Kini, perjuangan para pemuda tidak lagi sebatas kemerdekaan bangsa, tetapi juga untuk membebaskan setiap individu dari stigma dan batasan yang menghambat mereka. Inilah waktu yang tepat untuk menciptakan komitmen bersama: bahwa kita akan membuka pintu kesempatan bagi ABK untuk belajar dan berkembang tanpa rasa takut atau malu.
Bayangkan jika kita, sebagai masyarakat, pendidik, dan pemerintah, bersumpah untuk menghapus stigma dan memastikan hak belajar bagi setiap anak terpenuhi.
Kita perlu melihat peran kita dalam menciptakan sekolah yang benar-benar inklusif, di mana semua anak merasa diterima dan dihargai. Dr. Mel Ainscow, seorang peneliti pendidikan inklusif dari Inggris, menyatakan bahwa inklusi bukan hanya tentang menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus di ruang kelas yang sama, tetapi tentang mengubah cara pandang dan praktik kita dalam mendidik semua anak. Inklusi sejati memerlukan dedikasi dan keterbukaan hati dari setiap pendidik.
Maka, dalam semangat Sumpah Pemuda, mari kita buat sumpah baru sumpah untuk inklusi sejati. Bahwa kita tidak akan hanya berdiam dan menyaksikan stigma terus mengakar, tetapi kita akan menjadi bagian dari solusi.
Mari kita berjanji untuk memahami, menerima, dan membimbing setiap anak tanpa terkecuali, memberi mereka hak yang sama untuk bermimpi, belajar, dan meraih masa depan yang mereka inginkan.
"Kita teriakkan 'satu nusa, satu bangsa, satu bahasa,' namun sebagian anak kita tetap terjajah oleh ketidakadilan, oleh sekat-sekat yang tidak kasat mata. Sumpah Pemuda yang sejati adalah ketika setiap suara---terutama mereka yang sering terabaikan mendapat ruang untuk didengar. Sumpah Pemuda yang sejati adalah janji bersama untuk membongkar stigma dan menyuarakan kemerdekaan hak bagi semua."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H