Mohon tunggu...
Ni MadeSantiani
Ni MadeSantiani Mohon Tunggu... Buruh - Goresan pena

Perempuan yang menyukai fajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tangis Adelia

10 Juni 2020   21:17 Diperbarui: 10 Juni 2020   21:31 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mataku memandang Adelia yang menunduk sambil memegang tanganku dengan erat. Ia sangat ketakutan.

Selama sidang jaksa hanya menyakan tentang apa yang Adelia ingat tentang kejadian itu.

Adelia tidak bisa menjawab. Bahkan semua pertanyaan yang diberikan, tidak bisa ia jawab. Dia hanya bisa diam, menangis, ketakutan.

Sial! Aku seperti patung. Hanya bisa diam saja melihat Adelia terpojok. Lebih gilanya lagi Adelia hanya diam saja tak mampu membela dirinya sendiri. Dia kira Tuhan akan datang untuk membelanya. Membungkam mulut-mulut orang yang datang di persidangan ini.

Tuhan tidak datang ke pengadilan Adelia! Tuhan sedang tidur diperaduannya! Katakan sesuatu Adelia! Jangan diam saja. Jeritku dalam hati.

Namun aku hanya patung tanpa bisa bicara, hanya melihat kegilaan ini dalam diam. Dengan kedua mata penuh api.

Adelia adalah seorang anak disabilitas berusia 15 tahun. Bersama tiga temannya penyandang tuna wicara menjadi korban kekerasan seksual dan pelakunya seorang tukang ojek. Kejadian itu terjadi satu bulan lalu dan tepatnya di kamar mandi salah satu Sekolah Luar Biasa di kota kecil, bawah kaki Gunung Merbabu.

Terakhir kalinya hakim ketua bertanya, " Adelia, apakah kamu mengenal orang yang memakai baju putih dan berpeci itu?"

Adelia menoleh ke arah yang di tuju hakim. Tiba-tiba tubuhnya bergetar, keringan dingin  bercucuran, raut wajah seperti mayat hidup. Seketika  Adelia membalikan badan kesamping kiri dan menutup mata.  Hakim mengulang pertanyan hingga empat kali tetapi, Adelia tidak kunjung membalikan badan, dia malah menutup telingan dengan kedua tangan dan menangis histeris. Aku segera menenangkannya.

Gigiku menggeretak, kepala terasa panas. Teriakan tertahan di rongga-rongga mulut.

Anjing!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun