Bertahun-tahun berlalu, meskipun Arman menjalani kehidupan yang tampak sempurna di mata orang lain, hatinya tetap kosong. Dia merindukan sesuatu yang tak bisa dia definisikan. Setiap malam dia memandang lukisan Aisyah yang tergantung di dinding kamarnya, merasakan kembali getaran cinta pertama yang pernah menyentuh hatinya. Di sisi lain, Aisyah terus melukis, menciptakan karya-karya indah yang penuh dengan perasaan dan emosi yang mendalam.
Suatu hari, di sebuah pameran seni kecil di kota yang jauh, Arman menemukan sebuah lukisan yang sangat familiar. Lukisan itu memiliki goresan kuas yang sama dengan lukisan-lukisan Aisyah yang dulu. Dengan hati yang berdebar, Arman bertanya kepada pemilik galeri tentang pelukisnya.
"Pelukisnya tinggal di sebuah desa kecil," jawab pemilik galeri. "Dia jarang keluar dari rumahnya, tetapi lukisannya selalu penuh dengan emosi yang mendalam."
Arman merasa harapannya kembali hidup. Dia memutuskan untuk pergi ke desa kecil itu, berharap bisa menemukan Aisyah. Saat dia tiba di desa tersebut, dia merasa nostalgia yang kuat, seolah-olah dia telah kembali ke masa lalu.
Di sebuah rumah kecil yang sederhana, dia melihat seorang perempuan duduk di kursi roda sedang melukis di teras rumahnya.
"Aisyah," panggil Arman dengan suara bergetar.
Aisyah menoleh, dia tahu bahwa Arman berdiri di sana. Air mata mengalir di pipinya saat dia merasakan kehadiran cinta sejatinya. Namun, Aisyah tahu, meski cinta mereka kuat, jurang yang memisahkan mereka terlalu dalam.
Aisyah pun bergegas masuk kedalam rumah. Arman berlari cepat tapi apa daya pintu sudah tertutup, seperti pintu cinta kedua sejoli tersebut.
"Aku tidak bisa kembali padamu, Arman," ucap Aisyah dengan suara yang lirih namun tegas. Bulir air matanya kembali berlinang. Sesak dada ini, melihat kenangan yang ingin dikuburnya  hadir kembali lagi.
"Tolong, tolong buka pintunya Aisyah, kita harus bicara" teriak Arman dengan menggedor gedor pintu tersebut.
" Pergilah, lupakan aku, cinta kita indah, tapi takdir tak memihak" balas Aisyah, dari balik pintu.