Artinya, perkiraan terjauh perihal tahun penyelesaian kitab tersebut ada sekitar tahun 1481 masehi, sampai akhir abad ke-15. Ini pulalah yang menjadikan Pararaton seringkali digolongkan sebagai karya susastra dari masa akhir Majapahit, yang sulit mendapatkan dukungan jejak prasastinya.
***
Kembali ke museum Singhasari, bagi penikmat wisata bernuansa sejarah, tentu akan memberikan pengalaman yang amat menarik. Memasuki museum itu, pengunjung dapat melintas sebuah jalan setapak di taman yang ada di komplek museum. Ujung jalan setapak tersebut, mengarahkan pengunjung museum ke sebuah Pendopo.
Tempat itu, pada bagian depannya seperti "dikawal" oleh dua patung Dwarapala. Sementara di tengah pintu masuk Pendopo tersebut, pengunjung akan menemukan sebuah pintu dengan perlambang kesuburan, Lingga-Yoni.
Dwarapala merupakan patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha. Patung itu biasanya berbentuk manusia atau monster. Biasanya Dwarapala diletakkan di luar candi, kuil atau bangunan lain. Keberadaan mereka punya tujuan untuk memberikan perlindungan secara supranatural pada tempat suci atau tempat keramat di dalamnya. Dwarapala biasanya digambarkan sebagai makhluk yang menyeramkan, berbadan besar dan berotot kekar, dengan lengan perkasa yang jemarinya memegang senjata gada. Rambut ikal tebal yang menghiasi kepalanya, semakin menegaskan keteguhan dan kesungguhan dari Dwarapala yang mengancam pada setiap orang yang akan melintas dan memasuki bangunan yang dijaganya, untuk berbuat sesuai dengan norma kesopanan.
Sementara, biasanya ekspresi wajah Dwarapala juga memperlihatkan ekspresi yang unik. Ekspresinya itu, antara unik dan menakutkan. Kalau melihat, penggambaran wajah Dwarapala dengan mata besar melotot, di mulutnya dilengkapi taring besar nan panjang yang menghiasi senyum tipis, menyiratkan pesan kemarahan dan juga ketegasan yang diramu dalam satu pesan yang bersamaan.
Sejumlah catatan tentang Dwarapala menyebutkan arti mimik wajah yang menyeramkan itu, bisa menjadi pesan dan peringatan bagi orang-orang yang ingin melintas memasuki ruang ataupun bangunan, bahwa mereka sedang diawasi. Bisa juga punya pesan, agar tidak semua orang bisa memasuki tempat tersebut, kecuali bagi orang-orang yang tidak punya niat jahat. Jadi siapapun yang ingin masuk, maka harus menjaga etika dan sopan santun. Lebih jauh lagi, mereka harus selalu ingat pada sang pencipta kehidupan.
Sambil pikirannya menjelajah kemana-mana, Joy mencoba menyeruput kopi panas yang ada di depannya. Namun, tiba-tiba ada rasa kantuk yang kuat. Tiba-tiba ada tarikan kuat yang sudah menjalar di hampir seluruh badan. Tarikan nafasnya terdengar semakin berat dan teratur, mata mulai terpejam. Sementara telinga masih sedikit terjaga. Ia masih bisa mendengar suara kendaraan yang melintas di depan resto, suara kicauan burung pun tiba-tiba seperti bersahutan, namun semakin lamat-lamat terdengar. Sementara posisi badan semakin menjolor menjajari bangku kayu, dan tubuhnya terasa semakin rileks. Kaki pun sudah terselonjor sejajar di bangku panjang kayu jati yang sengaja hanya dihaluskan dengan amplas, tanpa polesan cat.
Dalam kondisi seperti akan tertidur pulas, sayup-sayup, Joy merasa mendengar namanya dipanggil. Panggilan itu meski terdengar lemah, namun rasanya sangat dekat di telinga. Itulah yang memaksanya menoleh ke arah asal suara, meski terdengar seperti orang berbisik.
Kesadarannya pun tiba-tiba pulih seketika, badannya langsung terasa segar. Bahkan, Joy pun langsung meloncat kaget dan turun dari kursi tempatnya berbaring sekitar empat puluh menit sebelumnya. Ia mendengar dengan jelas, panggilan yang menyebutkan namanya. Meski panggilan itu hanyalah  suara bisikan yang dihembuskan, seiring aliran udara pagi bertiup dan menerpa badannya. Sementara semburat cahaya mentari langsung bisa menerobos kisi-kisi jendela kayu bergaya Betawi, warna gading dan hijau yang sudah mulai memudar. Cahaya matahari pagi itu, langsung menimpa kelopak mata, dan langsung menembus bola mata. Hangat terasa. Cahaya inilah yang mungkin saja bisa membuatnya langsung terjaga dari tidur rileksnya. Namun, kepalanya menoleh kekiri kekanan, dan matanya mencari-cari asal suara yang membisikkan kata "kembalilah ke Malang Joy".
Dalam setengah jam berikutnya, Joy pun masih celingukan. Dengan langkah perlahan, karena badannya langsung dipaksakan berdiri dari posisi terlentang, ia berjalan mengitari resto yang pintunya masih tertutup rapat. Sinar mentari yang membangunkannya itu, terasa semakin hangat. Joy pun lantas dengan sengaja ingin mandi cahaya matahari pagi, membuka pintu samping, yang biasanya merupakan akses dapur untuk keluar resto. Ia pun langsung berjemur di bawah curahan sinar sang mentari yang memberikan kehangatan bagi seluruh mahkluk hidup di muka bumi. Joy sekedar mengikuti instruksi kesehatan, yang meminta warga untuk menjaga kesehatan. Salah satunya dengan berjemur di bawah panas matahari pagi. Dengan cara itu, diharapkan bisa mencegah, bahkan mematikan virus Covid-19. Tapi paling tidak, ia berharap agar daya tahan tubuhnya semakin kuat. Jika saja, sang virus nekad mendekat bahkan menerpanya, seluruh pertahanan dirinya cukup kuat untuk melemahkan bahkan mematikan sang virus yang telah membuat geger seluruh dunia.
Baru sekitar tiga puluh menit berikutnya, perasaan yang terguncang itu pun mereda. Sambil berjemur di bawah panas matahari pagi, Joy masih merasakan keterkejutan dan rasa bingung yang kuat, ketika mendengar panggilan setengah berbisik itu. Tampak panggilan itu langsung bisa menyiagakan badannya, dan segera bersiap-bersiap untuk menghadapi semua kemungkinan yang bisa saja terjadi. Ada perasaan gentar. Ada perasaan yang langsung menyergap ke dalam sanubarinya. Ada rasa penasaran dan keingintahuan yang besar. Suara siapa itu? Mengapa memintanya pulang ke kampung halamannya?