Siang hari kami disuguhi makan siang. Dengan hati-hati kami sampaikan bahwa kami muslim, tidak diperbolehkan konsumsi daging babi dan alkohol. "No pork and no wine, please", kata Kang Imad. Kami dihidangkan nasi, sup ayam, ikan pindang, sapi kecap, udang rebus, sayur bayam, pisang, dan air jeruk. Selesai makan, saya berkata "Xie Xie". Mereka tertawa, "Wah Anda ternyata bisa bahasa China". "Cuma itu yang saya bisa" jawab saya malu-malu.
Selesai makan Mr. Gao mengajak kami ke stasiun. Dia menginfokan bahwa jadwal keberangkatan kereta ekspress sebentar lagi. Sopir disuruhnya untuk mempercepat laju. Berkali-kali dia melihat jam tangan. Berlari-lari kami mengikuti Mr. Gao seraya menyeret koper yang cukup berat. Pak Tatang yang berumur 52 tahun sesekali berhenti dengan nafas tersengal. Sampai di stasiun, Mr. Gao meminta passport kami untuk pemeriksaan. Tas kami diperiksa di X-Ray seperti di Bandara.
Langkah kami terus dipercepat menuju peron. Kereta hanya tinggal menunggu kami berempat. Saya lihat Pak Tatang kembali berhenti. Dia menghela nafas. Kasihan sekali. Pintu kereta api masih terbuka saat kami tiba. Petugas berteriak agar kami segera masuk. Pintu secara otomatis tertutup begitu tas Pak Tatang diseret ke dalam oleh pemiliknya. Kereta pun langsung melaju dengan cepat. Wuiihh, ini pengalaman yang melelahkan.
Kereta ini berwarna putih. Kepalanya seperti peluru. lancip dan lonjong. Sangat aerodinamis. Kursinya adalah sofa berwarna merah dan bisa diputar sesuai keinginan penumpang. Koper-koper tersusun rapi di atas bangku. Para penumpang asyik dengan gadgetnya. Mereka kebanyakan menggunakan produk Apple. Saya tidak menemukan Blackberry di sini.
Di masing-masing gerbong terdapat televisi dengan suguhan acara yang diproduksi sendiri oleh pengelola kereta. Disebelah TV terdapat display yang berisi informasi suhu udara di luar, nama stasiun yang akan dituju, dan kecepatan kereta. "300 KM/h" begitu saya baca. Cepat sekali. Meski cepat, saya tidak merasakan guncangan sama sekali.
Saya melihat tiket yang diberikan Mr. Gao tadi. Bentuknya seperti kartu nama berbahan plastik. Berisi informasi tujuan, nama penumpang, dan tarif sebesar 355 Yuan, atau sekitar 500 ribu Rupiah. Perjalanan dari Kota Wuxi ke Kota Jinan ditempuh dalam waktu 3 jam dengan kecepatan rata-rata 300 KM/jam.
Kota Jinan sore hari. Matahari senja menyemburatkan cahaya jingga di ufuk barat. Angin semilir agak dingin. Para wanita bersepeda. Anak-anak muda bercengkarama di taman. Jinan adalah ibu kota Provinsi Shandong. Orang-orang berjalan kaki dengan cepat di pedestrian yang sangat lebar dan bersahabat. Pohon sakura memamerkan bunganya dengan ceria. Di sini saya tidak melihat poster-poster gambar partai politik dan foto-foto orang tersenyum.
Kami menuju hotel. Receptionist menyambut kami dengan bahasa Mandarin, "Nihao" begitu yang saya dengar. Mr. Gao mengurus check-in kami. Mereka bercakap sangat cepat. Kami tak bisa menangkap satu kata pun yang dapat kami mengerti. Mr. Gao memberikan kami kunci kamar satu per satu.
Malam mulai memperlihatkan warnanya yang pekat. Namun lampu-lampu jalan mengurangi kegelapannya. Kota Jinan cukup ramai di malam hari ini. Pedagang makanan dan para pekerja yang sedang melepas lelah seolah sedang bertukar keberuntungan. Mobil-mobil taksi bermerk VW berkeliaran.
Makan malam kami begitu istimewa di restoran seafood ini. Di ruangan tertutup kami dipersilahkan duduk di meja bulat yang di atasnya ada kaca yang dapat di putar. Ada 9 orang yang makan di meja ini. Kami bertiga, Mr. Gao, Mr. Wang, dan teman-temannya.
Mr. Wang menawari kami beer merk Tsing Tao." Ini beer paling terkenal di Shandong", katanya. "Sorry sir, No Pork, No wine, No Beer" begitu kata saya meniru ucapan Kang Imad tadi siang.