Mistat dan anak-anak sekampungnya itu hanya berani memandang. Mereka tidak berani menyentuh, apa lagi mengambilnya. Mereka semburat lari menuju rumah masing-masing, memberi tahu orang tua mereka, menceritakan kepada kawan-kawannya, mengabarkan kepada sesepuh kampung.
“Ada bendera.” Kata Mistat.
“Bendera uang.” Kata teman Mistat.
“Bendera uang berkibar-kibar.” Kata teman Mistat yang lain.
“Dan sepeti uang.” Kata yang lain.
Sesepuh kampung mengernyitkan dahinya. Memata-matai padang pasir. Kemudian mengajak orang-orang kampung; bapak-bapak, ibu-ibu, dan anak-anak. Mereka berduyun-duyun menuju bendera uang di pucuk gundukan padang pasir. Kaki-kaki mereka berderap bersama, mengepulkan debu-debu pasir seperti pasukan perang yang sedang menyerbu.
Mereka sampai di tancapan bendera uang ketika cahaya matahari sudah sangat putih. Sesepuh kampung berhenti di dekat bendera uang itu. Orang-orang kampung berhenti mengelilingi uang yang berkibar-kibar itu. Kepala Sesepuh kampung melongok mendekat untuk memperjelas uang itu. Orang-orang kampung ikut melongok.
“Betul. Uang asli.” Katanya sambil menegakkan badanya.
Orang-orang kampung ikut menegakkan badan mereka, kemudian saling berpandangan satu sama lain. Sesepuh kampung berbalik arah, bergegas meninggalkan gundukan padang pasir. Orang-orang mengikutinya, pulang ke rumah maisng-masing. Tidak satu pun diantara mereka yang ingin mengambil uang itu. Tidak ada niat sedikit pun di hati mereka. Mereka hanya mengawasi bendera uang itu dari balik jendela. Berkibar-kibar dihembus angin.
***
Kebiasaan di kampung ini sudah berjalan bertahun-tahu. Tidak ada satu orang pun yang berani ingin memiliki barang yang bukan miliknya. Jangankan selembar uang yang jelas-jelas ada nilainya. Terhadap sebiji jambu yang jatuh di halaman rumahnya yang terbawa kelelawar di waktu malam, mereka tidak berani memungutnya untuk dimakan. Paling jauh mereka akan menyingkirkan di pinggir pagar sampai jambu itu membusuk.