Mendengar itu, darahku naik. Seketika aku berdiri dan menunjuk wajahnya.
"Sembarangan kalau ngomong, harga segini-gininya mau dijual. Kamu nggak punya otak!" Ucapku.
"Kamu kalau bicara sama Abang pakai etika." Jawabnya sambil mengepal leher kemejaku.
"Jangan bicara etika. Kamu saja tak punya etika bicara sama bapak. Datang-datang sok jagoan. Kamu pikir saya takut?"
Bapak dengan cepat melerai aku dan abangku yang sama-sama keras kepala. Ibu terlihat menangis dan berkata lirih untuk melerai kami berdua.Â
"Dia Bu, dari dahulu bisanya cuma bikin susah kita."
"Apa kamu bilang? Kamu tuh yang bikin susah bapak sama ibu. Sudah tahu kita miskin, malah merengek mau terus sekolah. Sudah tahu biaya sekolah itu mahal." Jawabnya.
"Tapi aku nggak pernah bikin malu keluarga!" Jawabku penuh amarah.
"Yak! Memang. Kalau bicara begitu kau menang. Kau memang tak pernah buat malu keluarga. Tak seperti aku yang selalu bikin malu. Dicap beban keluarga, bukan begitu, pak, Bu?" Ujarnya
Tangisan ibu semakin menjadi-jadi. Bapak tampak sedih dan air mata mulai muncul di bola matanya yang tak lagi sehat.Â
"Tidak ada yang menjadi beban di mata bapak." Jawab bapak lirih.