Menemukan Kekuatan di Tengah Keterbatasan, Refleksi untuk Pendidikan yang Lebih Inklusif
Sebagai seorang penyandang disleksia dan ADHD, saya telah menjalani perjalanan panjang di dalam sistem pendidikan yang, secara jujur, belum sepenuhnya siap menerima keberagaman cara belajar.
Di masa kecil, saya dianggap sebagai anak yang "bermasalah." Sulit fokus, lambat membaca, dan seringkali gagal memenuhi standar akademik.
Namun, ironisnya, kekurangan-kekurangan inilah yang membentuk saya menjadi pribadi yang lebih memahami bahwa setiap anak adalah dunia yang unik, penuh potensi yang sering kali tersembunyi di balik label negatif.
Pengalaman ini membawa saya kepada misi besar: menciptakan pendidikan yang benar-benar inklusif. Sistem pendidikan yang tidak hanya mengakomodasi kebutuhan anak, tetapi juga merayakan keunikan mereka.
Di awal karier saya mengajar, seperti banyak pendidik lainnya, saya diperkenalkan pada istilah "akomodasi" Â penyesuaian untuk siswa dengan perbedaan belajar. Istilah ini merujuk pada rencana seperti IEP (Individualized Education Program) atau rencana Pembelajaran lainnya, yang dirancang untuk mendukung siswa dalam mencapai keberhasilan akademik. Namun, saya menyadari bahwa istilah ini seringkali membawa konotasi negatif di mata siswa.
Dalam perjalanan saya dalam projek Disleksia Keliling Nusantara saya, ditemukan bahwa banyak siswa yang enggan menggunakan akomodasi karena takut dianggap "berbeda." Padahal, dalam evaluasi neuropsikologis, ada siswa yang menunjukkan skor rendah di beberapa aspek, namun luar biasa di aspek lainnya. Artinya, setiap siswa memiliki potensi besar yang belum tergali.
Penelitian juga menunjukkan bahwa keberhasilan siswa tidak hanya bergantung pada kemampuan akademik mereka, tetapi pada kepercayaan diri mereka. Menurut studi dari Washington University, kesuksesan siswa lebih mungkin tercapai ketika mereka diberikan kesempatan untuk merasakan keberhasilan kecil, yang kemudian mendorong mereka untuk menghadapi tantangan berikutnya.
Saya mulai menerapkan pendekatan baru. Alih-alih menyoroti kekurangan siswa, saya fokus pada kekuatan mereka. Saya berbicara dengan terapis pendidikan, orang tua, dan bahkan siswa itu sendiri untuk memahami cara terbaik mendukung mereka. Dari sana, saya belajar bahwa kunci sebenarnya adalah membangun kepercayaan diri siswa melalui pengalaman sukses.
Dalam konsep ini, saya melihat kemiripan dengan prinsip keanekaragaman hayati: sebuah ekosistem yang sehat bergantung pada keberagaman. Begitu pula dalam pendidikan, keberagaman cara belajar adalah kekuatan, bukan kelemahan.