Anggi hanya tersenyum kecil, kemudian melangkah mundur sambil terus menatap Imani. "Kalau lo telat, siap-siap aja dapet cubitan super dari gue."
Imani menelan ludah, meskipun dia berusaha tetap terlihat santai. "Iya, iya. Gue nggak bakal kasih lo alasan buat mencubit gue, deh."
Anggi tertawa kecil, kemudian melambaikan tangan dan akhirnya berbalik, berjalan masuk ke kampus dengan penuh percaya diri. Imani memandangi punggungnya sampai Anggi menghilang di balik pepohonan.
Setelah itu, Imani menarik napas panjang dan mulai berpikir serius. "Hmm, berarti gue harus nyari cara biar nggak telat nanti sore. Tapi... gue kan juga butuh tidur siang." Dia menimbang-nimbang antara janji yang baru saja dia buat dan kebiasaannya yang tak bisa ditinggalkan.
Sambil mengayuh "Blue Dragon" perlahan meninggalkan area kampus, Imani merenung. Dalam hati dia berjanji, walaupun malasnya minta ampun, hari ini dia nggak akan bikin Anggi marah gara-gara telat jemput. Dan untuk pertama kalinya, Imani benar-benar merasa harus menepati janji itu.
Setelah berpisah dengan Anggi di depan kampus, Imani mulai mengayuh "Blue Dragon" pelan-pelan menyusuri jalanan desa yang lengang. Matahari siang semakin tinggi, dan panasnya mulai terasa di kulit. Imani merasa kantuk perlahan-lahan menyerang. Kelopak matanya mulai terasa berat, dan pikirannya mulai melayang ke dunia mimpi yang penuh dengan bantal empuk dan selimut tebal.
"Ah, tidur siang kayaknya ide bagus nih," gumam Imani sambil menguap lebar. Dia mencoba melawan kantuk dengan cara membuka matanya lebih lebar, tapi tetap aja nggak mempan.
Saat sedang mengayuh sambil setengah sadar, tiba-tiba Imani melihat sebuah gubuk kecil di tengah sawah. Gubuk itu kelihatan sangat nyaman dengan atap daun kelapa dan tempat duduk dari bambu. Seperti undangan tak tertulis buat orang-orang ngantuk sepertinya.
"Pas banget nih!" Imani mengerem mendadak, membuat "Blue Dragon" nyaris terbalik. Dengan gesit, Imani parkir sepedanya di samping gubuk. Dia melihat ke kiri dan ke kanan, memastikan nggak ada orang yang memperhatikan, lalu dengan langkah mantap, dia masuk ke dalam gubuk.
"Dikit aja tidurnya, sepuluh menit cukup," bisiknya pada diri sendiri sambil merebahkan diri di atas bambu yang keras. Tapi karena bagi Imani tidur itu adalah seni, dia nggak butuh kasur empuk atau bantal bulu angsa untuk bisa terlelap. Bahkan di atas bambu keras pun, Imani bisa langsung terbang ke alam mimpi.
Dan begitulah, dari niatnya hanya tidur sepuluh menit, malah jadi tidur siang yang berkepanjangan. Matahari bergerak dari atas kepala ke arah barat, tapi Imani masih saja tidur dengan nyenyak, bahkan mendengkur kecil. Suara jangkrik mulai terdengar, dan angin sore yang sejuk berhembus pelan-pelan.