Terdorong oleh rasa cita-cita dan keingintahuannnya yang besar, Bima terus memasuki samudra, setapak demi setapak menuju suatu tempat, di sebuah lautan luas yang semakin dalam, dipenuhi deburan ombak yang menerpa semua yang dilewatinya. Samudra yang sangat luas tak bertepi, tetapi Bima tanpa sedikitpun rasa takut dan kekhawatiran hinggap di hati Sang putra Pandu. Bima adalah Arya Sena, karena didalam dirinya telah bersemayam kekuatan dewa gajah Arya Brata Sena, sejak dilahirkan sudah mendapatkan anugerah bermacam kesaktian dari para dewa.
Menghadapi tantangan dalam hidup sesulit apapun, bagi Bratasena, adalah sesuatu yang sudah terbiasa. Bima juga menjadi kebanggaan para dewa, karena ketaatannya menjalankan setiap jenis laku tapabrata, dijalaninya tanpa mengeluh sedikitpun. Oleh sebab itu banyak para dewa sangat menyayanginya, dan memberikan anugerah nama-nama kepada Bima sesuai dengan sifat dan watak dewa yang memberinya. Bondan Peksajandu yang artinya kebal akan segala racun. Gelar ini diberikan oleh Sang Hyang Anantaboga , dewa segala mahluk naga dan ular. Arya Brata, karena dia sangat tahan menderita, Bayuputra, Bayusiwi, Bayutanaya, Bayusuta, karena Bima diangkat putra oleh Batara Bayu.
Bungkus adalah panggilan kesayangan dari Sri Batara Krisna, merupakan saudara sepupu, dari Ibu Kunti yang merupakan adik kandung Prabu Basudewa ayah dari Krisna. Kenapa dipanggil bungkus, karena Bima sewaktu dilahirkan berupa bungkus, yang hanya bisa menggelinding kesana kemari, bagaikan bola. Jangan dianggap remeh seorang Bima saat dilahirkan berbentuk bungkus. Tidak satupun senjata pusaka yang dapat melukai bungkus dari Bima. Didalam suatu ceritera, bungkus Bima baru bisa dipecahkan oleh Gajah Arya Sena, seorang dewa yang berbentuk gajah.
Bratasena adalah seorang kasatria linuwih, dasarnya masih Trah Pandita Rembesing Madu, masih keturunan dari para brahmana sakti, masih ada garis putra dewa. Ayahnya adalah seorang Raja Agung Hastina, Pura, Pandu, putra Resi Wiyasa, putra Resi Palasara, putra Resi Sakri, putra Sekutrem, putra Manusama, Parikenan, ….sampai Batara Indra…, Batara Guru, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, ….sampai Sang Hyang Nur Cahyo, … Nabi Sys,…putra Nabi Adam AS. Begitulah apabila diurut kacang, Bima masih keturunan para nabi. Kini Bima menghadapi ujian berat, suatu tugas yang diberikan oleh gurunya Pandita Durna, untuk mencari Air Kehidupan, yang berada di tengah-tengah Samudra luas, demikian yang diterimanya sebagai sabda guru yang harus dipatuhinya.
Tekadnya sudah bulat, tak ada yang dapat mencegahnya,. Semua saudara-saudara kandung Bima, termasuk Raja Dwarawati, Sr Krisna, telah mengingatkannya, agar niat Bima mencari Air Kehidupan di tengah samudra , diurungkannya saja.”Dimas Bratasena, dimas hendak mencari Air Kehidupan yang berada di tengah lautan luas, sebaiknya diurungkannya saja. Ketahuilah, sebenarnya tidak ada, apa yang disebut dengan “Air Kehidupan”, apalagi harus dicari di tengah samudra itu dimas Bratasena, sabda gurumu itu, sebenarnya untuk menjerumuskan dimas Bratasena sendiri, agar dimas menemui pralaya.” Bima malah balik menasehati Sri Krisna, agar jangan turut campur, apalagi sampai berani menghina gurunya. “Jaliteng kakangku, tidak ada seorang guru, menjerumuskan siswanya, apalagi hendak membunuhnya, kakang Krisna jangan diterus-teruskan omongan kanda, ini urusan saya dengan guru Drona. Saya, hanya titip, adik-adik saya, dan Kerajaan Amarta, engkau harus memberi perlindungan, anggaplah Amarta seperti Dwarawati. Tak kurang-kurangnya nasehat Prabu kresna, tetapi apa boleh buat, tekad dari kasatria linuwih, tak dapat dicegah apalagi dihalang-halangi, satu-satunya harapan, Prabu Krisna bersama-sama para Pandawa memohon kepada Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Agung untuk memberikan keselamatan kepada Bima.
Kini terbentang dalam ceritera di tengah Samudera luas tak bertepi, hanya tampak gulungan ombak besar, sebesar-besar gunung mempermainkan sosok kasatria linuwih, kasatria yang kondang kejujurannya, menjunjung tinggi semua perintah gurunya. Bima tampak terdiam , hanya memejamkan kedua matanya, memusatkan seluruh kekuatan batinnya, memuja dan memuji kebesaran Hyang Hakarya Jagad, meminta dan mohon diberi kemudahan dalam melaksanakan tugas sucinya yang diberikan guru Dorna.
Mendadak berubahlah keadaan alam disekitarnya, seluruh air samudera luas dan seluruh penghuninya seperti berhenti, mengikuti keheningan yang dilakukan Bratasena. Desir angin samudra bagaikan mengumandangkan syair-syair dan lagu puji-pujian agung menyambut kehadiran seseorang yang berperawakan kecil, seperti seorang anak-anak, berpakaian serba hijau berada persis didepan Bima yang sedang melakukan semedi.
Dengan suara halus, manusia aneh tadi, membangunkan Bima yang sedang melakukan semedi. Ujarnya:”Kulup, Bratasena…bangunlah dari semedimu… bangunlah angger Bratasena, sudah saatnya Ulun menemui mu, memberikan titipan dari Hyang Wisesa Yang Maha Agung, agar memberikan penerangan kepada batin dan rochanimu, seperti yang angger inginkan.” Pelan-pelan Bima terbangun, dan sangat heran, begitu melihatnya didepan ada sosok anak kecil berpakaian serba hijau membangunkan dirinya.
Bima bertanya:” Siapakah anda berani membangunkan tapaku? Sosok anak kecil menjawabnya:” Bima, ulun adalah Dewa, nama ulun Dewa Ruci” Mendengar disebutkannya nama Dewa Ruci, seketika itu juga, Bima memeluk kedua kaki dewa Ruci, sambil berkata.”Maafkan hambamu ini, atas kelancangan hamba dan ketidak sopanan hamba kepada pukulun.” Dewa Ruci:” Angger Bima…., ulun sebagai dewa, ulun tidak bakalan kasamaran, apa sesungguhnya yang menjadi keinganmu, kamu sampai harus melakukan laku yang berat ini, namun begitu, ulun ingin mengetahui langsung dari dirimu, katakanlah sejujur-jujurnya.”Bima:”Pukulun hamba mendapatkan tugas dari guru Dorna, untuk mencari Air Kehidupan, sebagai syarat mendapatkan Ilmu Sejati, Ilmu untuk mendapatkan Kesempurnaan Hidup.” Dewa Ruci:”Bima, apa yang disebutkan gurumu Dorna sebagai “Air Kehidupan”, sebenarnya tidak ada. Yang ada adalah “Ilmu Marifatullah” atau “Ilmu Hidayah Jati”, manusia awam menyebutnya “Ilmu Sejatining Urip.” Namun demikian Bima, apa yang disebutkan gurumu Durna, anggaplah saja ada, dan sebagai gantinya angger Bima mendapatkan yang benar-benar ada.”Bima, kejujuranmu dan kepatuhan yang tulus kepada gurumu, menjadikan seluruh dewa di memberikan anugerah agung, dirimu diijinkan memasuki alam Makrifat, mendapatkan “ilmu Sejatining Urip”, para pandita menyebutnya “Ilmu Hidayah Jati” sarananya kamu harus masuk melalui telinga kiri ulun.”
Bima:” Pukulun, badan hamba sangat besar, bagaimana caranya badan hamba dapat masuk lewat telinga kiri pukulun.?
Dewa Ruci:” Bima , jangan khawatir, jangankan hanya badan angger yang sebesar itu, sedangkan jagad seisinya pasti dapat masuk ke raga ulun.”
(Hanya dengan sebuah niat yang tulus, akhirnya Bima dengan secepat kilat masuk ke dalam jagad wadag dari Dewa Ruci)
Dewa Ruci: Kulup, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya , segala yang kau saksikan di sana
Bima:” Hamba berada di sebuah tempat yang hamba sendiri tidak mengetahuinya, terang benderang tetapi tidak tampak sinar matahari, keadaan senyap, hening, alam semesta yang sangat luas tak terjangkau di alam pikiran hamba, tidak diketahui arah timur, barat, utara dan selatan, yang mana atas dan yang mana bawah, semuanya serba membingungkan, dibelakang dan didepan hamba tiada berbeda. Pukulun hamba mohon petunjuk.
Dewa Ruci: “Bima …tenangkanlah hatimu, pusatkan seluruh kekuatan batinmu, dan mulailah bermohon kepada Tuhan Yang Maha Agung, yakinilah dan jangan sekali-kali berhenti memohon, meminta, dengan seluruh kerendahan hati, pasrahkan segalanya minta petunjuk-Nya, pertolongan Tuhan Yang Maha Agung” pasti akan segera datang (dalam sekejap setelah disebutkan nama Tuhan Yang Maha Agung, sang Bima menemukan kiblat dan melihat surya, setelah hati kembali terang benderang, tampaklah sang Dewaruci di jagad walikan.) Mulailah Sang Dewa Ruci memberikan wejangan-wejangan Ilmu Marifat apa yang disebutkan oleh kebanyakan orang sebagai “Air Kehidupan” yang sebenarnya adalah “Ilmu Hidayah Jati”, ada yang menyebutnya “Ilmu Sejatining Urip.
Dewa Ruci:” Dengarkan dan perhatikan sabda ulun.” Sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena ketika masih kosong belum ada sesuatupun, yang ada lebih dahulu adalah Aku, tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat Yang Maha suci, yang meliputi sifat-Ku, menyertai nama-Ku, menandai perbuatan-Ku.”
Dewa Ruci:”Penjelasannya begini angger Bima:
- Yang mengatakan sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku, Dzat yang Maha Suci, ialah hidup kita pribadi, dengan bertambahnya rahsa Dzat yang Agung.
- Semua sifat tersebut ialah; rupa kita pribadi, mendapatkan warna Dzat yang elok. Menyertai nama, ialah nama kita pribadi, yang diakui sebagai;”Dzat yang Kuasa”. Sebagai tandanya adalah tingkah-laku kita pribadi, pasti mencerminkan perbuatan Dzat yang Sempurna. Oleh karena itu, ibarat Dzat yang mengandung sifat; sifat menyertai nama, dan nama menandakan perbuatan, perbuatan menjadi wahana Dzat.
- Dzat mengandung sifat, seumpama madu dengan rasa manisnya, pasti tak dapat dipisahkan.
- Sifat menyertai nama, seumpama matahari dengan sinarnya, pasti tak dapat dibedakan.
- Nama menandai perbuatan, seumpama cermin, orang yang bercermin dengan bayangannya, pasti segala tingkah-lakunya mengikuti bayangan.
- Sedangkan perbuatan menjadi wahana Dzat, seumpama samudera dengan ombaknya, pasti keadaan ombak mengikuti samudera.
Sebenarnya yang disebutkan Dzat ialah tajallinya Muhammad, sedangkan yang bernama Muhammad wahananya cahaya yang meliputi badan, berada pada hidup kita. Hidup sendiri, tanpa ada yang menghidupkan, oleh karena itu berkuasa, mendengar, mencium, berbicara, merasakan segala rasa, kesemuanya dari kodrat Dzat kita sendiri. Maksudnya adalah; Dzat Tuhan Yang Maha Suci melihat dengan mata kita, mendengar dengan telinga kita, mencium dengan hidung kita, bersabda dengan mulut kita, dan merasakan segala macam rasa dengan mempergunakan alat perasa kita. Jangan ada rasa khawatir dalam pikiran, karena wahananya Wahya dyatmika ada pada diri kita. Artinya, lahir batin Allah telah berada dalam hidup kita pribadi. Peribahasanya: Lebih tua dzat manusia daripada sifat Allah, karena kejadian dzat itu kadim azali abadi, yaitu paling dahulu sendiri, dikala masih hampa keadaan kita. Sedangkan kejadian sifat itu hudutsul alam, artinya baru adanya di dunia. Akan tetapi saling tarik menarik dan tetap-menetapkan, semua yang bernama dzat itu pasti mengandung sifat, segala yang bernama sifat pasti memiliki dzat.(Sampai disini Ilmu Ma’rifat yang diwedar Sang Dewa Ruci langsung kepada Bima putra Pandu, berhenti sesaat, padahal baru pada sampai maqam pertama, Bima sudah tampak menggigil seperti orang terkena demam tinggi. Masih ada delapan maqam yang hendak diwedar oleh Dewa Ruci kepada Bima, akan tetapi melihat kekuatan Bima yang hanya kuat pada maqam pertama saja. Maka Dewa Ruci menghentikan wejangannya. Bima segera sadar apa yang telah terjadi, Bima masih belum kuat menerima Ilmu Ma’rifat sampai pada tingkat yang lebih tinggi lagi. Menyadari akan kekurangan atas dirinya, Bima segera memeluk Sang Dewa Ruci, mohon diberi kesempatan lagi untuk dapat menerima tingkat Ilmu Hidayah Jati yang lebih tinggi. Sang Dewa Ruci berpesan kepada Bima, supaya melakukan lebih banyak tapa brata, dan melakukan Tapa Ngrame, yaitu bertapa di dalam keramaian pergaulan manusia dan alam sekitar, yang dilakukannya adalah berbuat kebajikan buat sesama, berlaku adil kepada lingkungan, mengendalikan nafsu-nafsu amarah, dan seluruh nafsu-nafsu yang menjerumuskan manusia kelembah kehinaan. Bima segera menyadari sepenuhnya dan berjanji kepada dirinya sendiri akan melakukan lebih banyak tapa brata disertai Tapa Ngrame.
Seusai Dewa Ruci memberikan kerahasiaan marifat Hidayah Jati, ditiupnya Bima, sehingga seolah-olah badan Bima terbawa melesat keluar alam lain dan seketika sudah berada di Tepi hutan Negara Amarta.(Bima Akan menerima Hidayah Jati pada tingkatan-tingkatan lebih tinggi setelah Bharatayuda).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H