Indah sekali! Matahari terbit memang selalu indah bagiku, meski banyak orang yang lebih menyukai matahari terbenam, aku lebih suka ketika ia terbit.Â
Kau mau tahu apa alasannya? Sebab saat itu sejuta semangat mulai dibangunkan dari mimpi-mimpi yang terlalu lama mengawang di langit-langit kamar tidur, atau tersimpan rapat di lemari tua peninggalan nenek.Â
Barang berlumut bernama impian itu mulai dipaksa keluar, ya dipaksa, benar-benar dipaksa. Sang Surya merobek hordeng di kamar-kamar yang kau tiduri di setiap pagi, kamar yang dipenuhi bau dosa, dosamu tadi malam. Kamar yang gelap dan hambar sekali.
Kau masih tak percaya? Terserah kalau begitu. Kepercayaan atau ketidakpercayaanmu tak begitu berarti padaku. Hal yang mesti berjalan hari ini bukan soal itu, tetapi soal lain.Â
Ini adalah hari di mana aku harus segera mandi pagi, merapihkan baju, dan menjemput ayah dan ibuku di rumahnya yang hampir roboh itu. Ada bunga tumbuh di hatiku, mekar serupa kue bolu yang baru matang.Â
Ah, kiasanku buruk sekali. Tetapi memang begitu, kenapa pelangi selalu hadir setelah badai? Kenapa ia tak langsung hadir begitu saja. Kenapa mesti ada luka dan duka sebelum suka?Â
Kenapa semesta selalu begitu, bukankah banyak orang yang tak sanggup memanah duka? Ah, masa bodo saja soal itu. Tetapi memang benar, sebelum bunga ini tumbuh di hatiku. Lebih dulu kaktus berduri yang menghuni. Mengapa demikian? Biar kukisahkan.
Di masa SMA dulu, aku terkenal sebagai seorang pria berkharisma yang mampu menarik wanita-wanita cantik. Bahkan ada beberapa guru wanita yang masuk juga dalam perangkapku.Â
Entahlah, mungkin itu bakat alamiah dari Tuhan. Namun ada satu perempuan yang membuatku jatuh, bukan ia yang masuk perangkap malah sebaliknya. Perempuan itu bernama Sumi, begitu aku menyebutnya.Â
Dia begitu menarik, ada aura bidadari dalam tubuhnya, aku curiga ia mandi susu setiap malam dan paginya, coba perhatikan saja, kulitnya begitu mulus dan putih seperti susu sapi segar. Hiruplah aroma tubuhnya yang serupa kebun bunga Pak Zaen si pensiunan jendral. Aku yakin, jika kau bertemu dengannya, bertemu dengan si Sumi itu, kau pun pasti akan jatuh hati jua.Â
Karena aku berniat membuat cerpen, bukan novel atau roman yang memiliki halaman yang sangat tebal, cerita pun ku singkat saja. Jadi, singkat cerita, dengan berbagai jurus rayuan maut ala si boy dan lupus, aku berhasil menaklukannya.Â
Serupa buaya yang menyergap bangau yang tebang tinggi di atasnya. Setelah berhasil ia kuikat, tak mau aku melepas. Ia benar-benar kujaga. Sampai akhirnya kuikat ia dengan tali suci bernama pernikahan.
Namun sial beribu sial, malam itu aku baru tau sikap aslinya. Ternyata ia bukan bangau yang indah. Ia itu gagak, ah bukan. Ada yang tau jenis burung yang bisa melambangkan kesakitan selain gagak? Pokonya ia lebih dari itu. Benar-benar lebih dari itu.
Sejak kecil aku ini anak yang berbakti dengan orangtua. Benar-benar nurut dan patuh. Tak pernah sekalipun aku berani berkata kasar, bahkan memasang wajah suram pun aku tak berani. Karena takut kualat, lagi pula itu memang suatu kewajiban bagi seorang anak bukan? Untuk bakti terhadap orangtua.
Kebaktianku pada orang tua tak luntur meski status bujangku telah lenyap, meski kini aku telah menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangga yang tak cukup besar namun sulit dikendalikan. Benar-benar sulit, seperti membawa sebuah kapal di lautan yang penuh gelombang.
Pintu yang keropos dimakan rayap itu kubuka perlahan sekali, tenagaku sudah terkuras akibat kuli yang kujalani, menjadi buruh pabrik adalah merubah sisi kemanusiaan menjadi mesin produksi yang tak boleh sekalipun mengeluh.Â
Bagaimana mau mengeluh jika ancamannya adalah PHK. Sedang aku butuh akan uang untuk memenuhi isi perut dan kebutuhan si Sumi yang makin hari makin banyak permintaan.Â
Di ruang tamu itu si Sumi sedang duduk manis menyambut kepulanganku, ya harus kuakui, dia memang selalu melakukan hal itu.Â
Selalu menyambut suaminya dengan ramah tamah ala ketimuran. Belum juga aku duduk, ia sudah menawariku kopi. Segera saja kuiyakan. Ia pun lekas membuatkanku secangkir kopi.
Aku yang sudah lelah, menempalkan pantatku di sofa murahan. Tak begitu empuk, asal ada saja. Tak sengaja saat itu aku melihat sebuah selendang. Selendang yang sangat kukenal. Kuambil selendang itu.Â
Memperhatikannya dengan khidmat. Makin dilihat makin mantap keyakinanku. Ini memang benar miliknya. Selendang yang telah menemaniku sejak aku dalam buaian.Â
Kuhirup aromanya, ya! Aroma yang sama saat aku masih balita. Selendang ini milik ibuku. Lalu kenapa selendang ini bisa sampai di sini? Apakah ibuku datang kesini? Menengok putranya yang sudah beberapa bulan terakhir ini belum sempat menjenguknya? Lalu kenapa ia tak tinggal barang semalam? Tak rindukah ibu padaku? Begitu banyak pertanyaan dalam hatiku.
Sumi yang telah selesai membuat kopi segera duduk di sisiku. Ia agak terkejut saat tahu aku tengah memegang selendang milik ibu.Â
Melihat ekspresinya, aku segera bertanya.
"Ibu kemari?" Tanyaku.
Sumi hanya mengangguk.
"Kenapa tak disuruh menginap saja?"
"Tidak mau, tadi sudah kupinta" ujar Sumi.
"Dengan siapa ibu kemari?"
"Sendiri" Jawab Sumi.
Aku yang memang sejak kecil sudah hidup dengan ibu, tahu tabiat ibu. Ia pasti akan bersedia jika dipinta menginap oleh anak kesayangannya. Tapi mungkin saja memang ibu sedang buru-buru.
Akhirnya aku mencoba mengabaikan hal itu. Kuminum saja kopi buatan istriku itu. Pahit seperti biasa.Â
Setelah itu aku hendak ke kasur. Belum juga sampai di kasur, nada dering gawaiku berbunyi. Kutilik, abangku yang memanggil.
Kuangkat segera.
"Assalamu'alaikum, bang." Sapaku.
Bukan menjawab, diujung sana abangku malah memakiku. Mengataiku anak tak tahu diri. Aku yang sedang lelah, sedikit tak terima.
"Tak tau diri apa? Apa maksudnya?" Tanyaku keras.
Abangku malah terus melempar kata-kata yang tak mengenakan. Ia menuduhku mengusir ibuku yang jauh-jauh datang dengan ayahku untuk menginap tetapi malah tak diperlakukan selayaknya seperti orang tua. Jangankan ditawari minum. Disuruh masuk rumah pun tidak. Begitu jelas Abang. Dan samar-samar kudengar suara ibu dan ayah mencegah Abang yang terus memarahiku. Sepertinya ibu sedang menangis diujung sana.
"Apa bang? Aku baru pulang, tak tahu apa-apa." Ujarku.
"Tidak becus kamu jadi suami!" Dan panggilan itu pun berakhir.
Ada yang tak beres ini. Segera saja Kupanggil istriku. Apa sebetulnya yang ia perlakukan dengan ibu.
Sumi datang, wajahnya menunduk. Sepertinya ia telah mendengar percakapanku tadi.
"Ada apa?" Tanyaku seketika.
Dia hanya menggeleng.
"Jangan bohong!" Bentakku keras.
Dia terus menggeleng.
Lama-lama aku naik pitam. Hampir saja tanganku melesat meninju wajahnya. Untung saja aku segera sadar. Dan menahan itu.
"Apa yang kau lakukan pada ibuku?" Tanyaku lagi.
"Aku tidak berbuat apa-apa bang." Ujarnya terbata-bata.
Aku masih tak percaya. Terus kutanyai ia. Kupaksa ia menjawab.
Aku mendengar ibu menangis di ujung sana. Tak mungkin jika tak ada apa-apa.
Disaat tegang seperti itu, mataku malah berfokus pada asbak di samping tempat tidur. Itu apa? Itu bukan rokok yang biasa kuhisap.
"Kamu merokok?" Tanyaku pada si Sumi. Rasa curigaku makin menjadi. Ini pasti ada apa-apanya.
"Itu bapak tadi yang merokok" jawabnya. Aku tau dia berbohong.
Sejak muda ayahku itu sudah tak merokok karena sakit paru-parunya.
"Oh rokok bapak. Bapak siapa? Bapakku itu tidak merokok. Dan kamu tahu itu." Bentakku lagi.Â
Wajahnya memerah. Dan matanya mulai berkaca-kaca.Â
Aku tak peduli. Terus kuhujamkan dia dengan pertanyaan. Tangan ini sudah gatal saja ingin bergerak. Kutahan semampuku.
Ia tak juga mau menjawab. Aku sudah tak tahan. Kulesatkan saja satu tamparan ke wajahnya.
"Kurang ajar kamu ya. Main kamu dengan laki-laki lain?"Â
"Bukan begitu bang, bukan...." Ujarnya terbata-bata, menangis ia.
"Apa?"
"Cuma teman bang, teman..."
"Teman apa? Mana ada teman masuk ke kamar? Teman wanita? Ada wanita merokok kretek?" Tegasku.
Dia jatuh tersipuh, berharap dikasihani.
Tak peduli aku. Aku sudah kelewat marah malam ini.
"Terus apa yang kamu lakukan pada ibuku? Kamu mengusirnya? Mengusir karena takut ketahuan selingkuh? Hah!" Gertakku lagi.Â
Diam dia seribu bahasa. Hilang semua moodku. Senyum penyambutannya hanya pura-pura saja ternyata.Â
"Bajingan!"
Ku banting pintu, segera saja aku meninggalkan rumah itu. Ia mengerjar. Masa bodo. Aku khawatir jika berdiam di situ, kemarahan ku makin menjadi dan terjadi hal-hal yang tak diinginkan.
Kutancap gas ke rumah abangku. Mencari kejelasan atas semuanya.
Dan benar saja..... Malam pun berakhir....
Aku memeluk ibu saat ia membuka pintu. Mencium tangannya. Tak lupa juga pada ayah. Di situ juga ada abangku. Wajah ibu pagi ini tak seperti malam itu. Pagi ini begitu cerah dan bahagia. Juga ayah dan Abang. Ayah pun memuji istriku yang santun dan sopan itu. Istri? Ya aku sudah punya istri baru, Dahlia namanya.Â
"Ini baru istri yang baik, mau mengurusi mertuanya seperti mengurusi orangtuanya." Ujar Abang seraya menyinggung masalaluku.
"Yang lalu biarlah berlalu.."
PX, Sawangan, Depok 15, 03, 21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H