***
Sepanjang hari tidak ada satu orang pun penduduk kampung ini yang bepergian. Mereka berkerumun di depan rumah mendendangkan kisah-kisah yang mencuat dalam pikirannya. Orang tua-orang tua memesankan pada anak-anak, bahwa menjaga kejujuran merupakan keutamaan di kampung ini. Kalau tidak, penjaga kampung ini pasti akan turun dari gunung dan menemukannya. Dia akan diterkam. Dipermalukan di hadapan seluruh pasang mata yang ada di kampung ini.
Pembicaraan sepanjang siang tadi, membuat malam ini menjadi mencekam. Seluruh kampung seperti dibungkam. Orang-orang tidak tidur, ada di dalam rumah masing-masing. Mereka ingin sekali menonton perampok itu diterkam anjing hitam kelam. Mata mereka mengintip di lubang-lubang dinding. Namun, sampai sejauh malam tidak ada satu kejadian apapun di luar sana.
Saat menjelang fajar, ketika rumput-rumput mulai basah oleh embun, Sesepuh kampung mendatangi rumah demi rumah. Ia mengabarkan ada orang yang menuju gundukan pasir dengan membawa bendera kecil dan peti dijinjingnya. Anak-anak dan perempuan tetap berdiam di rumah. Para laki-laki melangkah ke padang pasir. Kakinya berderap bersama. Mereka mengepung perampok itu. Menangkapnya.
Sesepuh kampung menginterogasi orang itu. Ia laki-laki berwajah berseri. Ia bukan orang kampung ini. Laki-laki itu mengatakan, kalau uang itu miliknya. Ia sengaja menaruhnya di tempat itu, karena ingin membuktikan kalau kampung ini dihuni orang-orang yang jujur. Orang-orang yang pantang untuk mencuri.
Ketika orang-orang tidak percaya dengan ucapanya, laki-laki itu mengatakan, “Kalau uang ini bukan uangku, aku pasti sudah diterkam penjaga kampung ini, bukan?”
Orang-orang kampung tidak bisa berbuat lain selain mempercayainya.
***
“Begitulah kisah tentang desa itu, Nak.” Kataku menutup dongeng.
“Dimana desa itu? Bapak ada di sana? Aku ingin ke sana.” Kata Si Bungsu.
“Tidurlah! Nanti kamu akan menemukan desa itu dalam tidurmu.”