Namun, sistem pendidikan kita saat ini seringkali terjebak pada penilaian yang seragam, seperti tes standar berbasis waktu. Data menunjukkan bahwa lebih dari 20% siswa tidak dapat menyelesaikan  dengan baik, bukan karena kurangnya kecerdasan, tetapi karena perbedaan cara otak mereka memproses informasi.
Saya tahu rasanya menjadi siswa yang selalu tertinggal. Sebagai anak disleksia-ADHD, saya sering merasa frustasi ketika harus mengikuti ujian berbasis waktu yang tidak memperhitungkan cara kerja otak saya. Namun, pengalaman ini juga mengajarkan saya bahwa keberhasilan bukan hanya tentang kecepatan, tetapi tentang ketekunan, kreativitas, dan kemampuan untuk terus mencoba meski berulang kali gagal.
Sekarang, saya berdiri sebagai pendidik yang percaya bahwa setiap anak bisa berhasil, asalkan kita mendefinisikan ulang apa itu "kesuksesan."
Jika kita ingin menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif, kita perlu berhenti melihat siswa dalam dua kategori normal atau berkebutuhan khusus. Sebaliknya, kita harus melihat setiap anak sebagai bagian dari spektrum keberagaman belajar. Ini bukan tentang menurunkan standar, tetapi tentang menciptakan berbagai jalur menuju keberhasilan.
Seperti yang dikatakan seorang ahli pendidikan, "Ketika Anda memberi anak pengalaman sukses, mereka akan percaya pada kemampuan mereka untuk mengatasi tantangan berikutnya."
Kita tidak perlu memilih antara kecepatan dan kreativitas, standar dan keberagaman. Kita hanya perlu menciptakan ruang bagi setiap anak untuk berkembang dengan caranya sendiri. Karena pada akhirnya, sebuah sistem tanpa keberagaman tidak memiliki daya tahan. Begitu juga dengan pendidikan kita.
"Keberhasilan bukanlah hasil dari kemampuan seseorang untuk menyamai orang lain, tetapi dari keberanian mereka untuk menemukan dan menghargai caranya sendiri dalam mencapai tujuan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H