embun, Sesepuh kampung mendatangi rumah demi rumah. Ia mengabarkan ada orang yang menuju gundukan pasir dengan membawa bendera kecil dan peti dijinjingnya. Anak-anak dan perempuan tetap berdiam di rumah. Para laki-laki melangkah ke padang pasir. Kakinya berderap bersama. Mereka mengepung perampok itu. Menangkapnya.

Sesepuh kampung menginterogasi orang itu. Ia laki-laki berwajah berseri. Ia bukan orang kampung ini. Laki-laki itu mengatakan, kalau uang itu miliknya. Ia sengaja menaruhnya di tempat itu, karena ingin membuktikan kalau kampung ini dihuni orang-orang yang jujur. Orang-orang yang pantang untuk mencuri.

Ketika orang-orang tidak percaya dengan ucapanya, laki-laki itu mengatakan, “Kalau uang ini bukan uangku, aku pasti sudah diterkam penjaga kampung ini, bukan?”

Orang-orang kampung tidak bisa berbuat lain selain mempercayainya.

***

“Begitulah kisah tentang desa itu, Nak.” Kataku menutup dongeng.

“Dimana desa itu? Bapak ada di sana? Aku ingin ke sana.” Kata Si Bungsu.

“Tidurlah! Nanti kamu akan menemukan desa itu dalam tidurmu.”

 

 

Djoglo, Pandanlandung, Malang

2016

iman.suwongso@yahoo.co.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun