Mohon tunggu...
Imam Subkhan
Imam Subkhan Mohon Tunggu... Penulis - Author, public speaker, content creator

Aktif di dunia kehumasan atau public relations, pengelola lembaga pelatihan SDM pendidikan, dan aktif menulis di berbagai media, baik cetak maupun online. Sekarang rajin bikin konten-konten video, silakan kunjungi channel YouTube Imam Subkhan. Kreativitas dan inovasi dibutuhkan untuk menegakkan kebenaran yang membawa maslahat umat. Kritik dan saran silakan ke: imamsubkhan77@gmail.com atau whatsapp: 081548399001

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Kongkalikong di Tingkat Desa, Dagelan Pemilihan BPD di Desaku

6 September 2018   11:17 Diperbarui: 7 November 2018   04:38 2809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya Bukan Calon Boneka"

 Saya sebenarnya sungkan dan malas untuk menulis artikel ini. Karena sejak awal, saya juga tak tertarik untuk menjadi perangkat desa atau anggota lembaga penyelenggara pemerintah desa lainnya. 

Saya menjadi pengurus RW dan Ketua RT saja, karena "dipaksa" oleh warga, meskipun pada akhirnya saya menikmati dan berusaha sungguh-sungguh untuk melayani warga.

Saya menulis ini semata-mata untuk edukasi atau pembelajaran bagi masyarakat, karena melihat ketimpangan dan kejanggalan yang semestinya tidak berlangsung di hadapan saya. 

Bagi saya pribadi, yang pada akhirnya tidak terpilih menjadi anggota Badan Permusyawatan Desa (BPD) Jaten, Karanganyar, sungguh saya tak mempermasalahkannya. Hanya saja, naluri dan daya kritis saya seketika muncul manakala melihat proses pemilihan BPD, yang notabene sebagai wujud pelaksanaan demokrasi di level terendah, yakni tingkat desa, tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Saya pun langsung mencari referensi dan rujukan, yaitu aturan hukum yang mengatur tentang BPD, termasuk tata cara pemilihannya. Akhirnya saya dapatkan juga, yaitu berupa Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Karanganyar Nomor 13 Tahun 2016, sebagai pembaharuan dari Perda sebelumnya, yaitu Nomor 14 Tahun 2015, tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. 

Memang seharusnya ada aturan di bawahnya yang mengatur secara lebih rinci dan teknis, yang merupakan turunan dari Perda tersebut, yaitu berupa Peraturan Bupati Karanganyar. Namun sayangnya, saya tak mendapatkannya. Tetapi Perda ini cukup bisa menjelaskan tentang apa itu BPD dan bagaimana mekanisme pemilihannya.

Kemudian, pasal demi pasal saya baca, terutama pasal-pasal yang mengatur tentang pembentukan BPD. Nah, setelah saya memelajari tentang pembentukan BPD, mulai dari persyaratan, pembentukan panitia pengisian anggota BPD, mekanisme pengisian anggota BPD, dan seterusnya, ternyata saya merasakan ada ketimpangan dan permasalahan di lapangan. Termasuk kesalahan yang disengaja (faktor orang), yang melibatkan salah satu atau beberapa oknum calon anggota BPD.

Sekali lagi, saya menulis ini, tidak bermaksud untuk berupaya membatalkan hasil penetapan anggota BPD yang baru. Sama sekali tidak. Niatan saya hanya untuk edukasi atau pembelajaran di masyarakat. Karena BPD menurut saya adalah lembaga wakil rakyat terendah, atau sebagai parlemen di tingkat desa, yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang representatif, artinya benar-benar mewakili daerahnya, serta memiliki skill atau kemampuan dan integritas yang baik. Sehingga bisa menjadi partner atau mitra sekaligus pengawas yang baik bagi kinerja kepala desa.

Sebagaimana disebutkan di dalam Perda, bahwa Badan Permusyawaratan Desa yang selanjutnya disingkat dengan BPD adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

Jujur saja, saya baru pertama kalinya datang pada pemilihan BPD di desa saya. Baiklah, agar lebih gamblang dan rinci, berikut saya ceritakan alur kejadiannya, sesuai yang saya lihat dan saya alami di lapangan.

Sekitar tanggal 15 Agustus 2018, saya diberitahu oleh Ketua RW untuk bisa mendaftarkan sebagai calon anggota BPD, mewakili warga perumahan dan lingkungan RW. Mungkin karena saya yang relatif masih muda, selama ini juga aktif di RW dan karang taruna, sekaligus juga menjadi ketua RT, sehingga Ketua RW lebih memercayakan kepada saya untuk dicalonkan. 

Selain karena faktor kedekatan emosional, maklum saja, ketua RW saya adalah bapak mertua saya, ha ha ha. Informasi ini pun beredar juga di kalangan ibu-ibu PKK RW, bahwa akan ada penjaringan calon anggota BPD yang baru. Dan beberapa ketua RT pun sudah tahu informasi ini. Meskipun tidak secara masif tersosialisasi di kalangan warga. Maklum saja, bulan Agustus tidak ada pertemuan pengurus RW, karena masih diagendakan bulan September ini.

Saya pun sebenarnya tidak terlalu bersemangat untuk mendaftar, karena saya tak tahu sama sekali, apa itu BPD dan bagaimana proses pemilihannya. Tetapi, saya putuskan untuk mengisi formulir yang telah disediakan oleh panitia, yang hari sebelumnya diantar oleh Bapak Kadus. Selain mengisi formulir kesediaan, saya diminta juga untuk melampirkan fotokopi ijazah terakhir (dilegalisir), KTP, dan kartu keluarga. Semua persyaratan saya kirim, termasuk formulir yang harus bermaterai 6.000.

Ketika di kantor desa, saya sempat menanyakan ke Bapak Carik, tentang bagaimana mekanisme pemilihannya, apakah ada juga tes seleksi atau mekanisme yang lain? Beliau menjelaskan, bahwa nanti ada musyawarah untuk memilih anggota BPD yang dihadiri oleh pihak-pihak perwakilan masing-masing dusun. Termasuk beliau menjelaskan, jika nanti saya terpilih, maka diminta untuk mundur dari jabatan ketua RT atau pengurus RW.

Setelah syarat-syarat dipenuhi, selanjutnya saya hanya menunggu proses berikutnya tanpa ada persiapan apa-apa. Meskipun di benak saya, ketika hari pemilihan itu tiba, dan masing-masing calon diberi kesempatan untuk orasi atau sekadar perkenalan dan menyampaikan program-program ke depannya, saya sudah sempat memikirkan garis-garis besarnya, tentang bagaimana kiprah saya kelak ketika menjadi anggota BPD, yang tentu saja bisa diandalkan dan mampu mengawasi kinerja kepala desa secara objektif dan profesional, demi pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Terlebih lagi, alokasi dana pemerintah pusat ke desa sangatlah besar untuk saat ini. Hal ini bisa menimbulkan kerawanan, jika tidak ada pengawasan yang ketat.

Singkat cerita, Senin, 3 September 2018, saya mendapatkan undangan, dengan tertulis kop surat Panitia Pengisian Keanggotaan BPD Jaten. Di isi surat ini tertera keperluan "Musyawarah perwakilan tingkat desa untuk menetapkan calon anggota BPD periode 2018-2024". Sementara acaranya dilaksanakan satu hari berikutnya, yakni hari Selasa, 4 September 2018 di Balai Desa Jaten.

Saya pun masih bertanya-tanya tentang mekanisme pemilihannya. Apakah nanti saya dikenal oleh peserta di forum itu, karena saya belum sempat sosialisasi ke warga atau daerah lingkungan saya. 

Saya sadar, saya bukan siapa-siapa, lalu siapa yang nanti memilih saya, sementara saya dan mereka yang nanti hadir belum saling mengenal. Demi mengobati kegundahan, saya pun bertanya ke ketua RW, apakah ada undangan ke balai desa untuk pemilihan anggota BPD. Jawaban ketua RW, tidak ada undangan yang masuk, termasuk tidak juga ke ketua-ketua RT. Pikiran saya pun semakin gelisah. Karena saya datang, nyaris tak ada persiapan apa-apa, dan tak tahu nanti siapa yang hadir mewakili daerah atau dusun saya.

Dengan pikiran yang masih berkecamuk, saya datang ke balai desa. Saya pun ikut anjuran panitia, untuk mengenakan pakaian atasan putih, bawah hitam, bersepatu, dan berdasi. 

Sampai di sana, saya dipersilakan untuk presensi, mengambil konsumsi, dan diminta oleh panitia untuk langsung duduk di atas atau di panggung, bersama dengan deretan calon anggota BPD yang lain. 

Saya pun duduk memilih deretan kursi terdepan. Tujuannya, agar saya bisa dilihat oleh audiens dan syukur-syukur mereka mengenali saya. Maklum saja, lampu penerangan di area pangung tidak maksimal, sehingga cenderung remang-remang. Saya juga berharap, siapa tahu nanti diberi kesempatan untuk berbicara, saya akan acungkan jari yang pertama, batin saya.

Singkat cerita, acara demi acara berlangsung dengan lancar, seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya, doa, sambutan-sambutan, baik dari kepala desa maupun perwakilan kecamatan. Tibalah pada acara proses pemilihan. Ketua panitia kemudian membacakan mekanismenya, termasuk aturan keterwakilan anggota BPD, dari tiap dusun dan perwakilan perempuan. 

Menurut ketentuan, jumlah seluruh anggota BPD adalah 9 orang, dan minimal 1 orang perwakilan dari perempuan. Kebetulan dusun saya yang jumlah penduduknya cukup padat, diwakili oleh 2 anggota BPD. Sedangkan calon yang mengajukan diri saat itu ada 6 orang, termasuk dua orang dari calon anggota BPD yang lama.

Sekadar diketahui, di dalam Perda dijelaskan, bahwa dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa. 

Di Desa Jaten sendiri terdapat 6 dusun, sehingga diharapkan anggota BPD merupakan perwakilan dari tiap dusun tersebut. Jumlah anggota BPD tiap dusun bisa terdiri satu atau dua orang, menyesuaikan secara proporsional dari jumlah penduduk di masing-masing dusun tersebut.

Pada saat pelaksanaan pemilihan tersebut, panitia telah mengelompokkan per dusun. Sehingga orang yang datang langsung duduk sesuai asal dusunnya. Panitia kemudian langsung membagikan kertas, yang bertuliskan nama-nama calon anggota BPD dari tiap dusun. Sebelumnya juga sudah dibacakan dan diperkenalkan nama-nama calong anggota BPD oleh ketua panitia. Para peserta musyawarah yang hadir dan memiliki hak pilih kemudian diminta untuk bisa melingkari nama calon sesuai pilihannya. Jika yang dipilih dua anggota, maka harus melingkari dua nama calon anggota BPD.

Kemudian saya lihat, para peserta di tiap kelompok dusun sedikit berdiskusi atau musyawarah, dan akhirnya menuliskan atau melingkari nama-nama calon anggota BPD yang dipilihnya. Sekilas dari kejauhan, saya melihat ke arah kelompok dusun saya, hampir semuanya tak saya kenal. Apalagi yang dari perwakilan perumahan atau RW saya, di sana tak ada Ketua RW, Ketua PKK, tokoh agama, atau tokoh masyarakat lain yang saya kenal sebagai figur publik di daerah saya.

Saat itu juga, saya sudah langsung bisa menyimpulkan, pasti tidak ada yang bakal memilih saya. Sementara sesi perkenalan sendiri para calon anggota BPD atau sekadar penyampaian visi dan program juga tak ada. Bagaimana mereka bisa memahami kualitas calon anggota BPD yang dipilihnya?

Tak Ada Proses Musyawarah untuk Mufakat

Dari proses atau mekanisme ini, saya sebenarnya sudah bertanya-tanya, mengapa tak ada proses musyawarah untuk mufakat. Tetapi langsung dilakukan pemungutan suara. Padahal di Perda dijelaskan, bahwa Panitia Pengisian Anggota BPD mengadakan musyawarah dan mufakat untuk membentuk anggota BPD yang dipimpin oleh ketua panitia dengan mempertimbangkan asas pemerataan. Apabila pemilihan secara musyawarah sebagaimana dimaksud di atas tidak tercapai dilakukan pemilihan dengan pemungutan suara terbanyak.

Akhinya, tepat dugaan saya, tak ada yang memilih atau melingkari nama saya. Dan yang jadi kembali adalah calon petahana atau anggota lama BPD, yang memperoleh hampir seratus persen suara. Kegelisahan yang saya alami, ternyata dirasakan juga oleh calon yang lain, yang baru pertama kali mengikuti proses pemilihan BPD. 

Sebenarnya waktu itu, saya sudah ingin interupsi atau menyampaikan pendapat, namun sayang tak ada waktunya. Ditambah, posisi duduk saya di panggung yang hanya bisa jadi tontonan para peserta yang hadir. Persis seperti pemilihan kepala desa, para calon anggota BPD hanya pasif duduk ongkang-ongkang di pangung, hanya melihat dan menunggu proses penghitungan suara berlangsung. Seumur-umur, baru pertama kali mengikuti acara pemilihan kandidat yang modelnya seperti ini.  

Memang saya masih menyisakan pertanyaan, mengapa kami yang calon anggota BPD tidak dilibatkan dalam sesi musyawarah para peserta? Lalu bagaimana, mereka bisa mengetahui kompetensi dari masing-masing calon? Jika calon yang hadir memang benar-benar perwakilan dusun atau RW setempat yang sudah diusulkan sebelumnya, mengapa dari daerah saya tidak ada yang diundang? Ibaratnya, saya calon anggota dewan tanpa konstituen. Apa mungkin?

Inilah yang kemudian yang saya sampaikan kepada ketua panitia setelah acara pemilihan berakhir. Beliau menjelaskan, bahwa sosialisasi tentang penjaringan anggota BPD sudah dilakukan sejak bulan Mei 2018. Tiap dusun diharapkan memiliki wakil-wakil yang representatif, yang pada hari pemilihan akan diundang. Distribusi undangan diserahkan sepenuhnya ke pihak kepala dusun dan perangkatnya. 

Sementara saya baru mendapatkan informasi hanya dua pekan sebelumnya, dan undangan satu hari sebelum acara pemilihan. Dan peserta undangan dari dusun yang nantinya bakal memilih, saya juga tak tahu-menahu. Yah, tapi ya sudahlah, semua sudah berlangsung, dan saya sangat menerima hasilnya.

Perilaku Curang oleh Oknum Calon Anggota BPD Petahana

Eehh, tunggu dulu! Ternyata cerita ini belum berakhir, pagi harinya, saya mendapatkan pesan whatsapp dari ketua panitia, bahwa yang hadir di presensi, perwakilan dari RW saya adalah dua orang, atas nama inisial ST dan DL. Harusnya tiga orang yang diundang, tetapi satu tak hadir, dengan inisial SK. 

Saya pun penasaran dengan orang-orang yang diundang ini, kenapa tidak ketua RW, ketua PKK, atau tokoh lain yang saya familier di daerah saya. Saya pun langsung ke rumah salah satu ketua RT. Dan benar saja, saya bertemu dengan orangnya langsung. Dan ternyata undangan itu dia dapatkan dari salah satu calon anggota BPD, dan ada pesan-pesan khusus, agar nanti memilihnya. "Ha ha ha....," saya tertawa lepas waktu mendengar cerita itu. "Ini dagelan namanya....! Ini yang dipengaruhi adalah orang di daerah konstituen saya, bagaimana jika di daerahnya sendiri, pasti lebih parah dalam menghasutnya...!"

Dan kejadian yang lebih memalukan lagi adalah, pada saat pemilihan orang ini mengaku telah menuliskan atau melingkari satu nama untuk calon anggota BPD. Tetapi dia lupa untuk melingkari nama calon yang kedua. Eeh tak tahunya, pas dibacakan oleh panitia, ternyata nama kedua sudah dilingkari dan disebutkan. "Hahhh...! Lalu siapa yang membantu melingkari nama calon yang kedua? Benar-benar tak masuk akal ini. Jangan-jangan ada hantunya ruangan balai desa ini?"

Sekali lagi, saya sedang tak mencari musuh dengan menulis ini. Ini murni untuk edukasi dan pembelajaran di masyarakat. Marilah kita bisa menerapkan hidup berdemokrasi secara sehat di level paling bawah. SEMOGA!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun