Meja-meja yang tersusun rapi itu, tak dibiarkan menjadi tempat nongkrong debu. Memang sudah dua bulan terakhir, resto yang biasanya tidak pernah sepi pengunjung itu terpaksa ditutup. Pandemi Covid-19, telah memaksa Joy menutup rapat pintu resto, dan meliburkan delapan pegawai tetap yang sudah ikut merintis tempat itu selama hampir 10 tahun terakhir.
Belum lagi, masih ada empat pegawai tidak tetap yang siap dipanggil jika resto mendapatkan order dadakan. Dalam sebulan, mereka bisa dipanggil sampai enam kali. Selain itu, ada dua orang tukang parkir dari pemuda setempat yang sering ikut mengais rejeki dari kendaraan yang parkir di depan resto.
Namun, Joy setiap pagi masih tetap membersihkan meja kursi. Masih ada Mang Udin, yang biasanya bekerja sebagai penjaga resto, membantunya bersih-bersih resto yang sewanya masih 10 bulan lagi. Ketika pemerintah mengumumkan penutupan resto karena Pandemi Covid-19, Joy baru tiga hari membayar perpanjangan sewa setahun tempat itu.
Hampir setiap pagi, Joy tetap menyapu dan mengepel lantai. Tapi kalau Mang Udin melihatnya, maka dengan sigap ia mengambil alih pekerjaan itu darinya. Joy masih selalu mengecek peralatan memasak di dapur. Daftar stok bahan makanan yang sudah tersimpan di freezer selama dua bulan tak terpakai, tak luput dari inspeksinya. Ia juga selalu memeriksa kesegaran bahan makanan yang ada, dan melihat waktu kadaluarsa bahan dan bumbu yang ada di gudang stok.
Saat ini, bahan makanan di gudang stok, hanya berkurang sedikit. Joy memang setiap hari masih mengolah masakan, untuk dirinya sendiri dan Mang Udin. Sesekali ia membuat masakan khusus yang dikirimkan untuk Shintalia, teman perempuan yang menjadi pacarnya selama empat tahun terakhir. Ia masih tinggal bersama keluarganya di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan. Itu sebabnya, stok bahan makanan yang biasanya habis dalam dua hari, seperti hampir tidak pernah tersentuh. Biasanya, setiap dua hari pula, ia harus berbelanja bahan makanan untuk memenuhi stok bahan makanan yang akan dijual di resto Geprek Mas Joy.
Joy menatap dengan pandangan kosong pada jejeran lima tabung gas 40 kg yang tertata rapi di sebelah kiri gudang penyimpanan. Di sebelahnya, ada dua tabung gas 12 kg. Ketika itu, cuma ada satu tabung warna pink terpasang selang yang menghubungkan kepala regulator dengan kompor tiga tungku yang ada di dapur. Stok kelima tabung gas itu, biasanya perlu diisi ulang setiap awal bulan. Namun, sehari sebelum resto dipaksa tutup, Joni, salah agen gas langganan yang rutin mengisi ulang gas, baru saja mengirimkan pasokan tiga tabung gas ukuran 12 kg.
Saat ini, meski setiap hari Joy memasak untuk diri sendiri, namun isi tabung gas 12 kg itupun seperti tidak pernah berkurang. Seingatnya, dalam dua bulan terakhir, ia belum pernah mengganti tabung gas itu. Duh Gusti... kapan pandemi ini berakhir, agar pegawai dan keluarganya yang menggantungkan pada usaha ini, bisa bekerja lagi.
Selama dua bulan itu terakhir itu pula, Joy masih tetap menjalankan kebiasaannya. Ia selalu memeriksa daftar belanjaan terakhir yang dibuatnya, sehari sebelum resto itu ditutup. Pemanas air pun selalu ia nyalakan setiap pagi. Airnya, hanya untuk menyeduh teh Jepang yang dibawakan Deksas, adiknya yang bekerja sebagai pilot di perusahaan penerbangan Yordania. Ia menerima teh itu, empat hari sebelum resto itu ditutup, saat Deksas mampir ke resto dan makan bebek goreng dengan sambel orek ati yang menjadi kesukaannya.
Sesaat, ia ingat kondisi adiknya yang masih "terjebak" di Eropa. Deksas tidak diizinkan terbang, dan pulang ke Indonesia. Ketika pesawatnya mendarat, semua awak pesawat dan penumpang, langsung dibawa ke lokasi karantina oleh otoritas setempat. Selama satu bulan, mereka harus tinggal di karantina itu, sebelum akhirnya diizinkan untuk pergi ke rumah atau hotel tujuan mereka. Sampai saat ini pun, Deksas masih tinggal di hotel itu.
Joy pun masih melakukan kebiasaannya setiap hari. Ia duduk di salah satu kursi kayu favoritnya yang berada di salah satu pojokan depan sayap kanan restonya. Di belakang kursi itu, di dinding kayu yang sengaja dibiarkan terekspose, digantung repro lukisan dari foto replika Arca Bhairawa yang ada di Museum Singhasari Malang.
Foto yang sebelumnya sempat dicetak dan diberi pigura bambu dengan ukuran besar itu, ia abadikan saat kunjungan singkatnya ke Malang, untuk menghadiri pernikahan Hanna, panggilan pemilik nama lengkap Sri Isyana Kusumawardhani, teman semasa SMA di Malang. Sayangnya, pernikahan itu sangat singkat. Dalam perjalanan liburan, sehari setelah pesta pernikahan, Hanna dan Rizal, suaminya, mengalami kecelakaan mobil ketika mereka hendak menuju Bromo untuk berbulan madu. Peristiwa menyedihkan yang terjadi dua tahun lalu itu, berkelebat segar dalam ingatan Joy. Apalagi, sesungguhnya Joy pernah punya rasa suka pada Hanna. Namun, ia tidak punya keberanian karena ada rasa jeri pada profesi ayah Hanna, merupakan kepala militer setempat.
Museum Singhasari sendiri, letaknya di Desa Klampok, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Lebih tepatnya lagi, museum ini berada di area perumahan Singhasari Residence, yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Pasar Singosari. Pada bagian muka museum, terdapat taman kecil yang dilengkapi dengan patung Ken Dedes dan Ken Angrok. Ken Angrok, raja yang memimpin Kerajaan Tumapel tapi kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Singosari.
Salah satu raja besar di kerajaan nusantara, yang kisahnya amat lekat dalam ingatan kolektif bangsa ini. Ken Angrok tewas dengan keris yang digambarkan baru setengah jadi itu, di tangan Ki Pengalasan. Ia merupakan pengawal dari Anusapati, anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Keris itu, sebelumnya pernah dipergunakan Ken Angrok untuk membunuh Mpu pembuatnya, Gandring. Dalam keadaan mendekati ajal, Mpu Gandring mengeluarkan kutukan, keris yang dibuatnya itu akan membunuh tujuh raja penguasa tanah Jawa, termasuk Ken Angrok dan anak cucunya.
Keris Mpu Gandring pula, dipergunakan Ken Arok untuk membunuh Tunggul Ametung, penguasa lokal wilayah Tumapel, dengan jabatan sebagai akuwu (camat) di bawah kerajaan Kediri, yang ketika itu di bawah raja Kertajaya (1185-1222). Ketika itu, Ken Angrok sudah berhasil menduduki jabatan sebagai pengawal khusus Tunggul Ametung.
Ken Arok yang juga murid resi Lohgawe, seorang resi yang sangat dihormati di Tanah Jawa, dengan mudah mendapatkan kepercayaan Tunggul Ametung. Lohgawe juga yang meramalkan dan punya keyakinan bahwa Ken Arok akan menjadi orang besar dan bahkan pemimpin di wilayah Kediri. Ia pula yang meminta Ken Arok untuk mengabdi kepada Tunggul Ametung. Dengan mengantongi referensi yang kuat dari resi Lohgawe, keberadaan Ken Arok di jajaran pasukan keamanan Tumapel, sulit ditolak oleh Tunggul Ametung.
Kematian Tunggul Ametung, yang mendapat kutukan Mpu Parwa, akan tewas dengan tikaman keris, menjadi kenyataan. Kutukan itu dilepaskan Mpu Parwa, karena Tunggul Ametung menculik dan kemudian menikahi Ken Dedes, putrinya. Ken Dedes diculik di kampungnya, Desa Paniwijen, sebuah desa yang disucikan dan menjadi tempat pendidikan agama Hindu.
Tewasnya Tunggul Ametung, dijadikan Ken Angrok sebagai batu pijakan untuk mendirikan kerajaan baru di Tumapel. Wilayah kecamatan itu, akhirnya bisa mengalahkan Kerajaan Kediri yang sebelumnya menguasai Tumapel.
Di Indonesia, siapa yang tidak kenal dengan sosok Ken Angrok, atau yang lebih banyak dipanggil dengan nama Ken Arok. Saat berkuasa, ia menyandang nama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Ken Arok, pendiri wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri di wilayah Jawa Timur.
Sejarah mencatat, Kerajaan Tumapel berdiri antara tahun 1222–1292, dengan ibukota di Kutaraja, dengan nama Singhasari. Kemudian nama Singhasari ini, menjadi lebih dikenal sebagai nama kerajaan ketimbang Tumapel. Dua puluh tahun sebelum kerajaan Singhasari runtuh, merupakan masa kejayaannya. Pada saat kehancurannya itu, kerajaan ini dipimpin oleh Kertanagara. Ia menjadi raja terakhir Kerajaan Singhasari.
Pada masa kejayaan itu, Kertanagara memiliki mimpi menguasai semua wilayah nusantara. Ia terobsesi ingin menyatukan wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Singhasari. Di bawah Kertanegara, Singhasari memang berhasil menguasai wilayah hingga Bali ke arah timur. Sementara ke wilayah barat, kekuasaannya telah menjangkau sebagian Sumatera. Bahkan, sejumlah catatan sejarah menyebutkan, kekuasaan Kertanegara mencapai kawasan Selat Malaka.
Sayangnya, obsesi menguasai nusantara itu, justru telah membuat Kertanegara melupakan kondisi internal kerajaannya. Ketidakpedulian ini pula yang menyebabkan kemunduran bahkan kehancurannya. Keterpurukan, kemiskinan, dan ketidakpedulian pada kondisi rakyat Tumapel. Tidak heran, jika kemudian timbul berbagai gejolak yang kemudian mewujud hingga menimbulkan berbagai konflik internal. Kondisi ini, telah meluluhlantakkan kerajaan yang dibangun oleh Ken Arok.
Dendam yang terus diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, telah menjadi sumber kekacauan yang pada akhirnya menghancurkan kerajaan Singhasari. Jika mengacu pada kitab Pararaton, aliran dendam itu diteruskan oleh Anusapati.
Anusapati, merupakan putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ia ingin membalaskan dendam terhadap Ken Arok. Pasalnya, Ken Arok telah membunuh ayahnya, yang menjabat sebagai Akuwu, Tunggul Ametung. Pada tahun 1247, Ken Arok mati di tangan Anusapati. Ia pun kemudian berkuasa di Kerajaan Tumapel. Namun, baru berkuasa dua tahun, Anusapati tewas dihabisi oleh Tohjaya yang membalaskan dendam atas kematian ayahnya, Ken Arok. Tohjadi, putra Ken Arok dengan istri yang bernama Ken Umang.
Tohjaya pun kemudian naik tahta dan duduk di singgahsana kerajaan. Ia menjadi raja Tumapel, setelah Anusapati tewas. Ia yang selama berkuasa sudah merasa was-was dengan keturunan Anusapati dan mencurigai banyak pihak di internal kerajaan, akhirnya juga tewas dalam lingkaran dendam yang masih berlanjut. Kekuasaannya terhenti, karena digulingkan oleh pasukan khusus kerajaan yang berhasil direkrut oleh Ranggawuni. Pasukan ini, memang telah menjadi pendukung setia Anusapati.
Saat berkuasa, Ranggawuni kemudian mengubah namanya menjadi Wisnuwardhana. Sejarah pun menyebutkan, Wisnuwardhana merupakan putra Anusapati yang dibesarkan oleh Tohjaya. Ia berhasil memerintah Kerajaan Singhasari dengan lebih nyaman dan damai, hingga bisa mewariskan kekuasaan pada putranya, Kertanagara. Sayangnya, raja terakhir ini pun gagal menjaga kebesaran dan kejayaan Kerajaan Singhasari.
Namun kekuasaan wangsa Rajasa tidak lantas punah. Garis keturunan wangsa Rajasa ini, kemudian menyambung hingga kerajaan besar Nusantara, Majapahit. Wangsa Raja ini berkuasa selama dua abad, pada abad ke-13 sampai ke-15.
Keberadaan catatan kelam tentang pembunuhan balas dendam dalam keluarga Tumapel ini, tidak ada dalam kitab Kakawin Negarakertagama. Negarakertagama, bahkan tidak memuat dan menyebut sosok Tunggul Ametung, Ken Angrok, Ken Dedes, Ken Umang, dan Tohjaya. Bisa jadi, disebabkan Negarakertagama fokus pada pujian akan kebesaran Hayam Wuruk, raja Majapahit yang berhasil membawa kerajaan ini pada puncak keemasan.
Peristiwa berdarah yang menimpa leluhurnya itu, bisa saja dianggap sebagai aib wangsa Rajasa. Namun demikian, ada catatan penting, hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Artinya, Negarakertagama yang sering menjadi rujukan para pakar sejarah ini, memang puya posisi yang kuat untuk dijadikan referensi sejarah kerajaan lama di Indonesia.
Peristiwa berdarah dalam jejak keluarga pendiri kerajaan Singhasari, yang terus berlanjut hingga kerajaan besar Majapahit, sumbernya merujuk pada kitab Pararaton. Namun, Pararaton ini, tidak sedikit diragukan kebenarannya. Apalagi, tidak ada dukungan artefak sejarah yang bisa ikut menguatkannya. Tidak heran kalau kemudian tidak sedikit pakar sejarah yang berpendapat bahwa Pararaton merupakan kitab hasil rekayasa Belanda untuk mendiskreditkan para pendiri kerajaan besar Nusantara.
Keraguan ini, bukanlah sekedar tuduhan kosong. Apalagi, pakar pun menemukan adanya dua kandungan cerita kontroversial di dalam kitab tersebut. Pertama, tentang kisah Ken Angrok sang pendiri Wangsa Rajasa, sekaligus menjadi maharaja pertama Tumapel-Singhasari yang digambarkan dengan sangat buruk. Ken Angrok disebutkan sebagai pribadi yang punya perilaku sangat buruk.
Orangtua Ken Angrok yang tidak diketahui dengan pasti, dan kehidupannya yang amburadul, mengembara kesana-kemari, bahkan ia pernah hidup bersama keluarga preman, kerjanya malas dan senang berjudi, jadi garong, pemerkosa dan merebut istri orang lain. Masih banyak tuduhan keji lainnya tentang kebejatan moral Ken Angrok. Hal ini tentu akan menjadi tanda tanya, karena secara bersamaan pun Ken Angrok menjadi murid dari resi Lohgawe. Logikanya, murid dari seorang resi terpandang di Tanah Jawa, kok bisa bertabiat sangat buruk. Lohgawe, konon sudah meramalkan Ken Angrok dan keturunannya akan menjadi penguasa Tanah Jawa.
Kontroversi kedua, terkait kisah tentang tragedi Pasundan dengan Perang Bubat. Sebuah pertempuran yang menjadi batalnya pernikahan antara Maharaja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit dengan Putri Maharaja tanah Pasundan. Pertempuran yang lantas berujung pada pembantaian terhadap rombongan pengantar mempelai perempuan, telah menimbulkan luka sejarah yang amat mendalam dan meninggalkan jejak dendam yang amat panjang.
Pararaton sendiri, sebetulnya merupakan suatu kronik yang hanya berisikan kira-kira 1.100 kata dalam bahasa Jawa Tengahan. Kronik cerita ini mengisahkan riwayat maharaja dan raja penguasa Jawa Timur pada zaman Hindu-Buddha. Kerajaan yang disebutkan mulai dari akhir era Kediri, sepanjang era Tumapel-Singhasari, lalu berlanjut ke hampir seluruh sejarah era Majapahit.
Kalau menilik genre kronik yang dimuat dalam kisah Pararaton, kitab ini telah memperlihatkan sebuah tujuan tersembunyi dari penulisnya yang anonim. Sang penulis ingin menjadikan kitab ini sebagai perekam berbagai kejadian sejarah kerajaan pada zaman Jawa Kuno. Catatan rentang sejarah dalam bentuk narasi Pararaton yang dibangun pengarangnya, terentang mulai dari peralihan abad 12 ke-13, bahkan sampai memasuki pertengahan abad ke-15.
Melihat judul Pararaton yang disematkan, sebetulnya merupakan kreasi ahli sejarah berkebangsaan Belanda,JLA Brandes. Judul tersebut dilekatkan oleh Brandes ketika ia menerbitkan versi terjemahan moderen Pararaton pada tahun 1896. Proses penerjemahan yang dilakukan Brandes ini, telah berlangsung sejak 1888. Pada awal proses penerjemahan yang dilakukan Brandes itu, kitab tersebut lebih sering dituliskan dengan penyebutan “Prosa Angrok”.
Namun, sejarawan Barat pertama yang berhasil mengidentifikasikan keberadaan naskah yang kini dikenal sebagai Pararaton sebetulnya R Friedrich. Identifikasi tersebut dilakukan Friedrich pada tahun 1849, ketika ia menyebutkannya dalam laporan riset tentang Bali. Friedrich menyebut naskah tersebut sekadar dengan penyebutan kitab “Kenhangkrok”.
Namun, dengan penyematan judul Pararaton oleh Brandes 1896, juga tidaklah langsung berarti kitab itu sekadar tulisan rekayasa Belanda. Kreasi judul baru oleh Brandes, lebih dilakukan karena kitab tersebut pada awalnya tidak mempunyai judul yang bisa menggambarkan isinya secara khusus. Sebelum kata "Pararaton" disematkan, tumpukan lembaran tulisan itu cuma memuat deretan kata-kata yang dirangkai menjadi semacam intro terhadap isi, yakni Katuturanira Ken Angrok (Kisah tentang Ken Angrok).
Kitab yang sekarang dikenal sebagai Pararaton, memang sudah terbukti sebagai karya tulisan yang berasal dari masa akhir Majapahit. Kitab itu “dimumikan” lewat penyalinan di Bali, setelah kerajaan Majapahit runtuh. Dari kerja pengabadian inilah, akhirnya Pararaton diterjemahkan dalam banyak bahasa moderen oleh sejumlah pakar sejarah, terjadi sejak akhir abad ke-19.
Sejumlah penyebutan tahun pembuatan memang berbeda, dengan yang paling tua secara jelas menyebutkan kitab Pararaton dituliskan pada tahun 1144 Saka atau 1222 Masehi. Tahun tersebut, diabadikan dalam Pararaton sebagai tahun ketika Ken Angrok belum duduk di singgahsana kerajaan. Ketika itu, ia memimpin bala tentara Tumapel mengalahkan bala tentara Kediri pada pertempuran di Ganter. Implikasi dari kemenangan yang diraihnya dalam pertempuran tersebut, menjadikan Ken Angrok sebagai maharaja atas dua kerajaan, Kediri dan Tumapel.
Kekuasaan yang diraih dari keberhasilan penaklukan dalam peperangan ini, tentu mengantarkan Ken Angrok sebagai sosok orang yang paling berkuasa di tanah Jawa ketika itu. Paling tidak, diwilayah yang saat ini menjadi provinsi Jawa Timur, pada perempat pertama abad ke-13 Masehi.
Namun, titik mula linimasa dari narasi Pararaton banyak diyakini para ahli, tahun peristiwanya terjadi jauh sebelum 1144 S/1222 Masehi. Perkiraan ini, bahkan memperlihatkan hampir separo abad lebih awal dari tahun yang tertulis. Kemungkinan ini, didasarkan pada kisah dalam Pararaton yang mengisahkan porsi cerita tentang tokoh bernama Dangdang Gendis. Ia merupakan raja terakhir Kediri, sebelum negeri tersebut ditaklukkan Tumapel, sebuah daerah yang sebelunya merupakan wilayah vazalnya.
Ketika para sejarawan mencoba membangun gambaran utuh dengan kesejarahan Kemaharajaan Kediri berdasarkan berbagai temuan prasasti, tokoh Dangdang Gendis tampaknya identik dengan Srengga alias Kertajaya. Ia yang menjadi maharaja terakhir berwangsa Isyana di Kediri. Kertajaya, diperkirakan berkuasa pada kurun 1190 – 1222 Masehi.
Kesimpulan kesejarahan ini, tampaknya bisa diterima oleh sejarawan secara luas dalam bangunan sejarah utuh tentang kerajaan Jawa Kuno yang ada.
Sejumlah sejarawan juga menyebutkan, tahun yang paling akhir disebutkan dalam narasi Pararaton bertarikh 1403 Saka atau 1481 Masehi. Sekitar satu dasawarsa lebih muda, dan rentang sejarahnya pun menjadi ikut mundur. Rentang itu, bahkan mencapai era di akhir abad ke-15 Masehi. Tahun tersebut dituliskan dalam bentuk sengkalan yang berbunyi kayambara sagareku. Itu selaku penanda kejadian sejarah terakhir yang diberitakan di wilayah tersebut, yaitu ada letusan dari sebuah gunung api di Jawa Timur. Dengan demikian, sejarawan dan arkeolog, tidak benar-benar mendapatkan informasi eksplisit tentang tahun penyelesaian Pararaton.
Artinya, perkiraan terjauh perihal tahun penyelesaian kitab tersebut ada sekitar tahun 1481 masehi, sampai akhir abad ke-15. Ini pulalah yang menjadikan Pararaton seringkali digolongkan sebagai karya susastra dari masa akhir Majapahit, yang sulit mendapatkan dukungan jejak prasastinya.
***
Kembali ke museum Singhasari, bagi penikmat wisata bernuansa sejarah, tentu akan memberikan pengalaman yang amat menarik. Memasuki museum itu, pengunjung dapat melintas sebuah jalan setapak di taman yang ada di komplek museum. Ujung jalan setapak tersebut, mengarahkan pengunjung museum ke sebuah Pendopo.
Tempat itu, pada bagian depannya seperti "dikawal" oleh dua patung Dwarapala. Sementara di tengah pintu masuk Pendopo tersebut, pengunjung akan menemukan sebuah pintu dengan perlambang kesuburan, Lingga-Yoni.
Dwarapala merupakan patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha. Patung itu biasanya berbentuk manusia atau monster. Biasanya Dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain. Keberadaan mereka punya tujuan untuk memberikan perlindungan secara supranatural pada tempat suci atau tempat keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan, berbadan besar dan berotot kekar, dengan lengan perkasa yang jemarinya memegang senjata gada. Rambut ikal tebal yang menghiasi kepalanya, semakin menegaskan keteguhan dan kesungguhan dari Dwarapala yang mengancam pada setiap orang yang akan melintas dan memasuki bangunan yang dijaganya, untuk berbuat sesuai dengan norma kesopanan.
Sementara, biasanya ekspresi wajah Dwarapala juga memperlihatkan ekspresi yang unik. Ekspresinya itu, antara unik dan menakutkan. Kalau melihat, penggambaran wajah Dwarapala dengan mata besar melotot, di mulutnya dilengkapi taring besar nan panjang yang menghiasi senyum tipis, menyiratkan pesan kemarahan dan juga ketegasan yang diramu dalam satu pesan yang bersamaan.
Sejumlah catatan tentang Dwarapala menyebutkan arti mimik wajah yang menyeramkan itu, bisa menjadi pesan dan peringatan bagi orang-orang yang ingin melintas memasuki ruang ataupun bangunan, bahwa mereka sedang diawasi. Bisa juga punya pesan, agar tidak semua orang bisa memasuki tempat tersebut, kecuali bagi orang-orang yang tidak punya niat jahat. Jadi siapapun yang ingin masuk, maka harus menjaga etika dan sopan santun. Lebih jauh lagi, mereka harus selalu ingat pada sang pencipta kehidupan.
Sambil pikirannya menjelajah kemana-mana, Joy mencoba menyeruput kopi panas yang ada di depannya. Namun, tiba-tiba ada rasa kantuk yang kuat. Tiba-tiba ada tarikan kuat yang sudah menjalar di hampir seluruh badan. Tarikan nafasnya terdengar semakin berat dan teratur, mata mulai terpejam. Sementara telinga masih sedikit terjaga. Ia masih bisa mendengar suara kendaraan yang melintas di depan resto, suara kicauan burung pun tiba-tiba seperti bersahutan, namun semakin lamat-lamat terdengar. Sementara posisi badan semakin menjolor menjajari bangku kayu, dan tubuhnya terasa semakin rileks. Kaki pun sudah terselonjor sejajar di bangku panjang kayu jati yang sengaja hanya dihaluskan dengan amplas, tanpa polesan cat.
Dalam kondisi seperti akan tertidur pulas, sayup-sayup, Joy merasa mendengar namanya dipanggil. Panggilan itu meski terdengar lemah, namun rasanya sangat dekat di telinga. Itulah yang memaksanya menoleh ke arah asal suara, meski terdengar seperti orang berbisik.
Kesadarannya pun tiba-tiba pulih seketika, badannya langsung terasa segar. Bahkan, Joy pun langsung meloncat kaget dan turun dari kursi tempatnya berbaring sekitar empat puluh menit sebelumnya. Ia mendengar dengan jelas, panggilan yang menyebutkan namanya. Meski panggilan itu hanyalah suara bisikan yang dihembuskan, seiring aliran udara pagi bertiup dan menerpa badannya. Sementara semburat cahaya mentari langsung bisa menerobos kisi-kisi jendela kayu bergaya Betawi, warna gading dan hijau yang sudah mulai memudar. Cahaya matahari pagi itu, langsung menimpa kelopak mata, dan langsung menembus bola mata. Hangat terasa. Cahaya inilah yang mungkin saja bisa membuatnya langsung terjaga dari tidur rileksnya. Namun, kepalanya menoleh kekiri kekanan, dan matanya mencari-cari asal suara yang membisikkan kata "kembalilah ke Malang Joy".
Dalam setengah jam berikutnya, Joy pun masih celingukan. Dengan langkah perlahan, karena badannya langsung dipaksakan berdiri dari posisi terlentang, ia berjalan mengitari resto yang pintunya masih tertutup rapat. Sinar mentari yang membangunkannya itu, terasa semakin hangat. Joy pun lantas dengan sengaja ingin mandi cahaya matahari pagi, membuka pintu samping, yang biasanya merupakan akses dapur untuk keluar resto. Ia pun langsung berjemur di bawah curahan sinar sang mentari yang memberikan kehangatan bagi seluruh mahkluk hidup di muka bumi. Joy sekedar mengikuti instruksi kesehatan, yang meminta warga untuk menjaga kesehatan. Salah satunya dengan berjemur di bawah panas matahari pagi. Dengan cara itu, diharapkan bisa mencegah, bahkan mematikan virus Covid-19. Tapi paling tidak, ia berharap agar daya tahan tubuhnya semakin kuat. Jika saja, sang virus nekad mendekat bahkan menerpanya, seluruh pertahanan dirinya cukup kuat untuk melemahkan bahkan mematikan sang virus yang telah membuat geger seluruh dunia.
Baru sekitar tiga puluh menit berikutnya, perasaan yang terguncang itu pun mereda. Sambil berjemur di bawah panas matahari pagi, Joy masih merasakan keterkejutan dan rasa bingung yang kuat, ketika mendengar panggilan setengah berbisik itu. Tampak panggilan itu langsung bisa menyiagakan badannya, dan segera bersiap-bersiap untuk menghadapi semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Ada perasaan gentar. Ada perasaan yang langsung menyergap ke dalam sanubarinya. Ada rasa penasaran dan keingintahuan yang besar. Suara siapa itu? Mengapa memintanya pulang ke kampung halamannya?
Sekitar tiga puluh menit berikutnya, panas matahari mampu membuat tubuhnya merasakan hangat. Keringat yang keluar sudah membanjiri badan Joy, meski ia sama sekali tidak melakukan gerakan olahraga. Biasanya, Joy langsung berjalan menuju loker kayu ukuran 30x45x50 centimeter, yang ada di sebelah timur dapur, untuk berganti kaos. Salah satu kaos favoritnya adalah kaos warna hitam bergambar keris Solo dengan warangka mengkilap, dan dikalungi ronce kembang melati di gagangnya, tersemat di bagian belakang kaos, dan ada tulisan logo komunitas pecinta keris nusantara di bagian depan. Atau kalau kaos itu sedang dicuci, ia mengambil kaos warna putih bergambar siluet sepeda onthel yang ditumpangi seorang lelaki tua, bertelanjang dada, dan di kepalanya bertengger topi caping pandan yang tampak lusuh.
Ketika melongok isi loker, kedua kaos favorit itu tidak ada. Joy lupa, kalau kemarin kaos itu sudah dipakainya, dan dimasukkan dalam mesin cuci, namun belum dihidupkan. Biasanya, mesin itu dihidupkan tiap dua hari sekali. Karena memang, baju yang digunakannya tidak banyak. Ia ingat betul, ada kaos bergambar anak kucing berwajah tablo, namun menggemaskan. Kemarin kaos itu berada di tumpukan atas di tumpukan kaos dan kemejanya di loker. Kaos itu menghilang. Sudah dua atau tiga kali, ia memeriksa tumpukan baju itu. Tapi kaos bergambar Miko, nama anak kucing itu, sudah menghilang, entah kemana. Akhirnya, ia menyambar kaos putih polos, untuk mengganti kaosnya yang sudah basah oleh keringat. Kemudian tangannya juga meraih gelas, dan menuangkan air dari galon air minum. Segelas air pun langsung amblas diminumnya.
Dengan langkah santai, ia kembali duduk di kursi "singgahsananya". Joy masih memikirkan bisikan itu. Bisikan yang memintanya untuk pulang ke Malang. Apakah itu harus pulang? Ada apakah dengan Malang? Ia sudah tidak memiliki orangtua lagi di Malang, kota kelahirannya. Memang, di kota Malang masih ada rumah masa kecilnya. Peninggalan orangtuanya yang sudah lama tidak ditengok. Mungkin sudah hampir tiga tahun, sejak orangtuanya meninggal, ia tidak pulang ke Malang.
Secepat kilat menyusup keinginan untuk pulang kampung, toh tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di Jakarta. Pemerintah masih tidak mengizinkan resto nya dibuka, karena akan mengumpulkan orang-orang yang bisa meningkatkan potensi penularan.
"Aku harus pulang," kata Joy pelan pada dirinya sendiri. Ia pun segera bangkit dari kursinya, lalu bersiap untuk mandi. Bulat tekadnya untuk pulang. Nanti setelah sarapan, aku ingin mencari tiket untuk pulang ke Malang. Atau, mengendarai mobilnya seorang diri ke Malang. Namun, ia masih memikirkan bagaimana dengan bahan makanan yang masih menumpuk di gudang penyimpanan, dan makanan beku yang ada di freezer. Ah sudahlah, bisa diberikan saja pada Mang Udin dan keluarganya. Sementara bahan makanan yang ada di gudang stok, bisa dibagikan saja pada warga yang membutuhkan di belakang resto. Artinya, tidak bisa berangkat hari ini ke Malang. Mungkin, keberangkatan itu bisa ditunda hingga lusa. Sampai bahan makanan yang ada habis dibagikan. Joy hanya menyisakan sedikit untuk dimakan dalam satu dua hari ini. Selain itu, ia ingin menyiapkan makanan kesukaan Shinta. Biasanya, Joy juga membuat tiga menu untuk dikirimkan bersamaan ke rumah Shinta.
Sementara, soal resto dan kebersihannya, seperti biasa, tanggungjawab itu diberikan pada Mang Udin. Beres sudah. Ia pun tinggal menyiapkan baju-baju yang akan dibawanya pulang ke Malang. Mungkin, untuk stok persiapan selama sebulan.
Pulang ke Malang disaat bukan musim "mudik", mungkin terasa aneh jika dalam keadaan normal. Namun, saat ini keadaannya tidak normal. Saat ini aku ingin pulang. Paling tidak, membersihkan makam pusara bapak ibu, dan membersihkan rumah masa kecil.
Guyuran air dingin dari shower menerpa badannya. Rasa segar, dan sedikit penat seketika hilang.
Aku harus cepat pulang
Aku harus cepat pulang wo wo yeah
Kamu harus cepat pulang
Jangan terlambat sampai dirumah
Tak sadar, bibirnya menyenandungkan lagu Slank, yang menjadi salah satu lagu favoritnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H