Mohon tunggu...
Ilma Susi
Ilma Susi Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pangan Murah di Negeri Gemah Ripah, Mungkinkah?

11 Desember 2023   05:04 Diperbarui: 11 Desember 2023   06:30 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: CNBCIndonesia.com

Ketiga, keterbatasan sarana produksi pertanian. Petani kian sulit mendapatkan benih karena harganya mahal sebab penguasaan swasta terhadap sarana produksi pertanian makin besar. Walhi mencatat, 90% benih hari ini  dikuasai oleh lima perusahaan besar. 

Keempat, gencarnya aktifitas impor. Adanya masalah kelangkaan pangan, secara praktis bisa diatasi dengan impor. Namun  impor dalam jangka panjang dapat mengancam kedaulatan pangan negara. Karenanya, kebijakan impor harus diperhitungkan  secara cermat dan  matang. 

Negeri yang kaya dengan sumberdaya alam ini, seharusnya  bisa  mengelola pangannya secara mandiri, tidak tergantung dengan impor. Swasembada pangan harus terealisasi dengan dukungan pemerintah yang memihak petani. Sebalikya, derasnya impor akan mematikan gairah petani. untuk produksi. Impor juga bisa membuat negara bergantung pada  dan pada gilirannya dapat merusak ketahanan  dan kedaulatan pangan. 

Derasya impor juga mengganggu stabilisasi harga pangan.  harga pangan juga kian mahal sebab yang mengendalikan harga bukan lagi penawaran dan permintaan, melainkan kartel perusahaan besar atau oligarki.

Momok itu Bernama Neoliberal Kapitalisme

Persoalan naiknya harga pangan lebih didominasi oleh  faktor politis. Karenanya sepatutnya kita lakukan evaluasi tentang sistem  ekonomi yang ada. Sesungguhnya tata kelola  tata kelola negeri ini berbasis kapitalistik neoliberal. Sistem inilah yang menjadi sumber utama munculnya persoalan tingginya harga pangan. Berikut alasannya.

Pertama,  sistem ekonomi ini menempatkan negara sebagai regulator semata, sedangkan pengurusan umat dialihkan pada korporasi. Pengaturannya model begini tentu berdasarkan keuntungan semata, tidak peduli adanya kesenjangan kesejahteraan di tengah masyarakat. Secara konsep dan mekanistik  sistem ini menjadikan negara berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya.

Peraturan  yang dibuat pemerintah  pada akhirnya malah menguntungkan korporasi.  Alih-alih mengatur urusan rakyat agar  beroleh hak kesejahteraan dengan mencegah monopoli dan hegemoni. Pemerintahan dalam sistem demokrasi  justru berjabat erat dengan korporasi. Kekuatan oligarkipun semakin menguat apalagi bila pemilik korporasi itu pejabat pemerintah sendiri.

Kedua, kuatnya oligarki melahirkan para mafia pangan. Merekalah yang menguasai mulai dari lahan hingga penjualan retail.    Akibatnya lapangan kerja kian sempit, upah tak sepadan dengan jasa yang diberikan, sementara harga kebutuhan semakin naik.

Ketiga, buruknya distribusi kekayaan. Sistem ekonomi kapitalis meniscayakan terbentuknya jurang yang lebar antara orang kaya dan miskin. Didukung dengan minimnya  peran pemerintah dalam didtribusi harta kekayaan karena perannya hanya sebagai regulator antara pemililk perusahaan dengan rakyat.

Tata kelolanya ekonomi ala kapitalistik neoliberal dan penguasa yang abai terhadap  rakyatnya semakin menyempurnakan penderitaan rakyat. Mimpi sejahtera di negeri gemah ripah loh jinawi semakin sulit terealisasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun