Kedua orang tuanya berprofesi sebagai guru. Mungkin darah pengajar mengalir ke dirinya, sehingga saat lulus SMP ia memilih melanjutkan untuk ngaji di Pondok. Cita-cita anak ke 3 dari 4 bersaudara ini juga sangat mulia, ingin menjadi pengurus pondok dan melahirkan santri-santri yang hebat.
Ada pengakuan menarik dari Nasrullah. Ia baru kali pertama datang ke tanah jawa dan baru kali pertama naik pesawat. Awalnya ia punya perasaan agak takut datang ke kelompok masyarakat jawa yang baru ditemuinya. Namun, ternyata kesan yang ia dapatkan justru sebaliknya. Ia bercerita kalau dirinya disambut dengan ramah, diperlakukan dengan baik, dan jauh dari kesan menakutkan yang sempat ia bayangkan.
Iseng-iseng aku tanya, "kotingen mana sih yang paling kamu takutkan?" Pemuda yang berharap bisa meraih kemenangan ini menjawab Jawa Timur. "Emangnya kenapa?", tanyaku lagi.
"Iya mas, karena Jawa Timur sering jadi juara umum, jadi patut diperhitungkan", jawab Nasrullah.
Melahirkan Dua Kecakapan
Setelah berjalan-jalan melihat para peserta MQK berjuang dan menikmati pameran ekspo, aku dan para kompasianer pun berkumpul untuk diberikan pengarahan dan pengayaan oleh salah satu dewan hakim Marhalah Ulya bidang Fiqih yakni Dr. Abdul Moqsit Ghazali.
Moqsit menuturkan secara jelas dan serius bahwa ajang MQK ini bukanlah sembarang perlombaan. Mereka para santri yang ikut adalah mutiara-mutiara dari daerah, dari desa dengan segudang ilmu pengetahuan agama sesuai bidangnya masing-masing.
Ia juga menyampaikan, bahwa agenda MQK ini sengaja diadakan di desa dengan tujuan untuk mengenalkan dan memunculkan potensi desa ke publik.
Aku dan tim kompasianer menyimaknya dengan khidmat dan serius. Moqsit pun melanjutkan pemaparannya mengenai pentingnya metode pembelajaran kitab kuning. Ia menjelaskan bahwa dengan pembelajaran kitab kuning yang dilakukan di pondok-pondok pesantren, maka akan menghasilkan output santri yang memiliki dua kecakapan.