Seperti halnya tokoh Rumi, Jalaludin Rumi yang kepakarannya tidak diragukan lagi. Kepiawaiannya dalam suluk dan seni budaya, menghasilkan penghormatan yang lintas batas. Â Rumi menghormati seorang budak hingga syaikh dan raja. Tapi saat bersamaan juga menghargai keberadaan sapi, burung kakaktua, anjing dengan rasa hormat serta kebaikan hati yang sama.
Rumi menghargai semua makhluk dengan kualitas kebatinan yang diungkapkan dengan nyata. Itu yang membuat kita semua bisa menyaksikan bagaimana semua makhluk itu bisa muncul setara dalam rangkaian kata-kata dalam puisinya. Bahkan terkadang, Rumi menggambarkan betapa hewan bisa lebih bijak dalam menjalani kehidupan ketimbang manusia.
Manusia terkadang terkungkung dalam tempurung paradigma budaya yang dibangunnya sendiri. Kemudian enggan keluar karena dalam tempurung itu menghasilkan kenyamanan dan kekuasaan, atau bisa jadi juga karena keterpaksaan.
Mengingat itu semua, membuat Joy pun melangkah dengan lebih berani. Ia hanya ingin mendapatkan kepastian saja dari apa yang dialaminya. Ia ingin mendapatkan jawaban.
Apakah ia sedang ngelindur atau sadar sepenuhnya. Ataukah ia sudah gila akibat tekanan kehidupan yang jauh dari apa yang dibayangkan sebelumnya. Sehingga secara psikologi, ia mulai membangun benteng baru untuk mempertahankan ego nya. Ia mengunci dengan kuat dirinya dalam benteng baru itu, dan tak mengizinkan orang lain untuk masuk dalam bentengnya yang kokoh.
Ia sadar, dalam kebudayaan kesadaran lahiriyah, tidak bisa diabaikan begitu saja. Apa yang dirasakan, dilihat dan dialaminya, menjadi sebuah proses pengalaman yang teramat penting untuk diabaikan. Ini yang membuatnya tidak berhenti membuat pagar untuk mengamankan keberadaan dirinya. Semula hanya pagar kayu kecil, kemudian dibuat pagar tembok yang kokoh dan tebal, dan bahkan dilapisi dengan lempengan baja yang kuat, sehingga semakin sulit ditembus dari luar. Satu-satunya untuk menerobos tempat itulah adalah membuka kunci dari dalam.
Kenyatannya, memang ini bukan berupa pagar tembok yang dibangun dari ikatan semen pasir dan batu serta ram kawat baja, ini lebih merupakan pagar psikologi. Smoga saja ia tidak sedang mengalami kegilaan itu.
Apalagi, berbagai bentuk nyata yang terlihat dan dirasakannya dalam kehidupan enam jam terakhir itu, begitu sempurnanya untuk dikatakan sebagai sebuah hoax ataupun kepalsuan dalam kehidupan. Bentuk-bentuk yang terlihat itu, menentukan kedudukan dirinya dalam lingkungan yang baru. Ini mendorongnya untuk bereaksi sesuai dengan kondisi kekinian yang dihadapinya.
Memang dalam perjalan kehidupan nyata, terkadang kita memilih apa yang dianggap menguntungkan bagi dirinya. Keuntungan ini, terkadang juga bukan sekedar keuntungan finansial materi, tetapi juga non materi yang sering terlupakan. Mungkin jika kita tidak terlalu sering lalai, maka akan mendapatkan apa yang diperlukan dalam menjalani kehidupan.
Ketika memasuki perjalanan batin, akan menempatkan kita pada persimpangan jalan dengan konsekuensi memberikan prioritas pada budaya yang lebih menghargai pedoman kehidupan batin. Sebuah pengalaman yang mungkin tidak bisa dipegang oleh tangan badan kasar manusia, namun bisa digenggam oleh keilmuan dan kesadaran akan kedirian asebagai makhluk yang punya kewajiban untuk taat dan tunduk pada Allah SWT, sang pemberi kehidupan dan pembolak-balik hati.
Rumi pernah menjelaskan kondisi ini sebagai perangkap yang mengekang manusia. Kita dihimpit diantara sebuah batu dan sebuah medan yang terjal lagi berat. Kerinduan akan makna kehidupan memang sangat mendesak, tetapi begitu pula tuntutan untuk melunasi berbagai tagihan hutang dan biaya kehidupan, menafkahi istri dan anak-anak juga menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Semua itu ada di depan mata, dan bukan lagi menjadi sebuah pilihan.