Sebagaimana kita pahami bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada kita bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan kepercayaanya. Karena itu untuk menjamin setiap pemeluk agama agar dapat melakukan ibadah dan menjalankan ajaran agamanya, maka bagaimanapun negara wajib melindungi dan menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
      Perlu diakui bahwasanya produk yang beredar selama ini di masyarakat belumlah semua terjamin kehalalannya secara syar'i. Di samping pengaturan mengenai kehalalan suatu produk belum terjamin kepastian hukumnya sehingga perlu diatur dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan secara nasional.
      Itulah dasar pertimbangan yang menjadi alasan lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal di Indonesia, sebagaimana yang tertuang di dalam klausula menimbang. Oleh karena undang-undang ini bersifat umum, maka tentu saja berlaku pula untuk industri pariwisata halal yang harus steril dari segala hal yang haram berdasarkan syari'ah.
      Adapun relevansinya undang-undang tersebut dengan wisata halal, antara lain adalah karena menyentuh berbagai kebutuhan wisatawan (Muslim) seperti tempat penginapan, restoran, kolam renang, spa dan faktor pendukung lain sebagainya. Selama di hotel, mereka dijamu makanan dan minuman sesuai fasilitas yang disediakan yang kesemuanya harus dijamin kehalalannya.
      Demikian pula untuk restoran atau rumah makan dengan segala macamnya yang dijual kepada wisatawan selaku konsumen harus jelas pula kehalalannya agar mereka tidak tercederai akidahnya karena telah menikmati produk yang haram dikonsumsi. Keharaman produk itu baik yang berkaitan dengan bahan baku maupun proses pembuatannya. Sebab itu untuk menjamin kehalalan itu diperlukan kejujuran, keterbukaan dan niat baik para pelaku usaha, produsen maupun para penjual dalam memproduksi dan menjual segala macam produk kepada wisatawan yang berkunjung.
Pariwisata Halal: Prespektif UU RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan KonsumenÂ
      Pembangunan perekonomian nasional di era globalisasi dewasa ini, bagaimanapun harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha agar mampu menghasilkan bermacam-macam barang dan jasa yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Namun demikian dengan semakin terbukanya pasar global yang ditandai dengan semakin ketatnya daya saing, maka diperkuat dengan peraturan perundangan yang dapat melindungi kepentingan mereka. Disamping itu juga perlu melindungi kepentingan pelaku usaha agar terjadi keseimbangan antara kedua belah pihak. Itulah antara lain di antara pertimbangan filosofis dalam konsideran menimbang perlunya undang-undang tentang perlindungan ini diciptakan.
      Adapun yang dimaksud dengan konsumen dalam kaitan dengan destinasi wisata halal adalah para wisatawan (turis), sedangkan pelaku adalah perilaku industri kepariwisataan. Kedua mereka ini jelas saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Pelaku usaha wisata butuh pengunjung agar dapat terus meningkatkan omzet industri (korporat) yang ditekuninya. Sementara wisatawan butuh destinasi rekreasi agar pikiran mereka menjadi tenang dan refresh yang dapat melahirkan inspirasi dan inovasi-inovasi baru untuk pengembangan diri yang dapat disumbangkan untuk kepentingan bangsa dan negara.
      Disisi lain dalam perlindungan konsumen terdapat juga mendapatkan perawatan medis, yang dimana setiap para wisatawan yang sakit atau kurang sehat bisa mendapatkan perawatan medis, sehingga dapat membantu para wisatawan dalam mengatasi kendala tersebut dalam berwisata. From developed countries to developing or emerging countries for medical treatments. This occurs for a variety of reasons including cost considerations, shorter waiting periods, and better quality of care, among others. Hence, the direction of patient traffic has changed from being one directional to bi-directional. In the past, people in high income groups have travelled to developed countries to acquire advanced treatments, but middle-class people in developed countries have now begun to travel to developing countries to receive high-quality treatment with at a lower cost and this has become a new concept in the tourism sector (Chen and Flood 2013; Connell 2011; Horowitz and Rosensweig 2008; Ormond 2011).
      Sebagaimana telah disinggung sebelum ini, bahwa pada hakikatnya destinasi wisata itu ibarat rumah tangga dalam sebuah keluarga, sedangkan wisatwan adalah tamu mereka yang akan melakukan silaturrahim. Islam mengajarkan, bagaimanapun tamu itu wajib dihargai, dihormati, dan dilindungi kepentingannya.