Mohon tunggu...
Ni MadeSantiani
Ni MadeSantiani Mohon Tunggu... Buruh - Goresan pena

Perempuan yang menyukai fajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tangis Adelia

10 Juni 2020   21:17 Diperbarui: 10 Juni 2020   21:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku duduk di kursi pesakitan bukan sebagai seorang terdakwa, tetapi sebagai pendamping. Sosok perempuan yang duduk di samping. Wajahnya pucat pasi dan ketakutan, sambil menunduk memainkan kuku-kuku jari tangan.

Ini pertama kali dia keluar dari kamar gelap, berukuran tiga kali dua meter yang menjadi tempat persembunyiannya selama beberapa minggu belakangan.

Saat ini kami berada di tengah ruangan dengan sisi sebelah kiri di balik meja kayu ada dua wanita memakai toga. Mereka jaksa penuntut.

Di sisi kanan ada dua laki-laki. Yang satu memakai kemeja putih berpeci. Di sampingnya seorang laki-laki bertubuh besar memakai jas hitam. Mereka adalah tersangka serta pengacaranya

Tiga hakim berada di depan kami. Seorang laki-laki sebagai hakim ketua dan diapit dua hakim perempuan. Ini pengadilan khusus anak-anak jadi tertutup untuk umum. Ada sembilan orang di ruangan tersebut.

Pertama hakim menanyakan identitas si korban.

"Nama Adelia, usia 15 tahun, betul itu namamu?" perempuan disebelahku hanya mengangguk.

Setelah itu hakim menunjukkan baju yang terlihat noda berwarna merah.

"Apakah baju itu milikmu?"

Adelia hanya diam, tertunduk  sambil sesekali mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Entah dia mendengar pertanyaan hakim atau tidak. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ketika ditanya ke dua kalinya Adelia hanya menggeleng.

Hakim perempuan yang duduk di sebelah kanan mengambil sesuatu dari nampan kayu.

"Adelia, apakah kamu mengenal benda ini?" Tanyanya dengan tangan kanan memegang sebilah pisau dan diangakat ke atas serta memintanya untuk melihat.

Perempuan itu hanya mengegeleng. Tubuhnya kaku. Aku melihatnya hanya memadang lantai berwarna putih. Tak bergeming. Serta memalingkan wajah tidak lagi menghadap hakim tapi ke arah jaksa.

Kedua kalinya hakim menanyakan prihal pisau itu. Ia masih tetap diam. Lama jeda, sebelum hakim bertanya lagi.

"Apakah orang yang duduk di sana, pernah mengancam kamu menggunakan pisau ini?" kata hakim ketua sambil menunjuk ke arah tersangka yang terus memandang perempuan itu dengan tatapan membenci dari tempat duduknya. Ia hanya menggeleng ,mengangguk kemudian menggeleng lagi.

Dua kali hakim terpaksa mengulang pertanyaan untuk memperjelas  jawaban. Lagi-lagi perempuan itu hanya menggeleng dan mengangguk membuat hakim, pengacara dan tersangka tertawa. Melihat jawabannya yang tidak jelas.

Panas! Ada sesuatu di dalam diriku yang hendak meledak. Ingin rasanya aku berlari ke depan mengambil pisau-barang bukti untuk menikam perut laki-laki berpeci yang sedang tertawa. Wajahnya tampak santai dan senang mendengar jawaban yang ngalor ngidul.

Atau memotong alat kelaminnya hingga ia tidak bisa lagi menyalurkan birahinya. Apakah dia memiliki rasa takut? Rasa kasihan? Aku rasa ia sudah mati rasa. Jika tidak mana mungkin ia bisa melakukan aksi bejadnya kepada anak-ank yang lemah dan tergolong justru halus dilindungi.

Sebelum masuk ke ruangan laknat ini. Aku sudah di beri tahu olah jaksa untuk tidak melakukan hal apa pun. Di sini aku hanya menemani dan mendampingi Adelia saja. Meski awalnya aku sedikit kesal melihat pakaian yang mereka gunakan.

"Kenapa semua memakai toga? Bukankah dalam undang-undang di katakan jika pengadilan anak, tidak boleh memakai toga?" tanyaku dengan sedikit jengah.  

"Maaf, karena jam persidangan kami begitu padat. Setelah persidangan ini, kami ada sidang lainnya juga." katanya dengan sedikit penegasan.

"Pokoknya biar sidang ini cepat selesai. Dan si anak bisa langsung diajak pulang."

Mataku memandang Adelia yang menunduk sambil memegang tanganku dengan erat. Ia sangat ketakutan.

Selama sidang jaksa hanya menyakan tentang apa yang Adelia ingat tentang kejadian itu.

Adelia tidak bisa menjawab. Bahkan semua pertanyaan yang diberikan, tidak bisa ia jawab. Dia hanya bisa diam, menangis, ketakutan.

Sial! Aku seperti patung. Hanya bisa diam saja melihat Adelia terpojok. Lebih gilanya lagi Adelia hanya diam saja tak mampu membela dirinya sendiri. Dia kira Tuhan akan datang untuk membelanya. Membungkam mulut-mulut orang yang datang di persidangan ini.

Tuhan tidak datang ke pengadilan Adelia! Tuhan sedang tidur diperaduannya! Katakan sesuatu Adelia! Jangan diam saja. Jeritku dalam hati.

Namun aku hanya patung tanpa bisa bicara, hanya melihat kegilaan ini dalam diam. Dengan kedua mata penuh api.

Adelia adalah seorang anak disabilitas berusia 15 tahun. Bersama tiga temannya penyandang tuna wicara menjadi korban kekerasan seksual dan pelakunya seorang tukang ojek. Kejadian itu terjadi satu bulan lalu dan tepatnya di kamar mandi salah satu Sekolah Luar Biasa di kota kecil, bawah kaki Gunung Merbabu.

Terakhir kalinya hakim ketua bertanya, " Adelia, apakah kamu mengenal orang yang memakai baju putih dan berpeci itu?"

Adelia menoleh ke arah yang di tuju hakim. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, keringan dingin  bercucuran, raut wajah seperti mayat hidup. Seketika  Adelia membalikan badan kesamping kiri dan menutup mata.  Hakim mengulang pertanyan hingga empat kali tetapi, Adelia tidak kunjung membalikan badan, dia malah menutup telingan dengan kedua tangan dan menangis histeris. Aku segera menenangkannya.

Gigiku menggeretak, kepala terasa panas. Teriakan tertahan di rongga-rongga mulut.

Anjing!

Tanganku gatal untuk mencengkek leher laki-laki berpeci yang duduk tenang tanpa beban apalagi penyesalan. Aku hanya bisa mencengkram tepi rok dengan keras. Emosi telah memuncak.

Banjingan! Teriakku tak tertahan lagi. Adelia makin ketakutan. Ia menagis meraung-raung sambil memukul kepalanya dengan ke dua tangannya.

Semua makin kacau. Pintu tiba-tiba terbuka benerapa orang masuk memakai seragam coklat. Ada yang memegang Adelia yang makin histeris.

Beberapa orang juga memegang tangan dan tubuhku. Mereka menggiringku keluar. Aku berusaha melepaskan pegangan mereka, berlari ke arah Adelia.

"Tenang semuanya akan baik-baik saja. Janji Mis buat kamu." Orang-orang itu kembali memegangku.

Sebuah pertanyaan muncul dikepalaku. Kenapa mereka semua melihat aku dengan tatapan marah? Bukan aku tersangkanya tapi lelaki berbaju putih dan berpeci itu. Aku hanya pendamping Adelia. Mentornya.

Namun kenapa lelaki berpeci itu memakai baju penuh darah? Seperti baju yang hakim tunjukkan tadi?  Dan kenapa sekarang dia hanya tertunduk saja? Apa dia menyesali perbuatannya? Tapi kenapa aku yang mereka bawa keluar bukan dia? Dan kenapa pisau itu kini berpindah di tanganku?

Aku masih melihat Adelia menagis memandang ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun