"Sumpah Pemuda dalam Bayang Stigma: Hak dan Suara Anak Berkebutuhan Khusus yang Tak Kunjung Didengar"
Hari ini, di momen bersejarah peringatan Sumpah Pemuda, mari kita berhenti sejenak, bukan hanya untuk mengenang, tetapi juga untuk memahami apa arti "pemuda" yang sesungguhnya bagi setiap anak Indonesia.Â
Di balik kebanggaan kita pada para pemuda yang penuh semangat dan mimpi, ada kelompok anak-anak yang sering terlupakan, tertutupi oleh stigma dan ketidakpahaman anak-anak berkebutuhan khusus (ABK).
Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, serta penggagas Dyslexia Keliling Nusantara, saya telah melihat langsung perjalanan anak-anak ini, yang penuh perjuangan untuk mendapatkan pengakuan, untuk sekadar dianggap "cukup".Â
Mereka adalah pemuda-pemuda kita juga, dengan hak yang sama untuk bermimpi, untuk belajar, dan untuk meraih masa depan.Â
Namun, banyak di antara mereka yang masih dipinggirkan, hanya karena cara mereka belajar berbeda, atau karena dunia belum siap menerima mereka dengan utuh.
Momen Sumpah Pemuda ini seharusnya menjadi seruan bagi kita semua untuk melangkah lebih jauh bukan hanya sekadar mengenang, tetapi juga bergerak.Â
Kita perlu berhenti sejenak dan bertanya: Apakah pemuda-pemuda berkebutuhan khusus ini telah merasakan janji kemerdekaan yang sesungguhnya? Apakah mereka merasa diterima di sekolah-sekolah kita? Apakah suara mereka didengar?
Ketika kita bicara tentang hak untuk belajar, hak untuk tumbuh, hak untuk bermimpi, maka anak-anak berkebutuhan khusus adalah bagian dari janji itu.Â
Setiap anak adalah pemuda bangsa, terlepas dari perbedaan yang mereka bawa. Mereka tidak butuh simpati; mereka butuh kesempatan. Mereka tidak ingin hanya sekadar "diterima," mereka ingin dihargai sebagai bagian dari bangsa ini.