Akhirnya, mete-mete itu ditransportasikan melalui jalan darat. Kemasan plastik yang tadinya membungkus mete pesanan itu, oleh petugas pelabuhan, dimasukkan kembali ke dalam peti kemas, dan diharuskan dibawa pulang ke negara asal, ke Indonesia. Saya kagum dengan aturan anti plastik negara itu yang diterapkan dengan ketat, dan tanpa kompromi. Mete pesanan itu tetap dalam drum kontainer stainless yang rupanya milik kantor perwakilan forwarding yang saya sewa. Untuk mencapai Jerman, butuh waktu kurang lebih tiga sampai empat hari. Saya jadi punya waktu dua hari untuk mempelajari regulasi lainnya di negara ini berkaitan dengan sektor ekspor-impor komoditas yang baru saya tekuni itu.
Kejadian itu, membawa berkah tersendiri. Di bursa komoditas tertua dunia di Belanda ini-dibangun di Amsterdam pada 1897 sampai 1909, sebuah ruang perdagangan komersial, (stock exchange)-saya akhirnya tahu, bahwa mete dari Indonesia, dilabel dengan nama "Indian Cashew". Menyedihkan.
Saya juga akhirnya tahu, komoditas yang memiliki nilai perdagangan tinggi di Eropa; kelapa dan produk turunannya (coconut fibre); madu alami (yang dipanen dari alam, dan harganya ditentukan dari tekstur dan tingkat kekentalan). Komoditi yang umumnya ditransaksikan adalah kopi, kakao, gula, kedelai, jagung, emas, tembaga, kapas, lada, gandum, dan CPO (crude palm oil, minyak sawit mentah), katun, susu, logam (emas, perak, nikel) dan juga kontrak berjangka yang menggunakan komoditi sebagai aset acuannya (Kontrak berjangka ini mencakup harga spot, kontrak serah, kontrak berjangka dan opsi berjangka ataupun suku bunga, instrumen lingkungan hidup, swap, ataupun kontrak derivatif pengangkutan).
Menyedihkan memikirkan, bahwa jutaan petani dan pekebun di Indonesia masih jauh dari hidup sejahtera. Saya mengira, selain terganggu sistem, keuntungan petani tidak pernah besar disebabkan terlalu banyaknya broker. Kadang komoditas para petani itu masuk dalam panel pasar setelah melalui rantai perantara yang berlapis-lapis. Harga yang tadinya sangat tinggi, begitu tiba di tingkat petani setelah melalui jasa perantara, sudah sangat-sangat tipis. Rantai kapitalis macam ini, tidak akan pernah membawa keuntungan pada petani. Solusinya, cuma memintas rantai distribusinya dengan bantuan pemerintah, agar harga yang tiba di tingkat petani "masih cukup tebal".
Jika perantara "pemburu komoditas" itu bisa sampai di desa-desa menemui petani, bernegosiasi dalam pembelian langsung, maka sangat mungkin petani pun bisa mengantarkan komoditasnya langsung ke pasar yang dia kehendaki, dengan ukuran pasar yang dia inginkan. Jika komoditasnya dia inginkan hanya untuk mengisi kebutuhan domestik, dia bisa langsung ke pasar komoditas nasional. Pemerintah tinggal memfasilitasi masyarakat dengan informasi yang terkait, dan membangun sistem sekaligus menjaganya.
Cara ini terang saja akan mengganggu sistem distribusi dan pasar kapitalis yang sudah ada dan sedang eksis itu. Jika model direct macam ini, akan menyebabkan banyak broker yang harus gulung tikar. Pemangkasan sistem distribusi komoditas hingga sampai ke pasar, secara langsung akan menghempaskan sektor jasa, yang kerap beriring bersisian itu.
Tapi, menurut saya, ini hanya masalah pilihan saja; pemerintah mau memihak rakyat petaninya yang puluhan juta itu? Atau, memihak pekerja sektor jasa perantara komoditas yang jumlahnya sedikit (selain itu, mereka yang berdasi ini, justru yang paling besar mereguk untung dari bisnis broker komoditas-padahal mereka tidak menanam setangkai pun tanaman yang mereka jajakan itu).
Manuver negatif direct broker; apa mungkin model beginian bersaing di ACFTA?
Yang mencurigakan sekaligus mengherankan bagi saya, bahwa pemerintah Indonesia ternyata "dikalahkan" oleh Malaysia dalam hal perlindungan petani. Negara jiran itu bahkan sudah lebih dulu memiliki bursa komoditas yang disebut Bursa Malaysia (MDEX). Walaupun produk yang diperdagangkannya baru sebatas produk biofuel dan derivatifnya, namun negara itu bisa menjamin dan melindungi keuntungan petani untuk pasokan mereka dalam industri bahan bakar nabati.
Apa keuntungan Indonesia dibanding Malaysia pada soal ini? Indonesia yang sering membanggakan diri sebagai negara agraris, ternyata tidak seberdaya yang kita kira. Padahal, jika mau, Indonesia bisa menjadi pemain tunggal kawasan untuk sektor perdagangan produk agraria. Petani produsen Indonesia, seharusnya, tidak perlu menunggu terlalu lama untuk sebuah bursa komoditas dan bursa berjangka, yang untuk saat ini, dapat melindungi petani produsen Indonesia.
Indonesia memang memiliki Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan PT Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dan Indonesia Commodity and Derivatives Exchange (ICDX). Tetapi, jika bursa ini hanya menyediakan ruang yang kecil-baru memperdagangkan CPO-untuk produk komoditas Indonesia yang demikian banyak itu, wah...percuma saja rasanya. Pun, lembaga-lembaga perdagangan komoditas ini seharusnya bisa menguasai dan menjadi penentu harga CPO dunia-ini jika mengingat CPO adalah produk unggulan negeri ini dan telah memberikan sumbangan pada pendapatan negara dari sektor non migas sebesar USS 7,87 miliar atau 8,54% dari pangsa pendapatan nasional.