Sebagai seseorang yang pernah melewati jalan sulit ini, yang juga pernah merasa tidak diterima, saya memahami betul bagaimana sulitnya melawan ketidakadilan yang tak kasat mata, ketidakadilan yang muncul dalam pandangan, kata-kata, dan sikap yang memandang remeh.
Namun, dari perjalanan saya dengan Dyslexia Keliling Nusantara, saya juga belajar bahwa perubahan bukanlah hal yang mustahil.
Semakin banyak orang tua, guru, dan masyarakat yang mulai menyadari bahwa setiap anak memiliki potensinya sendiri, dan tugas kita adalah membantu mereka menemukannya.
Masih terlalu sering ABK dilabeli sebagai "malas," "bodoh," atau "bermasalah" oleh masyarakat dan bahkan oleh sebagian guru yang kurang memahami kebutuhan khusus mereka.
Stigma ini bukan hanya sekadar kata-kata; ia adalah tembok yang menutupi hak dan kesempatan anak-anak ini untuk berkembang.
Tembok yang sama pernah saya hadapi dulu, saat di sekolah saya kerap dicap sebagai "troublemaker" karena sulitnya berkonsentrasi, dan "lambat" karena disleksia membuat kata-kata selalu tampak menari di depan mata saya.
Menurut penelitian dari American Academy of Pediatrics, 60-80% anak dengan disabilitas belajar menghadapi stigma, baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat luas (Rafferty, 2020).
Stigma ini tidak hanya melukai harga diri mereka, tetapi juga sering membuat orang tua ragu untuk mencari bantuan profesional, memengaruhi peluang ABK untuk mendapatkan dukungan yang layak.
Di sekolah, realita yang dihadapi ABK sering kali adalah kurangnya dukungan dan pengetahuan dari para pengajar. Dari perjalanan Dyslexia Keliling Nusantara, saya menyaksikan bagaimana banyak guru belum dilengkapi dengan edukasi tentang disleksia, ADHD, atau kebutuhan khusus lainnya.
Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, tanpa diskriminasi. Namun, kenyataannya, banyak ABK yang masih "disembunyikan" dari lingkungan kelas biasa, atau dipisahkan karena dianggap "mengganggu."