Tak sengaja, setiap kali saya mengantar dan menjemput anak saya di sekolah, selalu saya melihat kerumunan ibu-ibu yang tengah "nongkrong" atau duduk-duduk menunggui anaknya yang sedang belajar di kelas. Saya perhatikan, sebagian besar memang para orang tua atau ibu kandung dari sang anak, namun sebagian ada pula baby sitter atau pembantu rumah tangga yang sengaja ditugaskan oleh walimurid untuk mendampingi anak di sekolah. Aktivitas mereka saat duduk-duduk di depan pagar sekolah tersebut berbeda-beda. Di antara mereka ada yang asyik dengan handphone atau gadget, ada yang ngobrol dengan teman di sampingnya, ada yang makan cemilan, dan ada pula yang baca buku.
Jika mereka menunggu sampai selesai anak belajar, saya perkirakan mereka duduk-duduk di sana membutuhkan waktu, tiga sampai empat jam setiap harinya. Nah, melihat fenomena ini, di pikiran saya muncul gagasan-gagasan, bagaimana kalau duduk-duduk mereka dijadikan satu, kemudian obrolannya diarahkan ke masalah pendidikan anak. "Pasti lebih seru!", batin saya. Kadangkala, ketika saya menjemput anak, saya mencoba menyempatkan untuk duduk lebih dekat dengan mereka. Saya hanya ingin tahu, apa sebenarnya yang mereka bicarakan ketika bergerombol seperti itu. Setelah saya nguping, ternyata omongan mereka tak jauh-jauh dari membahas anaknya masing-masing.
Ada yang bilang tentang anak ketika sedang mengajarinya, "susahlah, bandellah, nakallah, maleslah, gak mau nurutlah". Tetapi tidak sedikit yang memuji bakat atau kepintarannya. Sesekali memang obrolan berpindah ke topik peran bapak atau ayahnya yang sibuk bekerja mencari uang, sehingga kurang begitu perhatian untuk pendidikan anaknya di rumah. Dan obrolan lain, yang sudah bisa dipastikan, namanya ibu-ibu kalau sudah berkumpul, ujung-ujungnya juga ke topik makanan, model baju, perawatan, dan urusan kewanitaan lainnya. "Wah keren, ini bisa diangkat dalam diskusi yang lebih formal, bukan sekadar duduk-duduk di luar pagar sekolah, terutama topik pendidikan anak di rumah", pikiran saya kembali membuncah.Â
Kemudian, untuk mewujudkan gagasan tersebut, saya mulai menghimpun nama-nama orang tua yang aktif di kegiatan sekolah, tepatnya para pengurus komite sekolah. Saya tak menemui banyak kesulitan untuk bisa mendapatkan data tersebut. Kepala sekolah dan guru-guru sekolah di sana sangat menyambut baik ide saya, untuk bisa mengumpulkan para orang tua, termasuk nantinya menyasar kepada ibu-ibu yang suka menunggui anaknya saat di sekolah.
Selain itu, saya juga meminta informasi tentang program atau kegiatan sekolah, yang erat kaitannya dengan orang tua, semisal kelas parenting, yang akhir-akhir ini juga sedang tren di dunia pendidikan. Ternyata di sekolah tersebut, juga telah ada program parenting yang rutin diselenggarakan, bahkan waktunya cukup ideal, yaitu setiap tiga bulan sekali. Lalu saya disuguhkan data tentang angka kehadiran para orang tua untuk hadir di forum parenting tersebut. Faktanya, tak cukup menggembirakan. Angka kehadiran sekitar 30-60 persen dari jumlah orang tua di tiap kelas. Itu pun didominasi oleh kaum ibu-ibu. Padahal undangannya ke orang tua, adalah bapak dan ibu.
Tak selesai di situ, saya juga menanyakan tentang isi atau materi yang disampaikan pada saat forum tersebut. Dalam pelaksanaannya, kelas parenting dikelola oleh kelas masing-masing, dengan guru kelas yang bertanggung jawab dalam mengelola kegiatan tersebut. Isinya ternyata tak jauh-jauh dari agenda kegiatan anak di sekolah, perkembangan belajar anak, dan tanya jawab antara orang tua dengan guru kelas. Saya amati memang belum ada materi terstruktur dari sekolah yang harus disampaikan kepada orang tua, misalnya tentang kiat-kiat mendidik anak di rumah. Sementara yang dilakukan, sifatnya lebih banyak kasuistik dari para orangtua yang merasa kesulitan dalam menangani anak di rumah.
Singkat cerita, akhirnya saya jadi mengundang para orang tua, khususnya yang selama ini aktif dalam kegiatan sekolah. Saya sudah menyiapkan slide pikiran-pikiran saya, yang arahnya pada pembentukan sebuah komunitas yang peduli pada pendidikan anak, dimana salah satu programnya adalah menyelenggarakan kelas-kelas parenting secara reguler. Saya menginginkan komunitas ini bersifat formal, bahkan jika dimungkinkan berbadan hukum, seperti layaknya lembaga pendidikan atau sekolah.
Muncullah nama "akademi orang tua". Sesungguhnya, nama ini telah lama digagas oleh tokoh pendidikan yang juga pendiri sekolah Islam unggulan di Kota Solo, Eny Rahma Zaenah. Bahkan di sekolah beliau, anak-anak tak perlu diseleksi untuk masuk sekolah, justru yang diseleksi adalah orang tuanya, apakah para orang tua bisa bekerja sama dan berkomitmen untuk mendidik anak secara sungguh-sungguh, terutama peran pendidikan di rumah. Â Â Â
Kemudian, setelah saya paparkan tentang konsep akademi orang tua, seluruh orang tua yang hadir merasa sehati dan menyambut baik atas gagasan ini. Bahkan ada yang berkomentar, "Sungguh, ini yang saya tunggu-tunggu, saya ingin belajar menjadi orangtua yang baik, saya ingin sekolah lagi, saya ingin kuliah lagi, tentang mendidik anak." Maka dari sini, lahirlah komunitas ini, dimulai dari para orangtua yang peduli dan butuh akan pengetahuan dan wawasan tentang pendidikan anak, serta kiat-kiat menjadi orangtua yang hebat bagi anak-anaknya.
Kenapa Bernama Aorta?
Tepatnya di bulan Maret tahun 2015, akhirnya saya dan para orang tua mendeklarasikan berdirinya sekolah untuk para orang tua, bernama Akademi Orangtua Indonesia Surakarta, yang disingkat dengan nama Aorta. Sejak awal, Aorta mengemban visi mewujudkan orang tua yang bisa menjadi idola bagi anak-anak. Sedangkan rumusan tujuannya adalah menyelenggarakan program parenting secara kontinyu dan terjadwal bagi para orang tua, dengan kurikulum yang sudah terstruktur dan para narasumber yang kompeten.