Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Uang Berkibar Seperti Bendera

7 April 2016   01:29 Diperbarui: 7 April 2016   01:54 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak ada jadwal ronda malam untuk menjaga keamanan kampung. Ibaratnya rumah pintunya terbuka lebar di waktu malam pun tak akan ada seekor kucing yang berani masuk. Mereka merasa kampungnya ini sudah ada yang menjaga. Penjaga keamanan kampung itu bersemayam di pucuk gunung yang ada di atas kampung mereka. Sosoknya adalah seekor anjing hitam kelam bermata bening menyala dengan lidah menjulur lebar.

Anjing itu sudah ada sejak nenek moyang mereka bermukim di kampung ini. Tidak ada yang mengetahui asal usul anjing itu. Ia akan turun dari pucuk gunung itu tengah malam, untuk menangkap seseorang yang berani mencuri di kampung ini.

Orang-orang terdahulu di kampung ini hanya mendapat kisah anjing itu dari orang tua mereka. Karena mereka hanya mengetahui dari cerita, kemudian ada saja yang mengangap itu hanya cerita bualan. Diantara mereka, karena hidupnya tergencet dan tidak sabar menghadapinya, ada yang mengambil kambing tetangganya sendiri. Esoknya si pencuri kambing itu terikat di bawah pohon waru, setali dengan kambing itu. Ia terbebas dari hukuman setelah minta ampun.

Pencuri kambing itu mengisahkan kepada orang-orang tentang pengalaman itu; ketika ia sedang menuntun kambing di jalan setapak untuk dibawa ke desa seberang, tiba-tiba ada sorot cahaya meluncur dari atas gunung. Cahaya yang menusuk matanya itu dibarengi suara lolongan yang memekik. Sebelum ia dapat melarikan diri, seekor anjing hitam kelam menerkamnya. Ia tersungkur. Kemudian ia tidak sadarkan diri. Tahu-tahu sudah terikat di pohon waru.

***

Begitulah yang terjadi bertahun-tahun, turun temurun di kampung itu. Namun, kadang-kadang, anak-anak ingin melihat anjing hitam mata menyala itu turun ke desanya. Mistat juga ingin melihat anjing itu. Ia berharap ada orang yang datang ke gundukan padang pasir itu dan mengambil lembaran uang itu, agar sang penjaga kampung ini menyergapnya.

Karenanya, Mistat memasang telinga baik-baik. Kerap kali mengintip dari lubang dinding papan kayu rumahnya. Hanya desir angin bersautan dengan suara belalang daun yang terdengar di luar sana. Padang pasir sangat gelap. Pekat. Hanya terlihat bentangan layar hitam dari lubang tembok rumahnya.

Harapan Mistat berkecamuk di dalam pikirannya. Hingga matanya tak kuat menahan kantuk. Orang yang ia inginkan mengambil lembaran uang itu muncul dalam mimpinya. Wajahnya terpampang antara jelas dan kabur. Saat orang itu menggenggam lemabaran uang dari dalam peti, Mistat melihat kelebatan hewan hitam itu. Namun, agak berbeda dengan yang diceritakan orang tua di kampung itu, anjing itu matanya tidak hanya mengeluarkan cahaya, tetapi juga mengeluarkan sepasang tombak dengan matanya yang runcing. Badan ajing itu lebih besar dari yang ia bayangkan, kira-kira sebesar anak sapi. Anjing besar itu menerkam pencuri lembaran uang dan mencaplok kepalanya hingga putus. Mengerikan!

Mistat berteriak ketakutan. Saat itu Mistat dibangunkan bapaknya. Laki-laki itu bilang dengan tergopoh-gopoh, kalau orang-orang kampung berkerumun di padang pasir. Katanya, uang itu telah dirampok orang.

Mistat terduduk dengan keringat bercucuran, kemudian melongok ke jendela. Rupanya cahaya matahari sudah berpendar. Mistat segera melompat ke kerumunan orang-orang kampung.

Bendera uang itu memang sudah lenyap. Sedangkan yang di dalam peti juga tak berbekas, bersama petinya. Mistat memandangi wajah orang-orang itu. Wajah-wajah dengan sorot mata yang tak menentu. Ada tanda tanya penyesalan;  kenapa ada orang yang berani mengambil bukan miliknya? Ada kecemasan yang memastikan bakal ada peristiwa yang buruk di kampungnya; munculnya anjing hitam pekat bersorot mata tajam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun