Alhamdulillah, aku berkesempatan untuk hadir dalam gelaran Musabaqoh Qira'atil Kutub (MQK) Nasional ke-VI di Jepara pada Sabtu (2/12) bersama rombongan tim Kompasianer yang keren. MQK ini hanya diadakan sekali dalam tiga tahun, jadi terbilang cukup istimewa. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut bahwa MQK adalah ajang olimpiadenya para santri dari seluruh penjuru nusantara.
Aku dan 19 orang kompasianer terpilih bertugas untuk meliput kegiatan MQK agar masyarakat luas semakin tahu dan aware terhadap kompetisi yang sangat bermanfaat ini. Dengan tajuk "Dari Pesantren untuk Penguatan Karakter dan Kepribadian Bangsa" diharapkan akan muncul generasi bangsa yang lahir dari pesantren dengan karakter dan kepribadian yang kuat.
Kompetisi diadakan di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin. Pondok yang berdiri dari tahun 1883 ini disulap menjadi klaster-klaster outdoor untuk tempat lomba dengan berbagai macam kategori. Lalu aku pun mengamati salah satu kategori lomba yaitu Fiqih Marhalah Ulya. Peserta MQK diminta membaca kitab kuning dengan halaman yang ditentukan juri, kemudian mengartikannya. Setelah itu baru juri menguji dengan mengajukan sejumlah pertanyaan.
Sebelumnya aku tidak begitu paham isi kitab kuning. Ternyata sangat lengkap dan komprehensif. Saat itu santri tersebut membacakan bagian muamalah. Juri bertanya mengenai hukum perniagaan, hutang piutang, riba, dan santri pun menjawabnya dengan sangat tangkas.
Kemudian, aku berjalan lagi melihat klaster perlombaan yang lain. Di sepanjang jalan, UKM dan pedagang kaki lima turut memeriahkan acara mulai dari bazar baju, makanan, pernak pernik, juga pijat dan bekam. Pokoknya meriah dan ramai.
Tak puas hanya mengamati lomba, aku mencari peserta untuk aku wawancara lebih dalam. Aku bertemu dengan adik kecil dari pulau seberang. Muhammad Rifki namanya. Anak kelas 6 MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau setara SD ini mewakili kontingen Sulawesi Barat pada kategori Fiqih Marhalah Ula. Saat aku tanya apa cita-citanya, anak yang murah senyum ini menjawab mau jadi kiyai.
Tim pendamping kontingen Sulbar Ismail Ibnu Hajar bercerita kalau Rifki adalah anak yang percaya diri dan berani. "Meski usianya masih sangat kecil, tapi dia (Rifki -red) adalah anak yang berani dan sering menang lomba di sana (Sulbar -red)", tuturnya.
Ismail juga berharap kontingen yang dibawanya dapat meraih juara di beberapa kategori untuk mengharumkan propinsinya.
Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru. Mungkin darah pengajar mengalir ke dirinya, sehingga saat lulus SMP ia memilih melanjutkan untuk ngaji di Pondok. Cita-cita anak ke 3 dari 4 bersaudara ini juga sangat mulia, ingin menjadi pengurus pondok dan melahirkan santri-santri yang hebat.
Ada pengakuan menarik dari Nasrullah. Ia baru kali pertama datang ke tanah jawa dan baru kali pertama naik pesawat. Awalnya ia punya perasaan agak takut datang ke kelompok masyarakat jawa yang baru ditemuinya. Namun, ternyata kesan yang ia dapatkan justru sebaliknya. Ia bercerita kalau dirinya disambut dengan ramah, diperlakukan dengan baik, dan jauh dari kesan menakutkan yang sempat ia bayangkan.
Iseng-iseng aku tanya, "kotingen mana sih yang paling kamu takutkan?" Pemuda yang berharap bisa meraih kemenangan ini menjawab Jawa Timur. "Emangnya kenapa?", tanyaku lagi.
"Iya mas, karena Jawa Timur sering jadi juara umum, jadi patut diperhitungkan", jawab Nasrullah.
Melahirkan Dua Kecakapan
Setelah berjalan-jalan melihat para peserta MQK berjuang dan menikmati pameran ekspo, aku dan para kompasianer pun berkumpul untuk diberikan pengarahan dan pengayaan oleh salah satu dewan hakim Marhalah Ulya bidang Fiqih yakni Dr. Abdul Moqsit Ghazali.
Moqsit menuturkan secara jelas dan serius bahwa ajang MQK ini bukanlah sembarang perlombaan. Mereka para santri yang ikut adalah mutiara-mutiara dari daerah, dari desa dengan segudang ilmu pengetahuan agama sesuai bidangnya masing-masing.
Ia juga menyampaikan, bahwa agenda MQK ini sengaja diadakan di desa dengan tujuan untuk mengenalkan dan memunculkan potensi desa ke publik.
Aku dan tim kompasianer menyimaknya dengan khidmat dan serius. Moqsit pun melanjutkan pemaparannya mengenai pentingnya metode pembelajaran kitab kuning. Ia menjelaskan bahwa dengan pembelajaran kitab kuning yang dilakukan di pondok-pondok pesantren, maka akan menghasilkan output santri yang memiliki dua kecakapan.
Dirinya juga berpesan kepada kami para blogger yang tergabung dalam kompasiana untuk menginformasikan seluas-luasnya akan potensi para santri dari daerah-daerah ini, karena mereka tidak terpublikasi sehingga tidak sepopuler seperti para da'i kondang yang muncul di televisi.
"Ya tugas kalianlah (blogger -red) untuk mengenalkan mereka (para santri -red) ke publik melalui media online. Karena mereka tidak kalah pengetahuan dengan da'i-da'i yang muncul di TV. Mereka ini adalah mutiara-mutiara dari desa", pesan Moqsit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H