Mohon tunggu...
Imam Hanafie El-Arwany
Imam Hanafie El-Arwany Mohon Tunggu... -

Simple

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Musik dalam Kaca Mata Islam

26 Juni 2015   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:45 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di samping dalil yang disandarkan pada Al-Qur’an, terdapat beberapa dalil yang disandarkan pada beberapa Hadits yaitu: Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” Dan Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda: “Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.

Sedangkan dalil-dalil yang menghalalkan nyanyian di antaranya di dasarkan pada QS. Al-Maidah: 87 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (QS. al-Mâ’idah: 87). Hukum halalnya menyanyikan lagu juga disandarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori yang berbunyi :

وَعِنْدَهَا قَيْنَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاذَفَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ مِزْمَارُ الشَّيْطَانِ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَإِنَّ عِيدَنَا هَذَا الْيَوْمُ

Artinya: “Saat itu di hadapan 'Aisyah radliallahu 'anha terdapat dua budak perempuan hasil tawanan kaum Anshar dalam perang Bu'ats sedang bernyanyi. Maka Abu Bakar berkata; "Seruling-seruling syetan." Dia mengucapkannya dua kali. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya dan hari raya kita adalah hari ini." (HR. Bukhari, Hadits No: 3638)

Dalam hadits yang lain riwayat Ahmad disebutkan:

مَرَّ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى حَسَّانَ وَهُوَ يُنْشِدُ الشِّعْرَ فِي الْمَسْجِدِ فَقَالَ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُنْشِدُ الشِّعْرَ قَالَ كُنْتُ أُنْشِدُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ أَوْ كُنْتُ أُنْشِدُ فِيهِ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ

Artinya: “Umar Radliyallahu'anhu melawati Hassan saat tengah bersyair di masjid kemudian 'Umar berkata; Di masjid Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam syair disenandungkan? Hassan berkata; 'Saya pernah bersyair dan di dalam masjid ada orang yang lebih baik darimu (yaitu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam).” (HR. Ahmad, Hadits No. 20927)

Uraian tentang dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya) menunjukkan bahwa kedua pendapat baik yang mengharamkan maupun yang menghalalkan memperlihatkan adanya kontradiksi (ta’arudh) antara satu dalil dengan dalil lainnya. Untuk menyikapi kontradiksi ini diperlukan telaah atas kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah populer di kalangan jumhur ulama dalam rangka menyikapi secara arif beberapa dalil yang tampak kontadiktif tersebut. Imam asy-Syafi’i (dalam asy-Syaukani) menyatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi Saw ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu.

Menyikapi kontradiksi antara kedua kelompok dalil hadits di atas, keduanya seyogyanya dikompromikan, dengan tidak bermaksud mengkesampingkan salah satunya. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, kedua dalil yang “kontradiktif” di atas keduanya dapat diberikan tempat dan penginterpretasian yang proporsional. Keputusan ini dapat dianggap lebih tawazun daripada harus mengakomodir salah satu kelompok dalil tetapi diiringi dengan menyingkirkan kelompok dalil yang lain. Berkaitan dengan hal ini, Syaikh Dr. Muhamad Husain Abdullah mengambil suatu diktum fiqih: “Mengamalkan dua dalil —walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Al-‘amal bi ad-dalilaini —walaw min wajhin— awlâ min ihmali ahadihima).

Pengambilan diktum fiqih ini menurut an-Nahbani (1953) didasarkan pada sebuah alasan bahwa: “suatu dalil itu pada dasarnya adalah untuk diamalkan dan bukan untuk ditanggalkan (Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal lâ al-ihmal)”.

Dari kedua dalil tentang hukum nyanyian di atas, baik yang mengharamkan maupun menghalalkan dapat ditarik sebuah konklusi bahwa dalil yang mengharamkan masih berkisar pada hukum umum (ijmal) nyanyian. Sedangkan dalil yang membolehkan terfokus pada hukum khusus atau pengecualian (tkahsis), yakni nyanyian dibolehkan sesuai dengan tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan oleh syara’, seperti pada hari raya. Dengan ungkapan lain, bahwa dalil yang mengharamkan nyanyian merujuk kepada keharaman nyanyian secara mutlak. Sementara itu, dalil yang menghalalkan merujuk kepada bolehnya nyanyian didasarkan pada keharusan adanya batasan atau kriteria yang membolehkannya (muqayyad).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun