Mohon tunggu...
Ilham Pasawa
Ilham Pasawa Mohon Tunggu... Novelis - ~Pecandu Kopi~

Manusia yang ingin memanusiakan dan dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Selasar Rumah

26 Maret 2023   04:42 Diperbarui: 26 Maret 2023   04:43 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Enggak usah bohong, pak. Aku datang kesini pasti bapak sudah berpikir yang aneh-aneh. Menuduhku yang bukan-bukan."

"Memang begitu, kan? Barusan sekali kau minta bagian. Bapak dan ibu masih hidup kau sudah minta warisan. Apa itu? Baikkah begitu?" Ujarku.

"Ya! Aku memang meminta bagian. Salah aku meminta bagian? Aku hanya meminta sedikit, tapi kau permasalahi. Sedangkan kau, sudah makan banyak harga ibu dan bapak, dan kau merasa bahwa kau tak pernah menjadi beban hidup keluarga?" 

"Apa maksudmu?"

Tampaknya gemuruh dan kilatan yang terjadi di luar rumah masih kalah menakutkan dengan fakta yang baru saja kuketahui. Aku tak pernah tahu selama ini, rengekanku yang terus menerus minta sekolah telah menjadi hantu di kepala bapak dan ibu. Membuat mereka pusing di setiap malam untuk mencari biaya sekolahku yang tak mudah. Memang, aku sekolah di negeri. Dari tingkat dasar sampai menengah atas. Tetapi meski begitu, harus saja ada biaya yang mesti dikeluarkan.

Bapak menyela omongan Abang. Air matanya sudah tak tertampung kulit matanya yang sudah keriput. Air mata itu tumpah, bapak pun memeluk kami berdua. Mendekap erat tubuh kami. Sungguh, mataku tak tertahan. Air mata ikut jatuh beriringan dengan derasnya hujan. 

"Sudah, sudah, yang sudah lalu tak perlu kau bicarakan. Maafkan bapak. Bapak yang salah." Ujar bapak lirih.

Mendengar hal itu hatiku makin lemas. Melihat betapa gigihnya bapak ingin aku dan Abang segera berdamai.

Saat hujan mulai mereda, abangku pergi kembali ke rumah kontrakan miliknya. Sementara aku masih terngiang perkataan Abang yang baru saja kuketahui.

Ternyata begitu sebenarnya. Bapak dan ibu harus berhutang sana-sini dan menjual hewan ternaknya hanya untuk kebutuhanku sekolah. Tak sampai di situ, ternyata abangku yang selama ini kukenal tak punya hati dan menjadi beban keluarga, nyatanya telah mengorbankan masa depannya untukku. Dia rela tak sekolah dan bekerja sejak usianya masih di bangku sekolah untuk menopang perekonomian keluarga. Karena itu juga ia menjadi seperti Bromocorah, karena terlalu banyak bergaul dengan preman pasar saat ia jadi kuli panggul. Memang, ia mengakui kasus pemerkosaan gadis desa itu adalah kekhilafannya, meski ia pun berdalih itu bukanlah pemerkosaan sebab dilakukan suka sama suka. 

Malam pun mulai meninggi. Kuberanikan diri menghadap bapak dan ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun