Mohon tunggu...
Iman Ni'matullah
Iman Ni'matullah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Praktisi Bank Syariah & Aktifis Pusat Pelatihan Wirausaha

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan Shanghai - Shandong di Musim Semi

27 April 2012   10:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:02 507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Atas biaya dari kantor, kami berkesempatan mengunjungi negara China. Negeri yang dihuni milyaran manusia bermata sipit dan pekerja keras. Saya dibekali oleh kantor uang tunai 1350 dollar dan tiket pulang pergi seniali 908 dollar.

Saya dan 2 orang teman, Kang Imad dan Pak Tatang berangkat dari Bandara Soekarno Hatta hari minggu 23 April 2012 jam 11.45 malam. Sempat makan pisang molen hangat dan secangkir teh lemon dingin di Lounge Bandara dengan tarif Rp.1 dimanja oleh bank penerbit kartu kredit.

Kami diterbangkan oleh Garuda Indonesia dengan pesawat berbadan lebar. Mendapatkan kursi empuk berbantal dan berselimut yang posisinya tepat di depan toilet. Sehingga jika ada penumpang yang buang air akan terdengar suara air mengalir deras membersihkan closet. Untuk itu kami berusaha tertidur lelap.

Saya dibangunkan teman pada jam 5 pagi. Lalu bertayammum dan menunaikan shalat subuh. Hawa dingin mulai terasa. Selesai shalat, saya lanjutkan tidur sebelum mendarat di Bandara Pudong Shanghai jam 7 pagi.

Shanghai pagi hari. Udara sejuk bersemilir menyapa kami. Seolah berucap selamat datang. Orang-orang bermata sipit bergegas. Saya pikir Orang China berjalan sangat cepat. Berbeda dengan saya. Mereka fokus dan seperti tergesa-gesa.

Setelah mengambil bagasi, kami beranjak ke gerbang keluar. Di depan sudah banyak penjemput yang mengacung-acungkan nama orang. Banyak yang menggunakan huruf mandarin yang sama sekali tak bisa saya baca. Mata saya berputar mencari nama saya dan berhasil.

"Nice to meet you, Mr. Iman, My Name is Golden Gao. Well Come to Shanghai" seorang lelaki berusia sekitar 40 tahun menyalami saya. "Nice to meet you, Mr. Gao. My name is Iman".

Pelafalan bahasa Inggris Mr. Gao aneh. Saya yang tak terlalu mahir bahasa Inggris menjadi lebih sulit untuk mencerna percakapannya. Beruntung teman saya yang pernah kuliah di Inggris dapat menangkap segala ucapannya sehingga saya dapat terbantu dengan penjelasannya bila ada kata yang tak dapat saya tangkap.

Kami melaju di atas mobil merk Buick berkapasitas 6 tempat duduk. Setir kemudi di sebelah kiri. Mr. Gao duduk di sebelah kanan dekat sopir. Saya duduk di belakang Mr. Gao. Kang Imad di belakang sopir, dan Pak Tatang di bangku belakang. Suspensi mobil yang baik ditambah jalanan yang mulus dan lengang membuat perjalanan kami ke Kota Wuxi terasa nyaman.

Jalanan di Shanghai pagi ini cukup lengang. Sebelah kanan dan kiri berjejer apartemen yang tertata rapi. Pohon-pohon yang tengah bersemi melambai-lambai seolah menunjukkan kesukaannya dengan musim semi. Menara listrik tegangan tinggi terpancang gagah dengan kabel panjang terbentang. Sesekali saya terkaget melihat anak balita duduk disebelah kanan depan mobil. Saya mengira anak itu sedang menyetir.

3 jam berlalu kami sampai di Kota Wuxi. Tepatnya di sebuah pabrik pembuatan boiler untuk pembangkit listrik. Kami disambut ramah di ruang rapat. Berbincang mengenai proyek yang sedang saya tangani.

Siang hari kami disuguhi makan siang. Dengan hati-hati kami sampaikan bahwa kami muslim, tidak diperbolehkan konsumsi daging babi dan alkohol. "No pork and no wine, please", kata Kang Imad. Kami dihidangkan nasi, sup ayam, ikan pindang, sapi kecap, udang rebus, sayur bayam, pisang, dan air jeruk. Selesai makan, saya berkata "Xie Xie". Mereka tertawa, "Wah Anda ternyata bisa bahasa China". "Cuma itu yang saya bisa" jawab saya malu-malu.

Selesai makan Mr. Gao mengajak kami ke stasiun. Dia menginfokan bahwa jadwal keberangkatan kereta ekspress sebentar lagi. Sopir disuruhnya untuk mempercepat laju. Berkali-kali dia melihat jam tangan. Berlari-lari kami mengikuti Mr. Gao seraya menyeret koper yang cukup berat. Pak Tatang yang berumur 52 tahun sesekali berhenti dengan nafas tersengal. Sampai di stasiun, Mr. Gao meminta passport kami untuk pemeriksaan. Tas kami diperiksa di X-Ray seperti di Bandara.

Langkah kami terus dipercepat menuju peron. Kereta hanya tinggal menunggu kami berempat. Saya lihat Pak Tatang kembali berhenti. Dia menghela nafas. Kasihan sekali. Pintu kereta api masih terbuka saat kami tiba. Petugas berteriak agar kami segera masuk. Pintu secara otomatis tertutup begitu tas Pak Tatang diseret ke dalam oleh pemiliknya. Kereta pun langsung melaju dengan cepat. Wuiihh, ini pengalaman yang melelahkan.

Kereta ini berwarna putih. Kepalanya seperti peluru. lancip dan lonjong. Sangat aerodinamis. Kursinya adalah sofa berwarna merah dan bisa diputar sesuai keinginan penumpang. Koper-koper tersusun rapi di atas bangku. Para penumpang asyik dengan gadgetnya. Mereka kebanyakan menggunakan produk Apple. Saya tidak menemukan Blackberry di sini.

Di masing-masing gerbong terdapat televisi dengan suguhan acara yang diproduksi sendiri oleh pengelola kereta. Disebelah TV terdapat display yang berisi informasi suhu udara di luar, nama stasiun yang akan dituju, dan kecepatan kereta. "300 KM/h" begitu saya baca. Cepat sekali. Meski cepat, saya tidak merasakan guncangan sama sekali.

Saya melihat tiket yang diberikan Mr. Gao tadi. Bentuknya seperti kartu nama berbahan plastik. Berisi informasi tujuan, nama penumpang, dan tarif sebesar 355 Yuan, atau sekitar 500 ribu Rupiah. Perjalanan dari Kota Wuxi ke Kota Jinan ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kecepatan rata-rata 300 KM/jam.

Kota Jinan sore hari. Matahari senja menyemburatkan cahaya jingga di ufuk barat. Angin semilir agak dingin. Para wanita bersepeda. Anak-anak muda bercengkarama di taman. Jinan adalah ibu kota Provinsi Shandong. Orang-orang berjalan kaki dengan cepat di pedestrian yang sangat lebar dan bersahabat. Pohon sakura memamerkan bunganya dengan ceria. Di sini saya tidak melihat poster-poster gambar partai politik dan foto-foto orang tersenyum.

Kami menuju hotel. Receptionist menyambut kami dengan bahasa Mandarin, "Nihao" begitu yang saya dengar. Mr. Gao mengurus check-in kami. Mereka bercakap sangat cepat. Kami tak bisa menangkap satu kata pun yang dapat kami mengerti. Mr. Gao memberikan kami kunci kamar satu per satu.

Malam mulai memperlihatkan warnanya yang pekat. Namun lampu-lampu jalan mengurangi kegelapannya. Kota Jinan cukup ramai di malam hari ini. Pedagang makanan dan para pekerja yang sedang melepas lelah seolah sedang bertukar keberuntungan. Mobil-mobil taksi bermerk VW berkeliaran.

Makan malam kami begitu istimewa di restoran seafood ini. Di ruangan tertutup kami dipersilahkan duduk di meja bulat yang di atasnya ada kaca yang dapat di putar. Ada 9 orang yang makan di meja ini. Kami bertiga, Mr. Gao, Mr. Wang, dan teman-temannya.

Mr. Wang menawari kami beer merk Tsing Tao." Ini beer paling terkenal di Shandong", katanya. "Sorry sir, No Pork, No wine, No Beer" begitu kata saya meniru ucapan Kang Imad tadi siang.

Akhirnya kami disuguhi juice peach dan juice jeruk, tentu saja dilengkapi dengan makanan utama lainnya. Kerang rebus, udang rebus, sup ikan, sapi cincang, telur sayur, dimsum, sup jagung, dan roti. Kenyang sekali.

Saya mencatat hal menarik. Mereka mengacungkan gelas sloki yang berisi beer Tsing Tao ke arah tengah meja, teman-temannya ikut mengacungkan dan saling menyentuhkan gelas, lalu mereka minum bersama-sama hingga habis. Kami pun ikut mengacungkan gelas. Bedanya yang kami minum juice. Mereka melakukannya berulang-ulang hingga habis 2 botol besar perorang. Kuat sekali.

Saya melihat Mr. Gao memberikan sebatang rokok kepada temannya yang ternyata adalah Pejabat di pabrik yang akan kami kunjungi esok hari. Mr. Gao lalu mengambil korek api gas dan menyalakan rokok yang sudah terselip di bibir si pejabat tadi. Ini tanda kehormatan dan keakraban.

Malam semakin larut memaksa para pekerja keras kembali ke peraduan. Angin semakin kencang menghembuskan suhu dingin. Lelaki tua mulai menutup tokonya. Kami pulang ke hotel. Berendam di air hangat. Saya baru ingat, kami belum mandi sejak semalam. Meregangkan kaki dan punggung yang lelah. Shalat dan beristirahat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun