Mohon tunggu...
kang im
kang im Mohon Tunggu... Penulis - warga biasa yang hobi menulis

seorang penulis biasa yang tinggal di kampung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Majelis Politik (01)

21 Desember 2024   10:51 Diperbarui: 21 Desember 2024   10:51 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ft. ilustrasi: dok. pribadi diolah.

Terjerumus. Tersesat. Tapi di jalan yang benar. Lurus. Inilah yang aku alami, saat jadi makmum buta 'ide gila' Bagong dan Fatruk. Ide dua temanku ini suka 'menyesatkan', jika diamini tanpa sensor, tanpa dianalisa.

Aku diajak menghadiri acara Majelis Politik di Alun-Alun Nagari Ngalem-Ngalem. Namanya sulit dicerna telinga, masih terdengar aneh, asing, tidak biasa, kala itu. Umumnya, majelis itu identik dengan acara keagamaan, seperti salawat atau dzikir. Bukan Politik.

Tapi aku tak banyak pilihan, atau sengaja tidak diberi banyak pilihan oleh dua temanku itu, pilihan terbaiknya hanya makmum idenya. Mereka cukup meyakinkan, agar aku mengamini keinginannya. Sulit ditolak. Apalagi, kami sudah berteman lama, sejak kecil, biasa main layang-layang barsama. Konco kentel, istilah anak sekarang.

Lokasi acara itu sekitar 8 kilometer dari kampung kami. Sehingga, acara itu merampas malam minggu kami, kala itu. Kami berangkat dengan mobil tua milik tetangga, sewa. Lebih tepatnya pinjam. Gratis.

"Kamu harus tahu sudut lain nagari ini, biar wawasanmu luas, juga tidak mudah menyalahkan orang lain (yang tidak sependapat denganmu). Semua logistik sudah ada yang nanggung, alias gratis." Celoteh Bagong, kala itu.

Mereka sepertinya tahu kelemahanku, titik lemah yang biasa menjangkit rakyat kecil. Kata gratis itu sangat ampuh untuk meyakinkan, juga menggerakkan sesuatu, pokoknya kata kunci dalam mensukseskan segala acara. Sehingga, dengan terpaksa, aku mengamininya.

*****

Warna-warni---itulah yang menyambut mata kami, saat tiba di lapangan ombo, istilah di kampungku, sebutan lain untuk alun-alun. Warna apa saja ada di area tempat wisata murah-meriah itu. Ribuan orang berkumpul. Ada atribut penggemar band, juga atribut penggemar majelis, berkibar. Semua menyatu, berdampingan, saling menghargai. Rukun.

Namun, ada yang aneh, tidak biasa, ada beberapa atribut partai politik (parpol), terpajang di samping kanan-kiri panggung acara. Beberapa orang di panggung, mungkin tamu undangan, juga tampak mengenakan seragam parpol. Otakku makin pusing, itu acara keagamaan atau politik. Tepatnya majelis keagamaan atau politik. Padahal, promo spanduk dan banner yang dipampang di tepi jalan bertuliskan kegiatan keagamaan.

Aneh bin ajaib, tiba-tiba banyak politisi cinta pengajian, mendadak ngaji. Aku masih belum paham, jika di Nagari Ngalem-Ngalem lagi musim politik. Lagi musim kampanye, kala itu. Biasanya banyak aktor politik sedang akting, pura-pura peduli rakyat.

Apalagi, perwakilan dari tiap parpol itu juga diberi waktu, untuk memberikan sambutan, dalam acara itu. Sehingga, panggung acara itu seperti tempat lomba pidato. Namun, tiba-tiba Bagong membuat ulah.

Bocah paling kocak di antara kami itu menghentikan penjual minuman, beli tiga gelas plastik. Aku dan Fatruk ditraktir. Tapi poin pentingnya bukan itu, melainkan jawaban dari penjual minuman, saat ditanya omzet jualan di acara itu.

"Al-hamdulillah, sudah lumayan, lebih dari Rp 500 ribu (dapatnya). Sebelum orang-orang datang, kami sudah di sini." Terang penjual minuman itu.

Aku dan Fatruk masih belum tahu alasan Bagong menanyakan itu. Ide anak paling humoris di antara kami itu memang sulit ditebak, hobi memikirkan hal-hal yang tidak pernah dipikirkan orang lain. Otaknya seperti kitiran, terus berputar, tak pernah berhenti berpikir. Ada saja idenya. Jarang miskin ide.

Aku yakin, anak yang juga pecinta dangdut koplo garis keras itu punya maksud tertentu atas pertanyaan itu. Tapi apa, jujur, aku masih belum tahu, kala itu. Semua kemungkinan masih bisa terjadi.

*****

"Pak Ustaz, tolong 'kata-katain' saya, biar dapat uang banyak!" pinta salah satu pedagang minuman, saat diberi kesempatan bicara di sesi tanya-jawab, kala itu.

Aku masih sedikit asing dengan fenomena itu. Maklum, kurang gaul, aku belum punya media sosial (medsos), kala itu. Apalagi, itu pengalaman pertama ikut majelis politik. Otakku masih belum bisa mencerna: ada orang minta dihina, di depan umum lagi.

Tiba-tiba Bagong menunjukkan HP, tepatnya medsos, yang mempertontonkan fenomena yang sedang viral, kala itu. Di Nagari Ngalem-Ngalem sedang hangat isu penceramah yang 'bercanda' dengan penjual minuman. Isu ini melahirkan pro-kontra, bahkan sampai diangkat dalam acara talkshow TV.

"Berjualan tidak apa-apa, itu berjuang untuk rezeki keluarga, tapi harus tahu waktu. Masak dari sebelum ada orang, sampai acara inti tetap jualan, jualannya malah di depan panggung. Jelas mengganggu penceramah dalam menyampaikan materi." Jelas Bagong.

Puluhan penjual minuman itu memang tampak bergeser di sekitar panggung acara, saat penceramah tiba di panggung. Mereka seperti ingin tampil. Lebih tepatnya ingin dapat 'rezeki' dadakan, seperti yang sedang viral di medsos, kala itu.

"Namanya juga usaha, cari rezeki, siapa tahu ada pembeli dermawan di panggung. Kan banyak orang kaya di panggung, lagi musim politik." Saut Fatruk.

Perdebatan Bagong dan Fatruk ini tetap berlangsung. Fatruk pro dengan aksi pedagang, dan Bagong sebaliknya. Kata Bagong, oknum penjual minuman itu memang tidak salah, tapi kurang tepat dan etika. Waktunya mengaji kurang etis jika tetap jualan, lebih-lebih di sekitar panggung. Sangat mengganggu. Apalagi, rata-rata dari pedagang itu sudah jualan dari sebelum acara mulai.

Sedangkan, Fatruk tetap kokoh dengan pendapatnya, mendukung pedagang tadi. Kata Fatruk, apa yang dilakukan itu tidak melanggar hukum, mencari rezeki halal. Bahkan, kata Fatruk, etis atau tidak etis itu tinggal siapa yang menilai, siapa tahu penjual itu butuh uang banyak untuk biaya pendidikan anaknya.

Anda, para pembaca, boleh makmum pendapat Bagong, atau Fatruk, dan atau netral. Risiko tinggal di negara demokrasi, boleh setuju, juga boleh tidak, yang penting tetap saling menghormati. Juga harus tetap santun. Mungkin, fenomena itu potret dari oknum elit, yang terkadang hobi main-main dengan etika, demi nafsu dunia. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun