SEJARAH PAJAK DI INDONESIA
Pemungutan pajak pun terus berkembang dan diterapkan oleh banyak negara di belahan dunia, termasuk di Indonesia. Sejarah pajak di Indonesia sebenarnya sudah dimulai jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa dan Jepang ke Nusantara. Ketika itu rakyat Indonesia mengenalnya dengan istilah upeti, pemungutan jenis pajak yang bersifat memaksa.
Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja, dan sebagai imbal baliknya maka masyarakat mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.
Meski begitu ada beberapa kerajaan seperti Majapahit, Demak, Pajang, dan Mataram mengenal sistem pembebasan pajak. Terutama pajak atas kepemilikan tanah yang biasa disebut tanah perdikan. Namun demikian memasuki era kolonialisasi mulai diberlakukan kembali.
Selama terjajah, pengenaan pajak dirasa sangat berat dan membebani. Selain monopoli aturan pengenaan pajak juga karena terjadi banyaknya penyelewengan oleh pemerintah kolonial sehingga kata pajak meninggalkan kesan negatif.
Namun demikian, setelah Indonesia merdeka babak baru sejarah pajak di Indonesia dimulai. Pada saat Sukarno-Hatta memimpin Indonesia, aturan pajak tertuang pada Pasal 23 UU Dasar 1945. Bunyinya, "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang".
Pemikiran dasar pada saat itu adalah negara harus memiliki sumber pembiayaan untuk bisa mandiri dan berdiri setara dengan bangsa lainnya di dunia. Ini menjadi babak baru sejarah pajak di Indonesia serta cikal bakal diperingatinya tanggal 14 Juli sebagai Hari Pajak.
Selang satu bulan kemudian, tepatnya pada 19 Agustus 1945 pemerintah membentuk Kementerian Keuangan dan menugaskan mengenai hal-hal yang menyangkut keuangan negara, salah satunya pajak
Penyempurnaan aturan pajak di tanah air pun terhambat lantaran pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Hal itu dikarenakan Agresi Militer Belanda Pertama yang dibonceng oleh NICA berhasil menguasai ibukota Jakarta. Dengan begitu pemerintah belum dapat mengeluarkan UU khusus pajak meskipun pasal 23 UUD 1945 sudah mengamanatkan
Dengan begitu pemerintah mengadopsi beberapa aturan pajak peninggalan pemerintahan kolonial untuk memutarkan roda pemerintahan. Salah satu beleid yang diadopsi adalah Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 serta membentuk beberapa sub organisasi dalam melaksanakan pemungutan pajak. Seperti Jawatan Pajak, Jawatan Bea dan Cukai serta Jawatan Pajak Hasil Bumi pada Direktorat Jenderal Moneter.
Pemerintah menerapkan sistem official assessment, yaitu pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus. Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan. Meski begitu, sistem tersebut tidak mengubah banyak kondisi perekonomian nasional alias Indonesia masih menjadi negara miskin.
Kondisi ini semakin parah ketika Presiden Sukarno mengubah haluan politiknya lebih ke arah paham sosialisme Karl Max versi Indonesia. Akibatnya adalah kampanye politik luar negeri yang ekspansif dilakukannya sehingga menimbulkan dampak pengeluaran negara yang lebih besar. Sedangkan penerimaan negara dari pajak cenderung stagnan.