Mohon tunggu...
Ni MadeSantiani
Ni MadeSantiani Mohon Tunggu... Buruh - Goresan pena

Perempuan yang menyukai fajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Puisi | Surya untuk Rembulan

22 April 2020   00:32 Diperbarui: 22 April 2020   01:29 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Surya membawa Rembulan ke tengah taman. Tanpa sedikitpun melepas gengamannya pada tangan mungil nan lemah, yang terseok-seok mengikuti langakahnya."Dengar Bulan. Jangan sekali-kali mencoba melakukan hal itu lagi. Kalau kau masih melakukan itu. Aku akan menguncimu di kamar seharian tanpa makan dan minum!" ancam Surya dengan suara keras.

Rembulan hanya tetunduk lesu tanpa berani memandang wajah lelaki di depannya. Butiran air mata luluh lantah di pipinya. Surya marah lantaran tahu jika adiknya yang berusia delapan tahun menjadi pemulung, setelah pulang sekolah. Demi membantu Surya yang kini menjadi tulang punggung keluarga.

Surya seorang anak tuna netra. Terpaksa memupus harapannya untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Meski memiliki otak cerdas. Kegemaran dia mendengarkan Cak Imin si tukang penjual koran di pasar, membaca koran atau apa saja dengan suara keras. Yang ia tahu itu memang di sengaja. Berharap Surya mendengarnya. Itu tidak sia-sia, karena Surya pun senang, seperti ada mendongengkannya. Menjadikannya tahu tentang banyak hal.

Surya merasa sedikit bersalah karena sudah membentak Rembulan. Ia mengajak adiknya makan bakso di dekat taman. Ini kali pertamanya Surya berbicara dengan nada keras kepada Rembulan.

Sang adik masih diam. Meski usianya delapan tahun dan sebagian orang menganggap ia masih kecil, tapi pikiran dan perasaanya bertumbuh dengan cepat. Ia tahu Surya telah menjadi kakak terbaik dan pengganti orang tua mereka yang telah meninggal.

Tiap malam dalam doa. Rembulan hanya meminta satu kepada Tuhan. Ia ingin lekas dewasa dan membahagiakan kakaknya.
Setiap hari Surya bangun jam 3 pagi, untuk membantu bu Siti. Tentangga sebelah rumah membuat gorengan, kemudia jam 6 lanjut siap-siap menjajakannya dengan berkeliling.

Satu buah gorengan Surya mendapat untung Rp 200,00 dan setiap hari ia membawa 100 biji.

Perkejaan itu sudah tiga tahun ia geluti, demi menyambung hidup mereka. Surya pertama-tama akan mengantar Rembulan ke sekolah. Sambil menawarkan dagangannya kepada orang tua yang mengantar anaknya sekolah serta guru-guru disana.

Setelah bel masuk berbunyi, ia lanjutkan berjalan ke pasar, menjual dagangan sehabisnya.

Ibu-ibu pedagang di pasar, sering memberikan Surya sayur atau lauk pauk sisa jualan mereka, untuk dibawa pulang dan di masak. Meski sisa semua ia syukuri tanpa mengeluh sedikit pun.

Terbayang wajah Rembulan dengan senyum manis dan mata bulatnya, jika tahu hari ia membawa tiga potong paha ayam, yang di berikan Buk Tinah, si penjual ayam. Tanpa harus ia bayar. Hati Surya membumbung tinggi. Perasaan sayang dan cintanya kepada adik semata wayang, tak dapat terlukiskan. Rembulan baginya adalah mentari di hidupnya.

Surya mempercepat langkahnya dengan bibir yang membentuk garis lengkung,"Aku harus cepat pulang dan mengolah ayam ini, sebelum Rembulan pulang dari sekolah."
 
Hari ini dagangannya habis terjual. Terakhir di borong oleh Pak Mamat. Seorang pedagang toko kelontong, yang selalu memborong dangangannya. Jika sampai sore belum habis.

Surya mampir membeli jus alpukat, kesukaan Rembulan. "Terima kasih Gusti buat berkatMu hari ini," kata Surya dalam derap langkahnya. Sambil memikirkan bagaimana Tuhan memelihara hidup mereka selama ini. Hingga mereka tak pernah kekurangan.
Saat Surya menyebrang di zebra cross , yang letaknya tepat berada di dekat rambu lalu lintas. Tiba-tiba dari arah kanan ia mendengar suara sepeda motor yang melaju kencang memerobos.  Terlambat bagi Surya untuk mundur, karena seketika tubuhnya tersambar dan melayang, hingga terlempar ke badan trotoar.

"Rembulan... Ayam ...." jeritnya dengan lirih.

Beberapa orang tiba-tiba bergerombol di sekitarnya. Ada yang berusaha mengajaknya bicara, ada yang memeganga tangan dan kakinya. Yang ia tahu, tubuhnya diangkat serta di bawa entah kemana.

Rembulan ... Air mata menetes dari ujung mata Surya.

Tuhan tak pernah sedikitpun aku mengeluh akan keadaanku, meski ingin rasanya. Tak pernah sekalipun keluar dari mulutku rasa ketidak percayaanku pada kebesaran kuasaMu.

Rembulanku yang begitu mungil dan manis. Meski harus makan nasi dengan garam. Ia selalu tersenyum sambil berkata, "kakak, semoga besok jualannya rame ya, jadi bisa beli ayam dan jus alpukat." dan terus menikmati tiap butir nasi, seolah-olah itu makanan terlezat.

Rembulanku dengan jari kecilnya ia mengais botol-botol di tumpukkan sampah. Ketika seseorang melihat dan segera mengatakannya kepadaku. Terasa panas dada ini. Seolah ada bensin tertuang di hati, membakar seluruh tubuhku, hingga bergetar.

Alih-alih aku marah padaMu. Justru aku marah pada diriku, tidak bisa menjadi kakak yang baik buat Rembulan, hingga ia memulung.

Aku tidak pernah mengatakan Kau tidak adil. Itu sama saja mempertanyakan kenapa aku di lahirkan buta, tidak sempurna seperti yang lainya.

Sebuah pertanyaan yang tidak akan aku temukan jawabnya, sampai aku bertemu denganMU.

Tak pernah sekalipun aku mengemis belas kasihan orang-orang demi mendapatkan sesuatu. Tapi semua aku lakukan dengan kerja keras, semua itu lakukan demi Rembulanku. Karena aku yakin kesuksesan itu tidak di raih dengan mudah.

Tuhan... Yang kebesaranya tidak pernah aku ragukan. Untuk pertama kalinya aku meminta.
Jangan renggut senyum Rembulanku.

Kini aku mengemis kepadaMu. Memohon belas kasihanMu. Jaga Rembulanku. Pinta Surya di akhir hembusan nafasnya.

Selesai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun