Mohon tunggu...
Ilham Q. Moehiddin
Ilham Q. Moehiddin Mohon Tunggu... -

Sekadar berbagi pemikiran untuk nilai-nilai yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Money

ACFTA: The King of the Thief

25 Juni 2010   07:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Saya mencurigai, timbulnya kesan pemerintah yang "menahan diri" itu, sekadar untuk melindungi para pengusaha raksasa yang bergerak dalam bisnis ini. Keengganan ini akan memicu kartelisasi di sektor pertanian; penguasaan jenis komoditas tertentu, beserta jaringan distribusi dan pasarnya sekaligus oleh satu kepentingan demi kapitalisasi keuntungan.

Bukankah, jika berharap kencangnya aliran dari kantong air yang membesar, cukup hanya dengan membuat pendek pipanya, maka buat apa menggunakan pipa panjang yang memperlambat arus dan menghabiskan energi? Sistem yang efesien selalu berbiaya rendah, dan menyisakan keuntungan yang besar. Sistem yang tak efisien selalu, pastinya, mahal.

Lihatlah, akibat nyata dari model distribusi panjang dan berlapis-lapis itu; identitas asli komoditas jadi hilang. Mengapa harus "Indian Cashew", bukannya "Indonesian Cashew"? Kemana larinya kebanggaan Anda ketika Indonesia didaulat menjadi penghasil mete terbesar di dunia, ketika tahu mete-mete itu dilabel dengan nama negara lain ketika hendak diperdagangkan. Dan ini, tertera dengan terang di panel elektronik yang berhuruf kuning dan merah, yang terpasang besar di dinding gedung bursa komoditas dunia di Amsterdam itu.

***

Kembali ke soal pesanan komoditas tadi, saya menyusul ke Jerman sehari kemudian. Di Cafe Geurme, saya bertemu Riaz Ali. Rupanya, Riaz merasa perlu melihat sendiri kondisi yang saya kisahkan padanya lewat telepon dan email. Kami bertemu, dan berbicara di kantor pemilik cafe, yang keturunan Yunani berwarga negara Jerman itu, Pavellikas Alkos, namanya. Pada saya, dia minta dipanggil Pavell saja.

Orangnya ramah sekali. Wajahnya tirus, namun bibirnya sering senyum. Bicaranya cepat, tak terkecuali ketika kami berbicara bertiga dalam bahasa Inggris. Beberapa film dokumenter dan film pendek produksi sineas Jerman yang pernah saya tonton, sedikit membuat saya paham apa yang dikatakannya dalam bahasa Jerman, tetapi itu tidak membantu sama sekali. Pavell menjamu saya dengan minuman beer tong andalan cafe-nya. Beer itu rasanya sedang, tak terlalu ringan. Sedikit pahit, tetapi segera hilang, begitu mete oven mampir di lidah. Oh, ini rupanya... Saya segera paham mengenai penggantian dari kacang tanah ke kacang mete yang dia terapkan.

Saya tanya Pavell, dari mana diperolehnya mete sebelum dia memesan melalui Blade Marketing. Katanya, sebelum bertemu Riaz Ali, dia mendatangkan mete dari pasar komoditas Swiss. Mete ukuran standar dan kecil, dan harganya mahal, keluhnya. Riaz Ali yang menyarankan padanya untuk "berburu" mete secara langsung ke Indonesia. Riaz Ali pula yang memasang buy offer di situs NAFED milik Departemen Perdagangan RI. Kebetulan saya membacanya, dan mengirim email soal spesifikasinya, sehingga kemudian Riaz Ali menelepon saya pada pukul tiga dini hari, waktu Indonesia.

Kita singkat lagi kisahnya. Sebelumnya saya berniat langsung pulang ke Indonesia. Tapi tak jadi, ketika Riaz mengundang saya ke London selama dua hari. Karena undangan itu dilakukan secara pribadi, bukan atas nama kantornya, maka Riaz menyanggupi menanggung akomodasi selama saya di sana. Terserahlah, pikir saya. Mumpung "ditraktir" neh...

Kami banyak cerita. Riaz memberi gambaran tentang Blade Marketing, dan memberi tahu saya komoditas apa saja yang lalu lalang dalam porto folio usaha mereka. Banyak jenisnya, sayang sedikit sekali yang bisa dipesannya dari Indonesia; selain memang tidak dapat diperoleh dari Indonesia, jika ada pun, komoditasnya masih kalah sama negara-negara lain dalam urusan kuantitas dan kualitas.

Pembayaran atas pembelian pertama itu, sisanya sudah ditransfer Riaz. Down Payment-nya sudah ditransfer lebih dulu 30 persen, seketika, begitu dia menerima facsimile saya perihal kapal berisi kontainer pesanannya meninggalkan Port of Priok. Dalam dokumen tertera FOB alias free on board.

Nah, soal rekening dimana nantinya Riaz akan mentrasfer pembayaran itulah yang sempat saya "senggol" di awal-awal tulisan ini. Ketika saya hendak mengurus dokumen ekspor, salah satu syaratnya adalah calon eksportir harus membuka LC, atau letter of credit, semacam surat jaminan-lah. Jika Anda "pemain baru" sebaiknya buat pula satu rekening baru. Syarat lainnya pun ada, tetapi saya akan menyentil hal yang membuat saya terkaget-kaget itu saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun