Sekitar tiga puluh menit berikutnya, panas matahari mampu membuat tubuhnya merasakan hangat. Keringat yang keluar sudah membanjiri badan Joy, meski ia sama sekali tidak melakukan gerakan olahraga. Â Biasanya, Joy langsung berjalan menuju loker kayu ukuran 30x45x50 centimeter, yang ada di sebelah timur dapur, untuk berganti kaos. Salah satu kaos favoritnya adalah kaos warna hitam bergambar keris Solo dengan warangka mengkilap, dan dikalungi ronce kembang melati di gagangnya, tersemat di bagian belakang kaos, dan ada tulisan logo komunitas pecinta keris nusantara di bagian depan. Atau kalau kaos itu sedang dicuci, ia mengambil kaos warna putih bergambar siluet sepeda onthel yang ditumpangi seorang lelaki tua, bertelanjang dada, dan di kepalanya bertengger topi caping pandan yang tampak lusuh.
Ketika melongok isi loker, kedua kaos favorit itu tidak ada. Joy lupa, kalau kemarin kaos itu sudah dipakainya, dan dimasukkan dalam mesin cuci, namun belum dihidupkan. Biasanya, mesin itu dihidupkan tiap dua hari sekali. Karena memang, baju yang digunakannya tidak banyak. Ia ingat betul, ada kaos bergambar anak kucing berwajah tablo, namun menggemaskan. Kemarin kaos itu berada di tumpukan atas di tumpukan kaos dan kemejanya di loker. Kaos itu menghilang. Sudah dua atau tiga kali, ia memeriksa tumpukan baju itu. Tapi kaos bergambar Miko, nama anak kucing itu, sudah menghilang, entah kemana. Â Akhirnya, ia menyambar kaos putih polos, untuk mengganti kaosnya yang sudah basah oleh keringat. Kemudian tangannya juga meraih gelas, dan menuangkan air dari galon air minum. Segelas air pun langsung amblas diminumnya.
Dengan langkah santai, ia kembali duduk di kursi "singgahsananya". Joy masih memikirkan bisikan itu. Bisikan yang memintanya untuk pulang ke Malang. Apakah itu harus pulang? Ada apakah dengan Malang? Ia sudah tidak memiliki orangtua lagi di Malang, kota kelahirannya. Memang, di kota Malang masih ada rumah masa kecilnya. Peninggalan orangtuanya yang sudah lama tidak ditengok. Mungkin sudah hampir tiga tahun, sejak orangtuanya meninggal, ia tidak pulang ke Malang.
Secepat kilat menyusup keinginan untuk pulang kampung, toh tidak ada lagi yang bisa dilakukannya di Jakarta. Pemerintah masih tidak mengizinkan resto nya dibuka, karena akan mengumpulkan orang-orang yang bisa meningkatkan potensi penularan.
"Aku harus pulang," kata Joy pelan pada dirinya sendiri. Ia pun segera bangkit dari kursinya, lalu bersiap untuk mandi. Bulat tekadnya untuk pulang. Nanti setelah sarapan, aku ingin mencari tiket untuk pulang ke Malang. Atau, mengendarai mobilnya seorang diri ke Malang. Namun, ia masih memikirkan bagaimana dengan bahan makanan yang masih menumpuk di gudang penyimpanan, dan makanan beku yang ada di freezer. Ah sudahlah, bisa diberikan saja pada Mang Udin dan keluarganya. Sementara bahan makanan yang ada di gudang stok, bisa dibagikan saja pada warga yang membutuhkan di belakang resto. Artinya, tidak bisa berangkat hari ini ke Malang. Mungkin, keberangkatan itu bisa ditunda hingga lusa. Sampai bahan makanan yang ada habis dibagikan. Joy hanya menyisakan sedikit untuk dimakan dalam satu dua hari ini. Selain itu, ia ingin menyiapkan makanan kesukaan Shinta. Biasanya, Joy juga membuat tiga menu untuk dikirimkan bersamaan ke rumah Shinta.
Sementara, soal resto dan kebersihannya, seperti biasa, tanggungjawab itu diberikan pada Mang Udin. Beres sudah. Ia pun tinggal menyiapkan baju-baju yang akan dibawanya pulang ke Malang. Mungkin, untuk stok persiapan selama sebulan.
Pulang ke Malang disaat bukan musim "mudik", mungkin terasa aneh jika dalam keadaan normal. Namun, saat ini keadaannya tidak normal. Saat ini aku ingin pulang. Paling tidak, membersihkan makam pusara bapak ibu, dan membersihkan rumah masa kecil.
Guyuran air dingin dari shower menerpa badannya. Rasa segar, dan sedikit penat seketika hilang.
Aku harus cepat pulang
Aku harus cepat pulang wo wo yeah
Kamu harus cepat pulang