Mohon tunggu...
I Made Dwija Putra
I Made Dwija Putra Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger

Saya adalah seorang blogger yang memiliki minat besar dalam bidang Hukum, Politik, Teknologi, Olahraga, Kuliner dan Gaya Hidup. Saya menulis blog untuk berbagi informasi, tips, dan pengalaman seputar topik-topik tersebut.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

RUU Perampasan Aset: Solusi atau Ilusi?

27 Maret 2023   07:04 Diperbarui: 27 Maret 2023   09:03 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perampasan aset tindak pidana merupakan salah satu upaya negara untuk mengambil alih penguasaan dan kepemilikan aset yang berasal dari hasil kejahatan bermotif ekonomi, seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan lain-lain.

Perampasan aset tindak pidana bertujuan untuk mencegah pelaku kejahatan menikmati hasil kejahatannya, mengembalikan kerugian negara atau masyarakat akibat kejahatan tersebut, serta memberikan efek jera bagi pelaku dan calon pelaku kejahatan.

Namun, perampasan aset tindak pidana di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Salah satunya adalah belum adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana.

Meskipun ada beberapa ketentuan yang terkait dengan perampasan aset tindak pidana dalam undang-undang lain, seperti UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, namun pengaturannya masih bersifat parsial dan tidak komprehensif.

Oleh karena itu, sejak tahun 2003 telah diinisiasi pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana.

RUU ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang menyeluruh dan sistematis dalam mengatur perampasan aset tindak pidana di Indonesia. RUU ini juga sejalan dengan komitmen Indonesia dalam menerapkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) yang telah diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006.

Namun, hingga saat ini RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum juga disahkan menjadi undang-undang. RUU ini kerap keluar-masuk dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang merupakan rencana pembentukan undang-undang oleh DPR dan pemerintah.

Padahal, RUU ini sudah masuk dalam Prolegnas periode 2020-2024 dan masuk dalam Nawacita Presiden Jokowi. Tetapi, RUU ini belum juga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahunan sehingga pembahasannya masih tertunda.

Apa penyebab lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana?

Apa dampaknya bagi upaya pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia?

Apa tantangan dan solusi yang dapat dilakukan untuk mempercepat pengesahan RUU ini?

Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Penyebab Lambatnya Pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Pertama, kurangnya kesadaran dan pemahaman dari berbagai pihak terkait pentingnya RUU ini bagi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia. Banyak pihak yang masih menganggap bahwa perampasan aset tindak pidana hanya merupakan bagian dari sanksi pidana tambahan yang tidak terlalu penting dibandingkan dengan sanksi pidana pokok berupa penjara atau denda

Kedua, adanya kepentingan politik dan ekonomi dari sebagian elit politik dan pejabat negara yang merasa terancam dengan RUU ini. RUU ini dapat mengancam kekayaan dan kekuasaan mereka yang diduga berasal dari hasil kejahatan ekonomi.

Mereka dapat melakukan berbagai cara untuk menghambat atau menggagalkan pembahasan RUU ini, seperti melakukan lobi-lobi politik, menekan lembaga penegak hukum, atau bahkan mengintimidasi para pendukung RUU ini.

Ketiga, adanya perbedaan pandangan dan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai substansi dan urgensi RUU ini. Pemerintah dan DPR memiliki pandangan yang berbeda mengenai ruang lingkup aset yang dapat dirampas, prosedur perampasan aset, kewenangan lembaga yang melakukan perampasan aset, serta mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan aset yang dirampas.

Selain itu, pemerintah dan DPR juga memiliki prioritas yang berbeda dalam menentukan agenda pembahasan RUU ini.

Keempat, adanya keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum dalam melakukan perampasan aset tindak pidana.

Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, KPK, PPATK, dan lain-lain membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten dan profesional dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, dan eksekusi perampasan aset tindak pidana.

Selain itu, lembaga penegak hukum juga membutuhkan anggaran yang cukup untuk mendukung operasional perampasan aset tindak pidana, seperti biaya penyitaan, penyimpanan, pengamanan, pengelolaan, dan pemanfaatan aset yang dirampas.

Dampak Lambatnya Pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Lambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana berdampak negatif bagi upaya pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia. Dampak negatif tersebut antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, menurunnya efektivitas dan efisiensi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan ekonomi.

Tanpa adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana, lembaga penegak hukum akan kesulitan untuk melakukan perampasan aset tindak pidana secara cepat dan tepat.

Lembaga penegak hukum akan menghadapi berbagai kendala hukum dan teknis dalam melakukan perampasan aset tindak pidana, seperti ketidakjelasan definisi aset tindak pidana, ketidaktersediaan bukti-bukti aset tindak pidana, ketidaksinkronan antara undang-undang yang berlaku dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), serta ketidaksesuaian antara kewenangan lembaga penegak hukum dengan kewenangan lembaga lain yang terkait dengan perampasan aset tindak pidana.

Kedua, meningkatnya kerugian negara dan masyarakat akibat kejahatan ekonomi. Tanpa adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana.

Tanpa adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana, negara dan masyarakat akan kesulitan untuk mengembalikan aset yang berasal dari hasil kejahatan ekonomi.

Aset-aset tersebut dapat berupa uang, barang, hak, atau kepentingan ekonomi lainnya yang memiliki nilai ekonomis.

Aset-aset tersebut dapat digunakan oleh pelaku kejahatan untuk membiayai kegiatan kejahatan lainnya, menyembunyikan aset lainnya, atau menikmati gaya hidup mewah.

Aset-aset tersebut juga dapat berpindah tangan ke pihak lain yang tidak berhak atau tidak diketahui oleh lembaga penegak hukum.

Akibatnya, negara dan masyarakat akan kehilangan sumber pendapatan dan potensi pembangunan yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.

Ketiga, menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan pemerintah dalam pemberantasan kejahatan ekonomi.

Tanpa adanya undang-undang yang secara khusus mengatur tentang perampasan aset tindak pidana, lembaga penegak hukum dan pemerintah akan dianggap tidak serius dan tidak komitmen dalam memberantas kejahatan ekonomi.

Masyarakat akan merasa bahwa lembaga penegak hukum dan pemerintah hanya memberikan sanksi pidana yang ringan dan tidak proporsional bagi pelaku kejahatan ekonomi.

Masyarakat juga akan merasa bahwa lembaga penegak hukum dan pemerintah tidak mampu atau tidak mau untuk menyelamatkan aset negara dan masyarakat yang berasal dari hasil kejahatan ekonomi.

Hal ini akan menimbulkan rasa ketidakadilan, ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan pemerintah.

Tantangan dan Solusi untuk Mempercepat Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Untuk mempercepat pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, ada beberapa tantangan dan solusi yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait.


Tantangan dan solusi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bagi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.

Solusinya adalah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat luas tentang konsep, tujuan, manfaat, dan urgensi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Sosialisasi dan edukasi dapat dilakukan melalui berbagai media massa, media sosial, seminar, diskusi, webinar, dan lain-lain.

Sosialisasi dan edukasi juga dapat melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti akademisi, praktisi hukum, aktivis anti korupsi, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi mahasiswa, dan lain-lain.

Kedua, menghilangkan kepentingan politik dan ekonomi yang menghambat pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Solusinya adalah melakukan advokasi dan lobi-lobi politik kepada para elit politik dan pejabat negara yang memiliki pengaruh dalam pembentukan undang-undang.

Advokasi dan lobi-lobi politik dapat dilakukan dengan memberikan argumentasi dan bukti-bukti tentang pentingnya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bagi pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.

Advokasi dan lobi-lobi politik juga dapat dilakukan dengan menekankan nilai-nilai moral, etika, dan kebangsaan yang harus dijunjung tinggi oleh para elit politik dan pejabat negara.

Advokasi dan lobi-lobi politik juga dapat melibatkan berbagai pihak yang memiliki kredibilitas dan otoritas, seperti presiden, wakil presiden, pimpinan DPR, pimpinan MPR, pimpinan partai politik, pimpinan lembaga penegak hukum, tokoh nasional, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan lain-lain.

Ketiga, menyamakan pandangan dan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai substansi dan urgensi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Solusinya adalah melakukan harmonisasi dan sinkronisasi antara pemerintah dan DPR dalam menyusun draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Harmonisasi dan sinkronisasi dapat dilakukan dengan membentuk tim kerja bersama yang terdiri dari perwakilan pemerintah dan DPR yang memiliki kompetensi dan integritas dalam bidang hukum pidana.

Tim kerja bersama dapat melakukan kajian hukum, perbandingan hukum, analisis dampak hukum, serta konsultasi publik terkait dengan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana.

Tim kerja bersama juga dapat merumuskan kesepakatan bersama mengenai ruang lingkup aset yang dapat dirampas, prosedur perampasan aset, kewenangan lembaga yang melakukan perampasan aset, serta mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan aset yang dirampas.

Keempat, meningkatkan sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum dalam melakukan perampasan aset tindak pidana.

Solusinya adalah melakukan peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia lembaga penegak hukum dalam hal pengetahuan, keterampilan, sikap, dan etika dalam melakukan perampasan aset tindak pidana.

Peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan, bimbingan, supervisi, evaluasi, serta insentif dan sanksi bagi para pegawai lembaga penegak hukum yang terlibat dalam perampasan aset tindak pidana.
Selain itu, solusinya juga adalah melakukan peningkatan alokasi dan pengelolaan anggaran yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum untuk mendukung operasional perampasan aset tindak pidana.

Peningkatan alokasi dan pengelolaan anggaran dapat dilakukan dengan menyesuaikan anggaran dengan kebutuhan riil, transparansi, akuntabilitas, serta efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran.

Kesimpulan

RUU Perampasan Aset Tindak Pidana merupakan salah satu undang-undang yang sangat dibutuhkan untuk memperkuat upaya pemberantasan kejahatan ekonomi di Indonesia.

RUU ini dapat memberikan payung hukum yang menyeluruh dan sistematis dalam mengatur perampasan aset tindak pidana di Indonesia.

RUU ini juga dapat memberikan dampak positif bagi efektivitas dan efisiensi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan ekonomi, pengembalian kerugian negara dan masyarakat akibat kejahatan ekonomi, serta kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan pemerintah dalam pemberantasan kejahatan ekonomi.

Namun, RUU ini masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan dalam proses pembahasannya.

Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya dan solusi dari berbagai pihak yang terkait untuk mempercepat pengesahan RUU ini.

Upaya dan solusi tersebut meliputi meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya RUU ini, menghilangkan kepentingan politik dan ekonomi yang menghambat pengesahan RUU ini, menyamakan pandangan dan pendapat antara pemerintah dan DPR mengenai substansi dan urgensi RUU ini, serta meningkatkan sumber daya manusia dan anggaran yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum dalam melakukan perampasan aset tindak pidana.

Demikian artikel yang saya buat semoga artikel ini bermanfaat. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun