"Gi, lo kenapa selalu aja sibuk ngeliatin ponsel? Gue tuh di depan lo, loh. Say hi kek, atau ngobrol dikit," goda Imani sambil menoleh ke belakang.
Anggi mengangkat pandangannya dari ponsel dan melotot lagi. "Ya ampun, Iman! Lo itu nganterin gue, bukan pacaran! Fokus ke jalan deh biar nggak nabrak!"
Imani tertawa, tapi dia menurut juga. "Oke, oke. Tapi lo tau kan, Gi? Meskipun gue tukang nganterin lo tiap hari, hati gue tetep buat lo, kok."
"Gombal!" Anggi mencubit pinggang Imani, membuatnya meringis kesakitan. Tapi Imani tetap tertawa, merasa puas dengan reaksi Anggi yang selalu bisa dia tebak.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sawah yang luas dan hijau, angin sepoi-sepoi menerpa wajah mereka. Anggi yang tadinya kesal, mulai merasa lebih tenang. Ada sesuatu tentang suasana pagi dan kebersamaan ini yang membuat hatinya hangat, meskipun dia sering jengkel sama Imani.
"Lo tau nggak, Gi," kata Imani tiba-tiba, memecah keheningan. "Kalau hidup gue ini ibarat film, lo pasti jadi pemeran utamanya."
Anggi pura-pura nggak peduli, tapi ada rona merah di pipinya yang nggak bisa dia sembunyikan. "Ya udah. Kalau gue pemeran utama, lo tuh pemeran pembantu yang hobinya bikin masalah terus," balas Anggi, mencoba menyembunyikan senyum di balik ejekannya.
Imani terkekeh. "Nggak apa-apa. Asal gue bisa terus ada di film lo, itu udah cukup buat gue."
Anggi mencubitnya lagi, kali ini lebih keras. "Iman! Lo serius bawa sepeda apa nggak sih? Jangan malah bikin gue mau cubit lo terus!"
Mereka berdua tertawa bersama. Dan meskipun perjalanannya sederhana---naik sepeda butut melewati jalanan desa---ada kebahagiaan yang nggak bisa digantikan dengan apapun.
Setibanya di kampus, Anggi turun dari sepeda dengan elegan, merapikan hijabnya, dan menatap Imani dengan tatapan puas. "Thanks, Iman. Meskipun lo tukang malas, lo tetep yang terbaik buat nganterin gue."