Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Selasar Rumah

26 Maret 2023   04:42 Diperbarui: 26 Maret 2023   04:43 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Keringat bapak masih menetes, ia menyeka dahinya dengan baju partai yang sudah tampak lusuh. Aku baru saja kembali dari kampus. Kuparkirkan Vespa di Selasar rumah. Sementara dari dalam terdengar suara orang sedang memasak, tak lain itu pasti ibu. Namun, yang membuatku berpikir, tidak biasanya ibu masak di sore hari, ada apakah gerangan? Ya! Ibu memang jarang sekali masak di sore hari, biasanya hanya di pagi hari, tentu karena pasokan beras kami memang hanya cukup untuk dimasak di pagi hari. Asal bisa makan sekali sudah cukup sekali.

"Man? Kamu sudah pulang?" Tanya Ini dari dapur, rupanya ia tahu bontotnya sudah pulang.

"Iyak, Bu. Baru sampai." Jawabku.

Kusalami bapak, wajahnya masih tampak lelah. Di kakinya ku lihat bekas semen yang masih belum dibersihkan.

"Sudah sampai mana pak rumahnya Pak Ari?" Tanyaku.

"Tadi baru ngecor untuk lantai dua." Jawab bapak sambil meminum air teh.

"Aku ke dalam dulu ya, pak. Mau mandi dan sholat dulu." Pintaku

Bapak hanya mengangguk.

Cuaca yang sempat cerah mulai membiru, mendung telah menggumpal di langit, gemuruh pun saling bersahut didahului kilatan cahaya yang menyambar sembarang. Bapak mengajakku menyiapkan ember untuk menampung air hujan dari atap rumah yang bocor. Satu di depan pintu, dan beberapa di dalam rumah.

"Nanti kalau kamu sudah lulus, dan sudah jadi orang. Bapak pinta kamu perbaiki rumah ini. Jangan ditinggal. Rawat yang baik." Ujar bapak.

Aku menyimak sambil mencari posisi ember yang pas agar air yang jatuh tak sampai menggenangi lantai rumah.

"Kalau bapak sama ibu sudah tiada, jangan dijual rumah ini. Bagaimana pun kondisinya, seburuk apapun, rumah ini adalah saksi mati dari hidup kamu." 

"Aku nggak ada niatan sama sekali buat jual rumah ini, pak." Jawabku meyakinkan bapak kalau aku tak ada niat seperti itu samasekali.

Selesai membereskan ember. Aku bersama bapak duduk di selasar rumah. Memandangi rintikan air yang mulai turun dari langit yang semula membiru, kini menghitam. Bapak bertanya bagaimana kuliahku. Dengan semangat aku menceritakan hal-hal baru yang kudapat dari kampus. Sesekali bapak tampak bingung dengan kalimat yang kuutarakan. Itu wajar saja, sebab bapak tak pernah menamatkan sekolah dasar. Begitu juga ibu, mereka tak pernah merasakan nikmatnya belajar. Dipaksa berhenti oleh keadaan.

Gerimis yang mula malu-malu, kini datang kian melaju. Deras bukan main. Satu hal yang menyorot perhatianku dan bapak, di balik tirai hujan itu tampak seorang yang hendak mendekati aku dan bapak. Ia mengendarai sepeda motor, menembus barisan hujan. Sesampainya di depan rumah. Baru kukenali, dia adalah abangku. Wajahnya masih seperti dahulu, masam dan kecut tanpa senyum. Entah apa yang mau ia lakukan kali ini. Terakhir kali ia di rumah, dibuatnya malu kami sekeluarga, karena ulahnya yang bah Bromocorah, preman kampung yang kedapatan memperkosa gadis desa.

"Pak! Mana bagianku!" Ucapnya dengan nada cukup keras.

"Kamu nggak ada sopan santunnya sama bapak." Kataku, tak suka dengan tingkahnya.

Dia sama sekali tak memperhatikanku. Langsung mencecar bapak dengan pertanyaan yang tak lain soal warisan. Suaranya sangat keras, bahkan lebih keras dari suara hujan yang jatuh dengan deras. Ibu yang sedari tadi tengah menjahit pun ikut keluar. Penasaran dengan apa yang terjadi disini, di Selasar rumah!

"Ya Tuhan, ada apa lagi, Misan?" Tanya ibu dengan wajah sedih.

"Mana bagianku? Aku sudah hujan-hujanan datang kesini, mau ambil bagianku.' ujarnya

''Bagian apa? Apa yang mau kamu pinta dari bapak dan ibu?" Ujar bapak.

"Ya bagianku lah. Rumah ini kan bisa dijual dan uangnya bisa dibagi dua." Ujarnya lagi.

Mendengar itu, darahku naik. Seketika aku berdiri dan menunjuk wajahnya.

"Sembarangan kalau ngomong, harga segini-gininya mau dijual. Kamu nggak punya otak!" Ucapku.

"Kamu kalau bicara sama Abang pakai etika." Jawabnya sambil mengepal leher kemejaku.

"Jangan bicara etika. Kamu saja tak punya etika bicara sama bapak. Datang-datang sok jagoan. Kamu pikir saya takut?"

Bapak dengan cepat melerai aku dan abangku yang sama-sama keras kepala. Ibu terlihat menangis dan berkata lirih untuk melerai kami berdua. 

"Dia Bu, dari dahulu bisanya cuma bikin susah kita."

"Apa kamu bilang? Kamu tuh yang bikin susah bapak sama ibu. Sudah tahu kita miskin, malah merengek mau terus sekolah. Sudah tahu biaya sekolah itu mahal." Jawabnya.

"Tapi aku nggak pernah bikin malu keluarga!" Jawabku penuh amarah.

"Yak! Memang. Kalau bicara begitu kau menang. Kau memang tak pernah buat malu keluarga. Tak seperti aku yang selalu bikin malu. Dicap beban keluarga, bukan begitu, pak, Bu?" Ujarnya

Tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Bapak tampak sedih dan air mata mulai muncul di bola matanya yang tak lagi sehat. 

"Tidak ada yang menjadi beban di mata bapak." Jawab bapak lirih.

"Enggak usah bohong, pak. Aku datang kesini pasti bapak sudah berpikir yang aneh-aneh. Menuduhku yang bukan-bukan."

"Memang begitu, kan? Barusan sekali kau minta bagian. Bapak dan ibu masih hidup kau sudah minta warisan. Apa itu? Baikkah begitu?" Ujarku.

"Ya! Aku memang meminta bagian. Salah aku meminta bagian? Aku hanya meminta sedikit, tapi kau permasalahi. Sedangkan kau, sudah makan banyak harga ibu dan bapak, dan kau merasa bahwa kau tak pernah menjadi beban hidup keluarga?" 

"Apa maksudmu?"

Tampaknya gemuruh dan kilatan yang terjadi di luar rumah masih kalah menakutkan dengan fakta yang baru saja kuketahui. Aku tak pernah tahu selama ini, rengekanku yang terus menerus minta sekolah telah menjadi hantu di kepala bapak dan ibu. Membuat mereka pusing di setiap malam untuk mencari biaya sekolahku yang tak mudah. Memang, aku sekolah di negeri. Dari tingkat dasar sampai menengah atas. Tetapi meski begitu, harus saja ada biaya yang mesti dikeluarkan.

Bapak menyela omongan Abang. Air matanya sudah tak tertampung kulit matanya yang sudah keriput. Air mata itu tumpah, bapak pun memeluk kami berdua. Mendekap erat tubuh kami. Sungguh, mataku tak tertahan. Air mata ikut jatuh beriringan dengan derasnya hujan. 

"Sudah, sudah, yang sudah lalu tak perlu kau bicarakan. Maafkan bapak. Bapak yang salah." Ujar bapak lirih.

Mendengar hal itu hatiku makin lemas. Melihat betapa gigihnya bapak ingin aku dan Abang segera berdamai.

Saat hujan mulai mereda, abangku pergi kembali ke rumah kontrakan miliknya. Sementara aku masih terngiang perkataan Abang yang baru saja kuketahui.

Ternyata begitu sebenarnya. Bapak dan ibu harus berhutang sana-sini dan menjual hewan ternaknya hanya untuk kebutuhanku sekolah. Tak sampai di situ, ternyata abangku yang selama ini kukenal tak punya hati dan menjadi beban keluarga, nyatanya telah mengorbankan masa depannya untukku. Dia rela tak sekolah dan bekerja sejak usianya masih di bangku sekolah untuk menopang perekonomian keluarga. Karena itu juga ia menjadi seperti Bromocorah, karena terlalu banyak bergaul dengan preman pasar saat ia jadi kuli panggul. Memang, ia mengakui kasus pemerkosaan gadis desa itu adalah kekhilafannya, meski ia pun berdalih itu bukanlah pemerkosaan sebab dilakukan suka sama suka. 

Malam pun mulai meninggi. Kuberanikan diri menghadap bapak dan ibu. 

Mereka yang tampak sedang melamun kosong kuhampiri.

Aku pun berkata.

"Pak, Bu, terimakasih atas semuanya, dan maafkan aku yang tak pernah tahu sudah menjadi beban bapak dan ibu."

Bapak berkata.

"Nak, tak ada yang menjadi beban. Kelak saat kau jadi bapak, kau akan tahu rasanya."

Depok, 26 Maret, 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun