Mohon tunggu...
Imam Baihaqi
Imam Baihaqi Mohon Tunggu... Pegiat Kemanusiaan -

Pegiat sosial kemanusiaan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasrullah MQK, Ternyata Orang Jawa Ramah

5 Desember 2017   16:31 Diperbarui: 6 Desember 2017   14:46 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah seorang peserta sedang diuji oleh Dewan Hakim

Alhamdulillah, aku berkesempatan untuk hadir dalam gelaran Musabaqoh Qira'atil Kutub (MQK) Nasional ke-VI di Jepara pada Sabtu (2/12) bersama rombongan tim Kompasianer yang keren. MQK ini hanya diadakan sekali dalam tiga tahun, jadi terbilang cukup istimewa. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyebut bahwa MQK adalah ajang olimpiadenya para santri dari seluruh penjuru nusantara.

Aku dan 19 orang kompasianer terpilih bertugas untuk meliput kegiatan MQK agar masyarakat luas semakin tahu dan aware terhadap kompetisi yang sangat bermanfaat ini. Dengan tajuk "Dari Pesantren untuk Penguatan Karakter dan Kepribadian Bangsa" diharapkan akan muncul generasi bangsa yang lahir dari pesantren dengan karakter dan kepribadian yang kuat.

Kompetisi diadakan di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin. Pondok yang berdiri dari tahun 1883 ini disulap menjadi klaster-klaster outdoor untuk tempat lomba dengan berbagai macam kategori. Lalu aku pun mengamati salah satu kategori lomba yaitu Fiqih Marhalah Ulya. Peserta MQK diminta membaca kitab kuning dengan halaman yang ditentukan juri, kemudian mengartikannya. Setelah itu baru juri menguji dengan mengajukan sejumlah pertanyaan.

Sebelumnya aku tidak begitu paham isi kitab kuning. Ternyata sangat lengkap dan komprehensif. Saat itu santri tersebut membacakan bagian muamalah. Juri bertanya mengenai hukum perniagaan, hutang piutang, riba, dan santri pun menjawabnya dengan sangat tangkas.

Kemudian, aku berjalan lagi melihat klaster perlombaan yang lain. Di sepanjang jalan, UKM dan pedagang kaki lima turut memeriahkan acara mulai dari bazar baju, makanan, pernak pernik, juga pijat dan bekam. Pokoknya meriah dan ramai.

Bazar aneka kacamata
Bazar aneka kacamata
Batik Pekalongan
Batik Pekalongan
Aneka jajanan
Aneka jajanan
Pernak pernik
Pernak pernik
Layanan bekam
Layanan bekam
Humas Direktorat Jendral Pendidikan Islam KEMENAG RI Muhtadin menyampaikan dalam pengarahan ke tim Kompasianer bahwa ada tiga tingkatan lomba yang diadakan, yakni Ula, Wustho, dan Ulya yang disebar ke 25 tempat lomba. "Kita bagi lomba menjadi 3 tingkatan yaitu Ula untuk usia maksimal 14 tahun 11 bulan, Wustho untuk usia maksimal 17 tahun 11 bulan, dan Ulya untuk usia maksimal 20 tahun 11 bulan", jelas Muhtadin.

Pengarahan dari Pak Muhtadin kepada tim Kompasianer
Pengarahan dari Pak Muhtadin kepada tim Kompasianer
Bertemu Rifki dan Nasrullah

Tak puas hanya mengamati lomba, aku mencari peserta untuk aku wawancara lebih dalam. Aku bertemu dengan adik kecil dari pulau seberang. Muhammad Rifki namanya. Anak kelas 6 MI (Madrasah Ibtidaiyah) atau setara SD ini mewakili kontingen Sulawesi Barat pada kategori Fiqih Marhalah Ula. Saat aku tanya apa cita-citanya, anak yang murah senyum ini menjawab mau jadi kiyai.

Tim pendamping kontingen Sulbar Ismail Ibnu Hajar bercerita kalau Rifki adalah anak yang percaya diri dan berani. "Meski usianya masih sangat kecil, tapi dia (Rifki -red) adalah anak yang berani dan sering menang lomba di sana (Sulbar -red)", tuturnya.

Ismail juga berharap kontingen yang dibawanya dapat meraih juara di beberapa kategori untuk mengharumkan propinsinya.

Bareng Rifki dan Pak Ismail dari Kontingen Sulbar
Bareng Rifki dan Pak Ismail dari Kontingen Sulbar
Lalu, aku mencari lagi peserta yang lebih dewasa untuk mencari sudut pandang lain. Ketemulah aku dengan pemuda ganteng asal Aceh yang bernama Nasrullah. Pemuda 20 tahun kelahiran Aceh Barat ini merupakan santri Pondok Pesantren Mudi Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireun NAD.

Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru. Mungkin darah pengajar mengalir ke dirinya, sehingga saat lulus SMP ia memilih melanjutkan untuk ngaji di Pondok. Cita-cita anak ke 3 dari 4 bersaudara ini juga sangat mulia, ingin menjadi pengurus pondok dan melahirkan santri-santri yang hebat.

Ada pengakuan menarik dari Nasrullah. Ia baru kali pertama datang ke tanah jawa dan baru kali pertama naik pesawat. Awalnya ia punya perasaan agak takut datang ke kelompok masyarakat jawa yang baru ditemuinya. Namun, ternyata kesan yang ia dapatkan justru sebaliknya. Ia bercerita kalau dirinya disambut dengan ramah, diperlakukan dengan baik, dan jauh dari kesan menakutkan yang sempat ia bayangkan.

Nasrullah, peserta dari Aceh
Nasrullah, peserta dari Aceh
Saat aku tanya apa tanggapan terhadap acara ini, ia menjawab bahwa acara MQK ini sangat baik karena bisa menjadi pemacu semangat untuk belajar lebih giat. Selain itu ia juga merasa senang bisa silaturahmi dengan para santri dari Sabang hingga Merauke.

Iseng-iseng aku tanya, "kotingen mana sih yang paling kamu takutkan?" Pemuda yang berharap bisa meraih kemenangan ini menjawab Jawa Timur. "Emangnya kenapa?", tanyaku lagi.

"Iya mas, karena Jawa Timur sering jadi juara umum, jadi patut diperhitungkan", jawab Nasrullah.

Melahirkan Dua Kecakapan

Setelah berjalan-jalan melihat para peserta MQK berjuang dan menikmati pameran ekspo, aku dan para kompasianer pun berkumpul untuk diberikan pengarahan dan pengayaan oleh salah satu dewan hakim Marhalah Ulya bidang Fiqih yakni Dr. Abdul Moqsit Ghazali.

Moqsit menuturkan secara jelas dan serius bahwa ajang MQK ini bukanlah sembarang perlombaan. Mereka para santri yang ikut adalah mutiara-mutiara dari daerah, dari desa dengan segudang ilmu pengetahuan agama sesuai bidangnya masing-masing.

Ia juga menyampaikan, bahwa agenda MQK ini sengaja diadakan di desa dengan tujuan untuk mengenalkan dan memunculkan potensi desa ke publik.

Aku dan tim kompasianer menyimaknya dengan khidmat dan serius. Moqsit pun melanjutkan pemaparannya mengenai pentingnya metode pembelajaran kitab kuning. Ia menjelaskan bahwa dengan pembelajaran kitab kuning yang dilakukan di pondok-pondok pesantren, maka akan menghasilkan output santri yang memiliki dua kecakapan.

Pengarahan Dr. Abdul Moqsit Ghazali
Pengarahan Dr. Abdul Moqsit Ghazali
"Dengan metode pembelajaran kitab kuning yang komprehensif, maka para santri akan memiliki dua kecakapan. Pertama, ia akan memiliki pengetahuan keislaman secara mendalam dan spesifik, kedua ia dapat menerapkan islam dalam konteks keindonesiaan", jelasnya.

Dirinya juga berpesan kepada kami para blogger yang tergabung dalam kompasiana untuk menginformasikan seluas-luasnya akan potensi para santri dari daerah-daerah ini, karena mereka tidak terpublikasi sehingga tidak sepopuler seperti para da'i kondang yang muncul di televisi.

"Ya tugas kalianlah (blogger -red) untuk mengenalkan mereka (para santri -red) ke publik melalui media online. Karena mereka tidak kalah pengetahuan dengan da'i-da'i yang muncul di TV. Mereka ini adalah mutiara-mutiara dari desa", pesan Moqsit.

Rombongan Kompasianer usai menjalankan misi
Rombongan Kompasianer usai menjalankan misi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun