Ungkapan "gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja" agaknya tidaklah muluk-muluk bagi pemiliknya. Sebuah ungkapan kalimat berbahasa Jawa untuk menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia.
Gemah ripah loh jinawi mengungkap kondisi kekayaan alam yang melimpah. Sementara tata tentrem kerta raharja menggambarkan
keadaan yang tenteram. Sebuah kondisi ideal dari negeri yang makmur. Kondisi ekonomi yang sangat baik, merata adil dan sejahtera karena ditujang oleh kesuburan tanahnya.
Predikat gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja" ini menjadi harapan bagai negeri ini. Tetapi, mungkinkah Indonesia mencapai kondisi ideal tersebut?
Ironi
Secara realitas, negeri ini dianugerahi oleh Allah dengan berlimpahnya kekayaan alam, termasuk⁷ pangan. Tanahnya yang subur dan lautnya yang luas mengandung aneka jenis pangan. Namun, terjadi ironi yang bikin pilu. Negeri yang kaya dengan sumber daya alam ini, rakyatnya kelaparan. akibat harga pangan yang erus merangkak
Selama tujuh tahun terakhir, harga beras hampir konsisten naik sebanyak 30%. Harga minyak goreng naik 55%, gula pasir 11%, daging 29%, dan cabai 113%. Padahal lebih dari separoh pengeluaran rumah tangga untuk membeli bahan pangan. Dipastikan, keuangan keluarga akan berat karena pengeluaran yang terus naik, sementara penghasilan tetap bahkan ada yang cenderung turun.
Upah minimum provinsi (UMP) memang naik, namun kenaikan tak sepadan dengan naiknya harga kebutuhan pokok. Diketahui, kenaikan UMP 2023 tidak lebih dari 10%, bahkan di Jabar dan DKI yang notabene provinsi terpadathanya naik sekitar 3%.
Mengapa Harga Pangan Naik?
Banyak faktor yang menjadi penyebab naiknya harga pangan. Tak hanya yang bersifat teknis, namun juga karena faktor politik. Pertama, faktor iklim yang tak bersahabat. Kemarau berkepanjanagan dan iklim yang ekstrim membuat produktivitas pangan terganggu yang berakibat pada menurunnya stok pangan. Seharusnya masalah ini tak menjadi soal bila distribusi baik. Karena bila di suatu daerah mengalami penurunan pangan masih bisa disuplay dari daerah lain.
Kedua, menurunnya area pertanian. Penyebab berkurangnya lahan pangan lebih karena kebijakan pembangunan infrastruktur yang minus memperhatikan aspek lingkungan. Alhasil, banyak sawah dan perkebunan rakyat yang tergusur hanya untuk membangun infrastruktur. Sayangnya, kebermanfaatan pembangunan di bidang ini tidak sebanding dengan dampak kerusakan. Pertanyaanya, pembangunan demi rakyat apa demi investor?
Ketiga, keterbatasan sarana produksi pertanian. Petani kian sulit mendapatkan benih karena harganya mahal sebab penguasaan swasta terhadap sarana produksi pertanian makin besar. Walhi mencatat, 90% benih hari ini dikuasai oleh lima perusahaan besar.
Keempat, gencarnya aktifitas impor. Adanya masalah kelangkaan pangan, secara praktis bisa diatasi dengan impor. Namun impor dalam jangka panjang dapat mengancam kedaulatan pangan negara. Karenanya, kebijakan impor harus diperhitungkan secara cermat dan matang.
Negeri yang kaya dengan sumberdaya alam ini, seharusnya bisa mengelola pangannya secara mandiri, tidak tergantung dengan impor. Swasembada pangan harus terealisasi dengan dukungan pemerintah yang memihak petani. Sebalikya, derasnya impor akan mematikan gairah petani. untuk produksi. Impor juga bisa membuat negara bergantung pada dan pada gilirannya dapat merusak ketahanan dan kedaulatan pangan.
Derasya impor juga mengganggu stabilisasi harga pangan. harga pangan juga kian mahal sebab yang mengendalikan harga bukan lagi penawaran dan permintaan, melainkan kartel perusahaan besar atau oligarki.
Momok itu Bernama Neoliberal Kapitalisme
Persoalan naiknya harga pangan lebih didominasi oleh faktor politis. Karenanya sepatutnya kita lakukan evaluasi tentang sistem ekonomi yang ada. Sesungguhnya tata kelola tata kelola negeri ini berbasis kapitalistik neoliberal. Sistem inilah yang menjadi sumber utama munculnya persoalan tingginya harga pangan. Berikut alasannya.
Pertama, sistem ekonomi ini menempatkan negara sebagai regulator semata, sedangkan pengurusan umat dialihkan pada korporasi. Pengaturannya model begini tentu berdasarkan keuntungan semata, tidak peduli adanya kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat. Secara konsep dan mekanistik sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya.
Peraturan yang dibuat pemerintah pada akhirnya malah menguntungkan korporasi. Alih-alih mengatur urusan rakyat agar beroleh hak kesejahteraan dengan mencegah monopoli dan hegemoni. Pemerintahan dalam sistem demokrasi justru berjabat erat dengan korporasi. Kekuatan oligarkipun semakin menguat apalagi bila pemilik korporasi itu pejabat pemerintah sendiri.
Kedua, kuatnya oligarki melahirkan para mafia pangan. Merekalah yang menguasai mulai dari lahan hingga penjualan retail. Akibatnya lapangan kerja kian sempit, upah tak sepadan dengan jasa yang diberikan, sementara harga kebutuhan semakin naik.
Ketiga, buruknya distribusi kekayaan. Sistem ekonomi kapitalis meniscayakan terbentuknya jurang yang lebar antara orang kaya dan miskin. Didukung dengan minimnya peran pemerintah dalam didtribusi harta kekayaan karena perannya hanya sebagai regulator antara pemililk perusahaan dengan rakyat.
Tata kelolanya ekonomi ala kapitalistik neoliberal dan penguasa yang abai terhadap rakyatnya semakin menyempurnakan penderitaan rakyat. Mimpi sejahtera di negeri gemah ripah loh jinawi semakin sulit terealisasi.
Stabilisasi Harga dan Pangan dalam Islam
Rasanya, rakyat kian muak dengan rusaknya sistem yang menimpakan penderitaan. Justru penerapan sistem kapitalisme yang menjadi akar masalah, menghasilkan tata kelola yang salah serta penguasa abai. Sudah selayaknya sistem yang usang ini ditinggalkan. Di sisi lain Islam menawarkan konsep kepemimpinan yang menyeluruh, yang penerapannua terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mengapa demikian, beberapa alasan berikut jawabannya.
Pertama, Islam akan mengembalikan fungsi negara, yaitu sebagai penanggung jawab (raa'in) dan pelindung rakyat (junnah). Fungsi strategis ini hanya ada pada sistem pemerintahan islam. Di sisi lain, sistem pemerintahan demokrasi memustahilkan kedua fungsi ini berjalan.
Rasulullah saw. menegaskan dalam sabdanya, "Imam (Khalifah) raain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR Ahmad, Bukhari).
Juga sabdanya yang lain, "Khalifah (kepala negara) itu laksana perisai tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya." (HR Muslim).
Dari hadis di atas jelas bahwa penguasa adalah pihak yang paling bertanggung jawab menjamin seluruh kebutuhan rakyatnua, terutama kebutuhan primer. Kadar pemenuhan kebutuhan ini adalah secara layak bagi setiap orang.
Terkait dengan fungsi penanggungjawab, islam memastikan agar seluruh kaum lelaki dewasa memperoleh pekerjaan layak sehingga ia mampu memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik. Islam juga memastikan bahwa pemerintah wajib melindungi warganya, termasuk ancaman hegemoni ekonomi.
Kedua, berkait tata kelola ekonomi dan pemerintahan. Islam menjadikan negara berperan penting dalam menjaga stabilitas harga. Negara menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan optimal, dengan dukungan pada rakyat termasuk petani.
Ketiga, penerapan sistem sanksi secara tegas bagi siapa saja yang melakukan kecurangan. Bagi pelaku penimbunan, riba, kartel dilarang dan pelakunya diberikan sanksi.
Harapan terwujudnya pangan murah akan sia-sia selama sistem ekonominya dalam corak kapitalistik neoliberal. Sistem ini yang justru menjadikan negeri yang gemah ripah loh jinawi ini rakyatnya menjadi tidak sejahtera. Menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diterapkan sistem ekonomi Islam agar ekonomi stabil, harga-harga berbagai kebutuhan terjangkau, keberkahan dan kesejahteraan dapat terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H