Mohon tunggu...
Ilham Saputra
Ilham Saputra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Yang diucapkan akan lenyap, yang ditulis akan abadi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengulas Buku Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas Karya Neng Dara Afifah

5 November 2021   15:27 Diperbarui: 5 November 2021   15:40 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Buku ini terdiri 3 Bab Pembahasan serta sub-bab pembahasan di setiap babnya, bab pertama mengenai “Islam dan Kepemimpinan Perempuan” bab ini terdiri dari 7 sub-bab pembahasan, lalu pada bab kedua mengenai “Islam dan Seksualitas Perempuan” terdiri dari 4 sub-bab pembahasan, lalu yang terakhir bab 3 mengenai “Perempuan, Islam, dan Negara” terdiri dari 8 sub-bab pembahasan.

Bab pertama yang bertemakan Islam dan Kepemimpinan Perempuan di awali dengan gagasan bahwa setiap manusia itu setara (dalam artian baik laki-laki maupun perempuan, baik kelas sosial maupun ras). Islam sendiri menjelaskan bahwa yang membedakannya hanyalah kualitas ketaqwaannya dengan bersandar pada Q.S Al-Hujurat : 13. 

Lalu penulis menjelaskan bahwa Khadijah sebagai seorang perempuan yang pertama kali menghayati kebenaran Islam dengan mempercayai Muhammad SAW sebagai utusan Allah untuk umat manusia, lalu disusul dengan Aisyah yang mendapatkan ilmu pengetahuan Muhammad SAW sehingga banyak yang berguru kepadanya. 

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah memberikan kesempatan bagi kaum perempuan setara dengan laki-laki terutama pada bidang ilmu pengetahuan. 

Dalam buku ini juga terdapat pembahasan bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk menjadi pemimpin (Q.S Al-Baqarah :30), dalam artian bahwa manusia pada dirinya memiliki tanggung jawab yang harus diemban dan dilaksanakan dengan penuh amanah. Namun di sisi lain terdapat sebuah perdebatan secara argumentatif mengenai makna kepemimpinan ini, Q.S An-Nisa : 34 yang menjelaskan bahwa laki-laki merupakan qowwam bagi perempuan. 

Kata qowwam merupakan inti perdebatannya, ahli tafsir klasik beserta modern menafsirkan kata ini sebagai penanggung jawab, atau memiliki wewenang untuk mendidik perempuan sehingga mendefinisikan bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan, baik dari segi fisik maupun tekad (meski bersifat relatif). 

Didasarkan pada superioritas laki-laki ini melahirkanlah para nabi, ulama, dan imam. Meski pemimpin di kalangan perempuan muslim masih terbatas, hal ini tidak menutup akan potensi yang terjadi, oleh karena itu penulis menjelaskan bahwa perlu diadakannya penerapan pola pendidikan kepemimpinan yang sama rata antara laki-laki dan perempuan agar terciptanya stabilitas kemampuan bagi perempuan agar dapat bersaing secara kompetitif dengan laki-laki dalam memimpin. 

Meski terdapat distorsi pemikiran mengenai otonomi daerah dengan otonomi pusat mengenai isu kepemimpinan perempuan ini hemat saya sebagai reviewer hanyalah persoalan waktu dan sosialisasinya saja agar mencapai ‘konsensus’ mengenai kepemimpinan perempuan. 

Di sisi lain, di saat perempuan tengah memimpin/berkuasa di suatu daerah justru mendapat kritikan dari ulama konservatif dengan persoalan teologis yang didasari pada Arrijalu qowwamuna alannisa, hal ini dirasakan pada era Megawati Soekarnoputri yang ketika itu menjabat sebagai Presiden RI. 

Namun di sisi lain juga mengatakan bahwa di saat memasuki era milenium baru, perdebatan kepemimpinan bukan lagi tentang persoalan diskriminasi gender dan isu teologis, melainkan sudah harus berdasarkan standar kemampuan dan kualitas diri, di era 2021-an kini kita bisa melihat Ibu Risma sebagai Menteri Sosial RI yang memiliki kualitas memimpin yang mumpuni bagi saat ini.

Lalu pada bab kedua ini yang berjudul Islam dan Seksualitas Perempuan diawali dengan pembahasan perkawinan dari sudut pandang agama Islam, Kristen, dan Yahudi berdasarkan fungsi perkawinan, tata aturan dalam perkawinan, pengaturan perkawinan antaragama, yang mana fungsi perkawinan secara garis besar adalah menciptakan ketenteraman dan kedamaian di antara dua orang insan (laki-laki dan perempuan) yang diikrarkan atas nama Tuhan.

Meski dalam kenyataan sosialnya perempuan hanya akan dijadikan sebagai ibu rumah tangga yang disebabkan atas kejadian-kejadian yang telah dijelaskan secara jelas pada buku karya Neng Dara Afifah ini. 

Selain itu, buku ini juga membahas bagaimana poligami dalam Islam di Indonesia, bagaimana poligami di Islam ini berasal, dan bagaimana penerapan poligami Islam ini di Indonesia. 

Lalu di susul dengan pembahasan mengenai Jilbab sebagai pelindung aurat perempuan, bagaimana jilbab ini menjadi sebuah pembahasan, baik pada Taurat, Injil, dan Al-Quran yang mendasarkan sebuah kesepakatan tentang keharusan bagi perempuan untuk menutup beberapa daerah tubuhnya. 

Selain itu dalam buku ini juga menjelaskan tentang penerapan jilbab bagi perempuan di Indonesia yang dimulai sejak peristiwa revolusi di Iran pada tahun 1979, karena pada awalnya perempuan di Indonesia umumnya berpakaian sesuai corak budaya dan adat istiadatnya masing-masing. 

Namun di era reformasi, jilbab ini sendiri ‘dipolitisasi’ sebagai atribut untuk perempuan dalam berorasi demi meningkatkan elektabilitasnya sendiri di daerah pilihan masing-masing.

Selain pembahasan di atas, buku ini juga membahas mengenai kontrol dalam perkawinan atas seksualitas perempuan, penulis membawa pemikiran dari tokoh Ziba Mir-Hosseni sebagai pengantar mengenai topik pembahasannya. 

Hal-hal yang di bahas oleh penulis di antara lain mengenai inferiornya perempuan dalam suatu kerumahtanggaannya dengan laki-laki, lalu membahas mengenai pengadilan tentang perceraian rumah tangga, bagaimana nikah siri itu dijalankan di Indonesia, dan lain-lain hal yang serupa. 

Sebagai studi kasusnya, penulis menceritakan bentuk kontrol sosial atas seksual perempuan di Iran dengan kewajiban untuk menggunakan hijab, jika tidak akan mendapatkan sanksi, selain itu juga terdapat segregasi antara perempuan dan laki-laki dalam dunia pendidikan.

Lalu pada bab ketiga ini menceritakan tentang Perempuan, Islam, dan Negara diawali dengan penjelasan apa itu feminisme, seberapa besar peran dari feminisme ini bagi perempuan, dan mengapa feminisme ini harus diupayakan pergerakannya di dunia. Selain itu dalam buku ini juga menjelaskan mengenai kaitan Feminisme dan Islam. 

Inti yang saya dapati adalah bahwasanya Kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam struktur sosial merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) terlepas dari kenyataan tentang masih terbelenggunya perempuan dalam terapan sosialnya. 

Pada era reformasi, feminisme ini mulai bergerak melalui jalan baru Islam yang menghargai, menghormati, dan menegakkan harkat dan martabat perempuan. 

Feminisme dalam Islam merupakan teori yang menjembatani kesenjangan antara konsep keadilan syariah dan juga Hak Asasi Manusia yang muncul melalui reformasi melalui modernisasi yang kompatibel dengan syariat Islam. 

Dengan di dasari dengan hukum syariat Islam, berupa Al-Quran dan hadis yang membuat harapan agar terciptanya integrasi antara hak-hak perempuan dengan laki-laki yang seimbang.

Dalam buku ini juga terdapat cerita mengenai Kongres Perempuan pada tahun 1928, ketika organisasi Walfadjri menyampaikan gagasan tentang diperlukannya pembaruan hukum perkawinan dalam Islam, hal ini sebagai bentuk penting bahwa gerakan feminisme dalam Islam memang sejatinya sudah ingin diperjuangkan dari peristiwa-peristiwa yang di alami Indonesia pada era perjuangan kemerdekaannya. 

Di sisi lain, jika kita berkaca pada era demokrasi saat ini tentu feminisme juga memiliki tantangan dalam perjuangannya, tentang bagaimana perempuan dapat berpendapat di muka umum secara terbuka, tentang bagaimana harus dikedepankannya isu kesusilaan, dan tentang bagaimana harus dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam buku ini juga dijabarkannya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dalam kelompok kepercayaan minoritas dengan studi kasus perempuan Ahmadiyah oleh para organisasi masyarakat yang terlibat dengan pemerintah, dengan atribut dan kostum yang digunakannya para orang tersebut melakukan kekerasan dan marginalisasi terhadap perempuan di Ahmadiyah berupa kekerasan seksual, dan pengucilan dari komunitas yang berdampak pada penurunan kesehatan serta gangguan jiwa yang dialami oleh perempuan di Ahmadiyah. 

Selain kekerasan terhadap perempuan, para pelaku dari organisasi masyarakat tersebut juga melakukan kekerasan terhadap anak-anak berupa diskriminasi dalam bidang pendidikan yang menyebabkan trauma mendalam bagi anak-anak tersebut.

Dalam buku ini juga menjelaskan tentang betapa pentingnya gerakan laki-laki untuk memperjuangkan kesetaraan perempuan, khususnya dalam Islam. 

Penulis Neng Dara Afifah dalam buku ini menyebutkan tokoh-tokoh seperti Mansour Fakih, K.H. Hussein, dan tokoh-tokoh Islam lainnya sebagai pendukung argumentasi mengenai pentingnya kita semua sebagai laki-laki untuk membela hak-hak perempuan.

Kemudian dalam buku ini juga terdapat pembahasan mengenai keperawanan (virginitas) perempuan dalam perspektif agama Islam. 

Di awali dengan pembahasan mengenai pernikahan dengan perempuan yang sudah janda, dalam pembahasan ini terdapat insight yang menarik mengenai arti dari keperawanan itu sendiri dari perspektif laki-laki yang menganggap bahwa keperawanan merupakan ‘nilai jual’ tinggi yang dimiliki oleh perempuan sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan janda berupa gangguan psikis maupun fisik dari suaminya dan mengalami penderitaan seumur hidup hingga perceraian itu (kembali) lagi.

Buku ini ditutup dengan pembahasan mengenai perkawinan sedarah (incest), buku ini membahas mengenai incest dalam sudut pandang Islam yang melarang para laki-laki untuk mengawini ibu, anak perempuan, saudara perempuan, mertua perempuan, saudara perempuan sepersusuan, bibi, keponakan perempuan sepersusuan, dan seterusnya (Q.S An-nisa : 23). 

Buku ini juga membawa perspektif dari agama Yahudi yang juga melarang laki-laki untuk mengawini perempuan dalam empat generasi keluarga yang mana jika dilanggar akan mendapatkan sanksi yang paling beratnya adalah pembunuhan (Blu Greenberg: 1990).

Buku ini menurut saya pribadi merupakan buku yang sangat saya rekomendasikan sebagai bahan bacaan tentang bagaimana perempuan itu ditinjau dalam aspek feminimitas, maupun dari aspek agama Islam, dan bagaimana perempuan itu harus diperlakukan. 

Dengan dipadu gaya tata bahasa yang mudah dipahami juga merupakan nilai plus untuk dibaca oleh pembaca awam sehingga lebih memudahkan masyarakat khususnya laki-laki agar lebih meningkatkan perhatian pada isu-isu perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun