Tanganku gatal untuk mencengkek leher laki-laki berpeci yang duduk tenang tanpa beban apalagi penyesalan. Aku hanya bisa mencengkram tepi rok dengan keras. Emosi telah memuncak.
Banjingan! Teriakku tak tertahan lagi. Adelia makin ketakutan. Ia menagis meraung-raung sambil memukul kepalanya dengan ke dua tangannya.
Semua makin kacau. Pintu tiba-tiba terbuka benerapa orang masuk memakai seragam coklat. Ada yang memegang Adelia yang makin histeris.
Beberapa orang juga memegang tangan dan tubuhku. Mereka menggiringku keluar. Aku berusaha melepaskan pegangan mereka, berlari ke arah Adelia.
"Tenang semuanya akan baik-baik saja. Janji Mis buat kamu." Orang-orang itu kembali memegangku.
Sebuah pertanyaan muncul dikepalaku. Kenapa mereka semua melihat aku dengan tatapan marah? Bukan aku tersangkanya tapi lelaki berbaju putih dan berpeci itu. Aku hanya pendamping Adelia. Mentornya.
Namun kenapa lelaki berpeci itu memakai baju penuh darah? Seperti baju yang hakim tunjukkan tadi? Â Dan kenapa sekarang dia hanya tertunduk saja? Apa dia menyesali perbuatannya? Tapi kenapa aku yang mereka bawa keluar bukan dia? Dan kenapa pisau itu kini berpindah di tanganku?
Aku masih melihat Adelia menagis memandang ke arahku. Aku hanya membalasnya dengan tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H