[caption caption="Kampung Damai"][/caption]SEKARANG aku terbiasa menjejali anak-anak dengan dongeng menjelang tidur. Saat paling sulit untuk menjelaskan kepada mereka kemana bapaknya pergi. Saat aku kehabisan jawaban kalau Si Bungsu menanyakan kapan bapaknya pulang. Saat ia mengeluh perutnya lapar. Aku tutup teka-teki yang bergelimang pada benak mereka dengan dongeng-dongeng.
“Mak, aku sekarang tidak bertanya lagi tentang bapak. Tapi bawalah aku ke desa yang menyenangkan.” Pinta Si Bungsu suatu malam.
Aku mengingat-ingat, barangkali ada suatu desa yang masih terselip, yang belum aku ceritakan. Maka aku teringat pada desa yang aneh; yang memiliki pegunungan, memiliki padang dengan gundukan-gundukan pasir. Rumah-rumah penduduk yang berada di bukit-bukit. Kalau mereka membuka jendela pada pagi hari, padang pasir bergunduk-gunduk itu akan merona oleh cahaya matahari yang memutih.
Padang pasir itu awalnya dari mana, tidak ada yang tahu. Waktu nenek moyangnya dulu babat alas padang pasir itu sudah ada. Rumah-rumah mereka dibangun di punggung bukit itu, karena di bawah bukit berbatasan dengan padang pasir keluar mata air. Airnya mengalir membentuk sungai kecil yang ujungnya lenyap di tengah-tengah padang pasir. Air bening itu meresap ke dalam tanah.
Rumah-rumah itu semua menghadap ke padang pasir. Bentuknya sama, seperti rumah lukisan anak-anak. Ada satu pintu di sebelah kanan, sebelah kirinya ada jendela dengan penutup selembar daun jendela dari papan. Temboknya juga terbuat dari kayu. Dulu, warna tembok itu sama, putih. Tapi, kemudian berbeda-beda; ada yang dicat merah, putih, hijau, biru. Kayak pelangi.
***
Pagi hari, hampir serentak, jendela-jendela itu dibuka. Ketika matahari merona warna jingga sedang memutih. Kemudian penghuninya keluar dari pintu sebelah jendela, pergi mengambil air. Bapak-bapak mereka pergi ke lereng-lereng gunung untuk bekerja, mencarikan makan anak-anaknya. Namun tidak setiap hari mereka bisa memperoleh makanan. Kalau tidak mendapatkan pekerjaan hari itu, bapak-bapak mereka mengatakan, “Maaf Nak, hari ini belum kebagian.” Anak-anak mau mengerti. Istrinya mengolah sisa makanan kemarin untuk dimakan hari ini. Tapi kalau tidak ada sisa, mereka puasa. Hanya minum air putih dari sumber air yang dimasak.
Itulah yang dialami keluarga Mistat. Hari itu ia puasa. Bapaknya puasa, ibunya puasa, adiknya juga puasa. Semalam perutnya berbunyi, kayak kokok ayam jago; kruk kruuuk kruuuuukkk.
Meskipun begitu, saat matahari jingga memutih di pucuk gundukan padang pasir, Mistat tidak terlambat membuka jendela. Saat Mistat melebarkan daun jendela dan kepalanya melongok ke luar, matanya melihat ada yang lain di pucuk gundukan padang pasir itu. Ia meneliti benda itu dengan cermat. Benda itu berkibar-kibar seperti melambai-lambai padanya. Benda itu sebuah bendera kecil, seperti bendera mainan yang dibuat anak-anak ketika melakukan peringatan kemerdekaan. Tapi, mengapa ditancapkan di gundukan padang pasir itu?
Mistat bergegas keluar. Kakinya yang mungil berlompatan di sengkedan tanah menuju padang pasir. Ternyata ada beberapa anak yang juga berlari kesana. Mereka beradu cepat, layaknya perlombaan lari untuk memperebutkan juara. Mereka sama-sama cepat. Mereka sampai di bendera yang menancap itu bersama-sama pula.
Mistat terperangah menyaksikan bendera itu. Anak-anak yang lain juga terperangah. Bendera itu berupa lembaran uang yang nilainya paling besar diantara uang kertas. Mereka sudah mengerti tentang uang. Bagaimana untuk mendapatkannya. Apa gunanya uang. Namun, mereka tidak pernah melihat uang sebesar itu nilainya. Kemudian, mereka menjadi semakin kagum dan heran. Karena di bawah bendera itu ada peti kayu yang di sela-sela tutupnya menyembul lembaran yang sama dengan bendera itu.