Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Praktisi dan Konsultan Anak berkebutuhan Khusus

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menemukan Kekuatan di Tengah Keterbatasan, Refleksi untuk Pendidikan yang lebih Inklusif

25 Desember 2024   09:49 Diperbarui: 25 Desember 2024   14:17 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menemukan Kekuatan di Tengah Keterbatasan,  Refleksi untuk Pendidikan yang Lebih Inklusif

Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, saya telah menjalani perjalanan panjang di dalam sistem pendidikan yang, secara jujur, belum sepenuhnya siap menerima keberagaman cara belajar.

Di masa kecil, saya dianggap sebagai anak yang "bermasalah." Sulit fokus, lambat membaca, dan seringkali gagal memenuhi standar akademik.

Namun, ironisnya, kekurangan-kekurangan inilah yang membentuk saya menjadi pribadi yang lebih memahami bahwa setiap anak adalah dunia yang unik, penuh potensi yang sering kali tersembunyi di balik label negatif.

Pengalaman ini membawa saya kepada misi besar: menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif. Sistem pendidikan yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan anak, tetapi juga merayakan keunikan mereka.

Di awal karier saya mengajar, seperti banyak pendidik lainnya, saya diperkenalkan pada istilah "akomodasi"  penyesuaian untuk siswa dengan perbedaan belajar. Istilah ini merujuk pada rencana seperti IEP (Individualized Education Program) atau rencana Pembelajaran lainnya, yang dirancang untuk mendukung siswa dalam mencapai keberhasilan akademik. Namun, saya menyadari bahwa istilah ini seringkali membawa konotasi negatif di mata siswa.

Dalam perjalanan saya dalam projek Disleksia Keliling Nusantara saya, ditemukan bahwa banyak siswa yang enggan menggunakan akomodasi karena takut dianggap "berbeda." Padahal, dalam evaluasi neuropsikologis, ada siswa yang menunjukkan skor rendah di beberapa aspek, namun luar biasa di aspek lainnya. Artinya, setiap siswa memiliki potensi besar yang belum tergali.

Penelitian juga menunjukkan bahwa keberhasilan siswa tidak hanya bergantung pada kemampuan akademik mereka, tetapi pada kepercayaan diri mereka. Menurut studi dari Washington University, kesuksesan siswa lebih mungkin tercapai ketika mereka diberikan kesempatan untuk merasakan keberhasilan kecil, yang kemudian mendorong mereka untuk menghadapi tantangan berikutnya.

Saya mulai menerapkan pendekatan baru. Alih-alih menyoroti kekurangan siswa, saya fokus pada kekuatan mereka. Saya berbicara dengan terapis pendidikan, orang tua, dan bahkan siswa itu sendiri untuk memahami cara terbaik mendukung mereka. Dari sana, saya belajar bahwa kunci sebenarnya adalah membangun kepercayaan diri siswa melalui pengalaman sukses.

Dalam konsep ini, saya melihat kemiripan dengan prinsip keanekaragaman hayati: sebuah ekosistem yang sehat bergantung pada keberagaman. Begitu pula dalam pendidikan, keberagaman cara belajar adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Namun, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terjebak pada penilaian yang seragam, seperti tes standar berbasis waktu. Data menunjukkan bahwa lebih dari 20% siswa tidak dapat menyelesaikan  dengan baik, bukan karena kurangnya kecerdasan, tetapi karena perbedaan cara otak mereka memproses informasi.

Saya tahu rasanya menjadi siswa yang selalu tertinggal. Sebagai anak disleksia-ADHD, saya sering merasa frustasi ketika harus mengikuti ujian berbasis waktu yang tidak memperhitungkan cara kerja otak saya. Namun, pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa keberhasilan bukan hanya tentang kecepatan, tetapi tentang ketekunan, kreativitas, dan kemampuan untuk terus mencoba meski berulang kali gagal.

Sekarang, saya berdiri sebagai pendidik yang percaya bahwa setiap anak bisa berhasil, asalkan kita mendefinisikan ulang apa itu "kesuksesan."

Jika kita ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, kita perlu berhenti melihat siswa dalam dua kategori normal atau berkebutuhan khusus. Sebaliknya, kita harus melihat setiap anak sebagai bagian dari spektrum keberagaman belajar. Ini bukan tentang menurunkan standar, tetapi tentang menciptakan berbagai jalur menuju keberhasilan.

Seperti yang dikatakan seorang ahli pendidikan, "Ketika Anda memberi anak pengalaman sukses, mereka akan percaya pada kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan berikutnya."

Kita tidak perlu memilih antara kecepatan dan kreativitas, standar dan keberagaman. Kita hanya perlu menciptakan ruang bagi setiap anak untuk berkembang dengan caranya sendiri. Karena pada akhirnya, sebuah sistem tanpa keberagaman tidak memiliki daya tahan. Begitu juga dengan pendidikan kita.

"Keberhasilan bukanlah hasil dari kemampuan seseorang untuk menyamai orang lain, tetapi dari keberanian mereka untuk menemukan dan menghargai caranya sendiri dalam mencapai tujuan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun