Surya membawa Rembulan ke tengah taman. Tanpa sedikitpun melepas gengamannya pada tangan mungil nan lemah, yang terseok-seok mengikuti langakahnya."Dengar Bulan. Jangan sekali-kali mencoba melakukan hal itu lagi. Kalau kau masih melakukan itu. Aku akan menguncimu di kamar seharian tanpa makan dan minum!" ancam Surya dengan suara keras.
Rembulan hanya tetunduk lesu tanpa berani memandang wajah lelaki di depannya. Butiran air mata luluh lantah di pipinya. Surya marah lantaran tahu jika adiknya yang berusia delapan tahun menjadi pemulung, setelah pulang sekolah. Demi membantu Surya yang kini menjadi tulang punggung keluarga.
Surya seorang anak tuna netra. Terpaksa memupus harapannya untuk bisa mengenyam bangku sekolah. Meski memiliki otak cerdas. Kegemaran dia mendengarkan Cak Imin si tukang penjual koran di pasar, membaca koran atau apa saja dengan suara keras. Yang ia tahu itu memang di sengaja. Berharap Surya mendengarnya. Itu tidak sia-sia, karena Surya pun senang, seperti ada mendongengkannya. Menjadikannya tahu tentang banyak hal.
Surya merasa sedikit bersalah karena sudah membentak Rembulan. Ia mengajak adiknya makan bakso di dekat taman. Ini kali pertamanya Surya berbicara dengan nada keras kepada Rembulan.
Sang adik masih diam. Meski usianya delapan tahun dan sebagian orang menganggap ia masih kecil, tapi pikiran dan perasaanya bertumbuh dengan cepat. Ia tahu Surya telah menjadi kakak terbaik dan pengganti orang tua mereka yang telah meninggal.
Tiap malam dalam doa. Rembulan hanya meminta satu kepada Tuhan. Ia ingin lekas dewasa dan membahagiakan kakaknya.
Setiap hari Surya bangun jam 3 pagi, untuk membantu bu Siti. Tentangga sebelah rumah membuat gorengan, kemudia jam 6 lanjut siap-siap menjajakannya dengan berkeliling.
Satu buah gorengan Surya mendapat untung Rp 200,00 dan setiap hari ia membawa 100 biji.
Perkejaan itu sudah tiga tahun ia geluti, demi menyambung hidup mereka. Surya pertama-tama akan mengantar Rembulan ke sekolah. Sambil menawarkan dagangannya kepada orang tua yang mengantar anaknya sekolah serta guru-guru disana.
Setelah bel masuk berbunyi, ia lanjutkan berjalan ke pasar, menjual dagangan sehabisnya.
Ibu-ibu pedagang di pasar, sering memberikan Surya sayur atau lauk pauk sisa jualan mereka, untuk dibawa pulang dan di masak. Meski sisa semua ia syukuri tanpa mengeluh sedikit pun.
Terbayang wajah Rembulan dengan senyum manis dan mata bulatnya, jika tahu hari ia membawa tiga potong paha ayam, yang di berikan Buk Tinah, si penjual ayam. Tanpa harus ia bayar. Hati Surya membumbung tinggi. Perasaan sayang dan cintanya kepada adik semata wayang, tak dapat terlukiskan. Rembulan baginya adalah mentari di hidupnya.