Anusapati, merupakan putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Ia ingin membalaskan dendam terhadap Ken Arok. Pasalnya, Ken Arok telah membunuh ayahnya, yang menjabat sebagai Akuwu, Tunggul Ametung. Pada tahun 1247, Ken Arok mati di tangan Anusapati. Ia pun kemudian berkuasa di Kerajaan Tumapel. Namun, baru berkuasa dua tahun, Anusapati tewas dihabisi oleh Tohjaya yang membalaskan dendam atas kematian ayahnya, Ken Arok. Tohjadi, putra Ken Arok dengan istri yang bernama Ken Umang.
Tohjaya pun kemudian naik tahta dan duduk di singgahsana kerajaan. Ia menjadi raja Tumapel, setelah Anusapati tewas. Ia yang selama berkuasa sudah merasa was-was dengan keturunan Anusapati dan mencurigai banyak pihak di internal kerajaan, akhirnya juga tewas dalam lingkaran dendam yang masih berlanjut. Kekuasaannya terhenti, karena digulingkan oleh pasukan khusus kerajaan yang berhasil direkrut oleh Ranggawuni. Pasukan ini, memang telah menjadi pendukung setia Anusapati.
Saat berkuasa, Ranggawuni kemudian mengubah namanya menjadi Wisnuwardhana. Sejarah pun menyebutkan, Wisnuwardhana merupakan putra Anusapati yang dibesarkan oleh Tohjaya. Ia berhasil memerintah Kerajaan Singhasari dengan lebih nyaman dan damai, hingga bisa mewariskan kekuasaan pada putranya, Kertanagara. Sayangnya, raja terakhir ini pun gagal menjaga kebesaran dan kejayaan Kerajaan Singhasari.
Namun kekuasaan wangsa Rajasa tidak lantas punah. Garis keturunan wangsa Rajasa ini, kemudian menyambung hingga kerajaan besar Nusantara, Majapahit. Wangsa Raja ini berkuasa selama dua abad, pada abad ke-13 sampai ke-15.
Keberadaan catatan kelam tentang pembunuhan balas dendam dalam keluarga Tumapel ini, tidak ada dalam kitab Kakawin Negarakertagama. Negarakertagama, bahkan tidak memuat dan menyebut sosok Tunggul Ametung, Ken Angrok, Ken Dedes, Ken Umang, dan Tohjaya. Bisa jadi, disebabkan Negarakertagama fokus pada pujian akan kebesaran Hayam Wuruk, raja Majapahit yang berhasil membawa kerajaan ini pada puncak keemasan.
Peristiwa berdarah yang menimpa leluhurnya itu, bisa saja dianggap sebagai aib wangsa Rajasa. Namun demikian, ada catatan penting, hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Artinya, Negarakertagama yang sering menjadi rujukan para pakar sejarah ini, memang puya posisi yang kuat untuk dijadikan referensi sejarah kerajaan lama di Indonesia.
Peristiwa berdarah dalam jejak keluarga pendiri kerajaan Singhasari, yang terus berlanjut hingga kerajaan besar Majapahit, sumbernya merujuk pada kitab Pararaton. Namun, Pararaton ini, tidak sedikit diragukan kebenarannya. Apalagi, tidak ada dukungan artefak sejarah yang bisa ikut menguatkannya. Tidak heran kalau kemudian tidak sedikit pakar sejarah yang berpendapat bahwa Pararaton merupakan kitab hasil rekayasa Belanda untuk mendiskreditkan para pendiri kerajaan besar Nusantara.
Keraguan ini, bukanlah sekedar tuduhan kosong. Apalagi, pakar pun menemukan adanya dua kandungan cerita kontroversial di dalam kitab tersebut. Pertama, tentang kisah Ken Angrok sang pendiri Wangsa Rajasa, sekaligus menjadi maharaja pertama Tumapel-Singhasari yang digambarkan dengan sangat buruk. Ken Angrok disebutkan sebagai pribadi yang punya perilaku sangat buruk.
Orangtua Ken Angrok yang tidak diketahui dengan pasti, dan kehidupannya yang amburadul, mengembara kesana-kemari, bahkan ia pernah hidup bersama keluarga preman, kerjanya malas dan senang berjudi, jadi garong, pemerkosa dan merebut istri orang lain. Masih banyak tuduhan keji lainnya tentang kebejatan moral Ken Angrok. Hal ini tentu akan menjadi tanda tanya, karena secara bersamaan pun Ken Angrok menjadi murid dari resi Lohgawe. Logikanya, murid dari seorang resi terpandang di Tanah Jawa, kok bisa bertabiat sangat buruk. Lohgawe, konon sudah meramalkan Ken Angrok dan keturunannya akan menjadi penguasa Tanah Jawa.
Kontroversi kedua, terkait kisah tentang tragedi Pasundan dengan Perang Bubat. Sebuah pertempuran yang menjadi batalnya pernikahan antara Maharaja Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit dengan Putri Maharaja tanah Pasundan. Pertempuran yang lantas berujung pada pembantaian terhadap rombongan pengantar mempelai perempuan, telah menimbulkan luka sejarah yang amat mendalam dan meninggalkan jejak dendam yang amat panjang.
Pararaton sendiri, sebetulnya merupakan suatu kronik yang hanya berisikan kira-kira 1.100 kata dalam bahasa Jawa Tengahan. Kronik cerita ini mengisahkan riwayat maharaja dan raja penguasa Jawa Timur pada zaman Hindu-Buddha. Kerajaan yang disebutkan mulai dari akhir era Kediri, sepanjang era Tumapel-Singhasari, lalu berlanjut ke hampir seluruh sejarah era Majapahit.