Dengan langkah malas, Imani mendekati jendela dan mengintip keluar. Bener aja, di luar rumahnya, Anggi berdiri dengan tangan bersedekap, wajahnya cemberut kayak habis makan permen asem.
"Lo nggak bisa, ya, tenang bentar aja? Gue baru aja tidur!" seru Imani dari dalam kamar, berusaha memperpanjang waktu malas-malasan.
Anggi melotot. "Jam segini lo masih tidur, Iman? Lo pikir kampus gue buka 24 jam kayak warung, apa?"
Imani cuma nyengir sambil nyandarin tubuhnya ke dinding. "Santai aja, Gi. Gue bisa nganterin lo cepet kok. Naik "Blue Dragon" kita pasti terbang sampe kampus," ujarnya sambil menahan ketawa.
Anggi melengos, tapi nggak bisa nutupin senyum tipis di wajahnya. "Lo tuh ya, Iman. Kalau bukan karena gue udah terlanjur kenal lo, mungkin gue udah cari tukang ojek lain yang lebih niat."
Imani tertawa, akhirnya keluar dari kamar dan siap-siap dengan secepat kilat---sebisa malasnya. Setelah cuci muka dan ganti baju seadanya, dia keluar rumah sambil menyeret "Blue Dragon" yang sudah setia menunggu di depan pintu.
Anggi melihat sepeda butut itu dengan tatapan skeptis. "Iman, gue heran. Dari sekian banyak kendaraan yang ada di dunia, kenapa lo tetep bertahan sama sepeda ini?"
Imani tersenyum bangga sambil mengelus setang "Blue Dragon". "Karena sepeda ini punya sejarah, Gi. Udah nemenin gue dari zaman gue SD sampe sekarang. Lo nggak bakal ngerti betapa spesialnya dia."
Anggi hanya menggeleng sambil tertawa kecil. "Iya, iya. Ya udah, cepetan kita berangkat sebelum gue telat."
Imani naik ke atas "Blue Dragon" dengan semangat, lalu menepuk jok belakang. "Yuk, Ratu. Hari ini gue anterin lo ke kerajaan lo dengan selamat."
Dengan sedikit enggan, Anggi naik ke jok belakang, dan perjalanan mereka pun dimulai. Jalanan desa yang sepi membuat suasana semakin nyaman. Imani mengayuh sepeda dengan santai, sesekali melirik Anggi yang sedang sibuk melihat ponselnya. Meskipun sering ribut, Imani sebenarnya menikmati momen-momen seperti ini---saat mereka berdua bisa menghabiskan waktu bersama, meskipun tanpa banyak bicara.