Mohon tunggu...
Ilham Khaliq
Ilham Khaliq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asal Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Politik dari Kekuatan Pemusnah Massal

20 Desember 2021   13:23 Diperbarui: 23 Desember 2021   17:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Isu senjata nuklir seringkali menjadi isu serius dalam perbincangan politik. Sifatnya sebagai senjata pemusnah massal membuat posisi strategis senjata ini bukan saja sebagai amunisi militer, namun tetapi juga sebagai senjata psikologis. 

Tekanan psikologis yang dihasilkan begitu kuat hingga keberadaan senjata nuklir menghasilkan kondisi unik di mana peradaban manusia bisa mengalami perdamaian sementara tanpa adanya konflik global sejak akhir Perang Dunia Kedua, membawa peradaban manusia kepada kemajuan peradaban yang tidak pernah terjadi sebelumnya. 

Meski demikian, senjata nuklir itu sendiri sudah lama diprotes oleh kelompok sipil yang menunjuk bahwa potensi kehancuran peradaban selalu ada dari keberadaan senjata nuklir. 

Kekuatan pro-nuklir membalas balik dengna menyatakan senjata nuklir diperlukan justru untuk menyelamatkan peradaban manusia dengan senantiasa menekan kekuatan lain untuk saling menahan serangan. 

Diperlukan pengetahuan dasar mengenai senjata nuklir dan konstelasi politik internasional untuk bisa mengambil sikap dalam perkara ini.

Senjata nuklir adalah senjata yang menggunakan reaksi nuklir dalam pengerahannya - baik itu berasal dari fusi nuklir atau gabungan antara fisi dan fusi nuklir. 

Definisi senjata nuklir pada umumnya merujuk kepada senjata ledakan: baik itu berupa bom sampai misil - meski pengerahan energi nuklir dapat digunakan dalam bentuk lain -- salah satunya adalah sabotase. 

Senjata nuklir adalah senjata ledakan yang paling kuat saat ini, di mana reaksi nuklir dapat menghasilkan hempasan energi yang sangat kuat dengan volume yang lebih sedikit dari bahan peledak lain, ditambah efek samping dari pengerahan senjata nuklir -- terutama radiasi terhadap target. 

Kerusakan ekstrim yang diberikan dari senjata ini membuat senjata ini digolongkan sebagai "senjata pemusnah massal".

Penggunaan resmi senjata ini hanya terjadi dua kali, terhadap target yang sama - Kekaisaran Raya Jepang, dan dilakukan oleh pelaku yang sama - Amerika Serikat saat Perang Dunia Kedua di tahun 1945. 

Kehancuran yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki meratakan kedua kota dalam sekejap serta menyebarkan radiasi dalam radius yang luas membuat kekuatan-kekuatan politik dunia menyadari potensi kekuatan senjata ini -- yang pada akhirnya mengusahakan program senjata nuklir mereka masing-masing. 

Dalam waktu cepat, kekuatan-kekuatan politik besar dunia pada saat itu mulai memiliki arsenal senjata nuklir masing-masing; dimulai dari Amerika Serikat, Uni Soviet, Britania Raya, Perancis, dan Republik Rakyat Cina. 

Ketakutan akan kehancuran dari bencana nuklir (radiasi nuklir dapat bertahan selama puluhan ribu tahun) serta teori kehancuran yang dipastikan (mutually assured destruction -- MAD, di mana kehancuran kedua belah pihak yang sama-sama mengerahkan senjata nuklir) membuat pemilik arsenal senjata nuklir berusaha untuk membatasi penyebaran senjata nuklir kepada kekuatan-kekuatan politk lain -- berupa antara lain rangkaian perjanjian anti-proliferasi, program bantuan politik dan ekonomi, hingga intervensi langsung (contoh: Perang Irak). 

Kehancuran yang diberikan dari senjata nuklir, usaha anti-proliferasi, serta dominasi geopolitik dari pemilik kekuatan nuklir membuat senjata nuklir menjadi isu sensitif, mulai dari politik internasional hingga isu kemanusiaan.

Signifikannya nilai strategis senjata nuklir membuat perkembangan senjata ini tumbuh cepat dalam 70 tahun terakhir; mulai dari daya dan ukuran yang bertambah besar, pengerahan melalui misil roket membuat jangkauan dan keakuratan target menjadi lebih baik dan dinamis, serta alternatif pengerahan dengan melalui kendaraan khusus; seperti dengan truk atau kapal selam membuat partisipasi senjata nuklir jauh lebih efektif dan efisien dalam usaha militer. 

Tsar Bomba adalah unit senjata nuklir terkuat yang pernah dites, dengan kekuatan 50 megaton TNT (50 juta ton TNT -- bahan peledak yang umum dijadikan patokan perbandingan daya ledakan) dengan kemungkinan pengerahan sampai 100 megaton -- hampir 20 kali lipat lebih kuat dari bom nuklir yang dijatuhkan di Hiroshima yang berukuran 21 kiloton TNT. 

Misil nuklir LGM-30 Minuteman III, RS-26 Rubezh dan DF-41 masing-masing milik AS, Rusia, dan Daratan Cina memiliki jangkauan sejauh 12.000 kilometer lebih -- dua kali lipat dari jarak yang dibutuhkan untuk serangan dari Beijing ke Tangerang, dengan hulu nuklir ganda atau lebih.

Proliferasi senjata nuklir dimulai dari percobaan saat Perang Dunia II oleh Amerika Serikat (dengan partisipasi dari Britania Raya dan Kanada), Jerman Nazi, Kekaisaran Raya Jepang, dan Uni Soviet. 

Amerika Serikat juga adalah pengguna pertama dan satu-satunya senjata nuklir ketika menjatuhkan bom atom di dua kota Jepang saat PD II. 

Setelah kekalahan mereka dalam PD II Jerman dan Jepang menghentikan program senjata nuklir mereka. Pada 1949, Uni Soviet mengadakan uji coba senjata nuklir (yang sebagian idenya berasal dari aktivitas spionase dari program AS), membuat Soviet menjadi kekuatan nuklir kedua. 

Lalu diikuti oleh Britania Raya pada 1952 menggunakan hasil partisipasi mereka dalam program nuklir bersama AS, lalu Prancis pada 1960 dan Republik Rakyat Cina (Daratan Cina) pada 1964. 

Lalu percobaan pertama program senjata nuklir India pada 1974, yang mendorong Pakistan untuk mengembangkan nuklirnya sendiri dan berhasil pada 1998. Lalu Korea Utara, berhsail melakukan uji coba persenjataan nuklir pada 2006.

Penyebaran proliferasi senjata nuklir adalah isu sensitif dalam politik internasional, mengingat sifat senjata itu sendiri sebagai senjata pemusnah massal, penolakan sipil dan politik interasional yang meluas, serta intervensi serta dominasi politik kekuatan nuklir yang sudah lebih dulu ada sebelumnya. 

Di satu sisi inisiator proliferasi non-NPT menyatakan bahwa perjanjian itu bersifat munafik dan tebang pilih dalam penerapannya serta keberadaan senjata nuklir adalah kepentingan pertahanan dan kedaulatan nasional, sedangkan di sisi lain kekuatan nuklir NPT menekankan kontrol yang kuat dan penekanan kemungkinan terjadinya konflik nuklir -- dan dalam beberapa hal, membawa alasan pengurangan senjata nuklir adalah diharuskan demi menjaga stabilitas politik internasional dan ketahanan perdamaian manusia. 

Aktivis non-proliferasi (atau sekaligus aktivis anti-nuklir) pada umumnya menolak kedua belah pihak atas alasan "egoisme geopolitik" dan tetap menekankan atas memusnahkan dan meninggalkan teknologi senjata nuklir sama sekali.

Terlepas dari status awal pemilik senjata nuklir, kepemilikan senjata nuklir akan memberikan manfaat politis yang lebih -- terutama di bidang geopolitik. 

Dalam hubungan internasional, negara harus memiliki daya agar bisa memliki posisi, yang mana daya itu bisa berupa ekonomi, budaya, dan yang paling tradisional -- militer. 

Hal ini lah yang membuat isu senjata nuklir senantiasa sensitif dalam urusan hubungan internasional: kepemilikan senjata nuklir akan menjamin kelangsungan hubungan diplomasi (baik itu sekedar pertahanan diri sampai dominasi) si pemilik senjata tersebut dan hingga yang paling jauh -- melakukan isolasi terhadap target diplomasi tertentu.

Dalam sejarah senjata nuklir dalam politik dunia, kita tidak bisa mengabaikan peran Perang Dingin, di mana kedua adidaya pemilik stok senjata nuklir terbesar di dunia saat itu -- AS dan Soviet, saling bersaing dan berebut pengaruh di tatanan dunia baru pasca perang. Berbeda dengan kekuatan nuklir yang lain pada saat itu (dan yang kemudian), kedua adidaya ini senantiasa bersaing dalam urusan persenjataan nuklir -- yang sebagian beriringan satu sama lain. 

Sampai saat ini, hanya kedua negara ini yang baru melakukan persaingan persenjataan (arms race) nuklir di mana bila negara lain hanya memiliki sekitar ratusan hulu ledak nuklir, AS dan Soviet pada puncaknya memiliki lebih dari puluhan ribu arsenal hulu ledak nuklir dan telah menyebar ke seluruh benua (Mearsheimer 2001). 

Dimulai dari saling ketidakpercayaan satu sama lain paca kemenangan mereka dalam PD II akibat aktivitas spionase Soviet terhadap program senjata nuklir AS, dan didasari terhadap perbedaan ideologi yang sangat ekstrim, kedua mantan alisani tersebut mulai bergerak ke arah yang berbeda untuk saling melawan satu sama lain -- yang sebagian besar jatuh dalam konflik proksi: di mana kedua adidaya mendukung dua belah pihak yang berlawanan dalam suatu negara yang bertikai (Mearsheimer 2001). 

Hal ini terjadi karena adanya teori kepastian dua belah pihak yang dipastikan (mutually assured destruction -MAD) yang membuat kedua adidaya enggan untuk melakukan konfrintasi langsung kepada pihak lain -- dan mengalihkan target politik mereka kepada kekuatan yang lebih kecil. 

Kenyataan bahwa mereka adalah adidaya dengan kekuatan ekonomi dan militer dengan puluhan ribu hulu ledak nuklir membuat banyak negara tidak bisa banyak berkutik berada di bawah dominasi dan tekanan dari kedua belah pihak adidaya tersebut (Waltz 1979). Hal itu membuat sebagian besar negara-negara (terutama negara-negara yang baru merdeka dan negara dunia ketiga) pada saat itu sangat bertumpu terhadap sokongan dan dukungan dari kedua adidaya, baik itu dalam bentuk aliansi proteksi, bantuan keuangan, dan sebagainya -- yang mana sebagian besaer "program dominasi" tersebut masih bertahan hingga kini (misalnya seperti Pakta Pertahanan Atlantik Utara -- za, pertanggungjawaban pertahanan Korea Selatan dan Jepang oleh AS) (Waltz 1979)(Guertner 1990). 

Dukungan itu tidak selamanya baik -- karena bila suatu negara gagal untuk mempertahankan dukungan dari seorang adidaya, maka usaha timbal balik dari adidaya pihak seberang akan membludak dan dalam beberapa hal, bisa mengubah negara itu dalam ukuran ekstrim (contoh paling umum adalah Vietnam Selatan yang merupakan sebuah negara dengan sistem demokratis, di mana ketika AS menarik pasukannya dari Perang Vietnam negara ini hanya bertahan selama dua tahun sebelum ditaklukan Vietcong dan bergabung dengan Vietnam Utara dalam pemerintahan komunis, mengubah sebagian besar tatanan Vietnam Selatan (yang sebagian besar merupakan pemberian AS) yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua puluh tahun. 

Terlepas dari membludaknya aktivitas militer skala kecil di negara-negara tertentu, dan tingginya intensitas kiamat nuklir akibat ancaman perang nuklir antar kedua adidaya, keadaan Perang Dingin membawa kondisi unik dalam peradaban manusia, di mana keberadaan senjata mematikan di kedua belah pihak justru menjamin keberlangsungan perdamaian dalam skala besar -- yang pada akhirnya dapat membawa kejayaan ekonomi kepada beberapa negara saat itu, diantaranya adalah Jepang, Jerman, dan Yugoslavia.

Sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya, senjata -- dan perdamaian nuklir sejatinya berdiri paradoks dari keadaan "perdamaian" itu sendiri, karena meski berhasil menghindari perang dalam skala besar (di mana dua perang skala global baru benar-benar terjadi dalam lima puluh tahun terakhir pada saat itu) tingginya intensitas politik kedua adidaya pada saat itu justru malah mengorbankan kekuatan-kekuatan yang lebih kecil, yang seringkali berakhir menjadi konflik militer. 

Terlepas dari usaha pasifis kedua belah pihak adidaya untuk menghindari konfrontasi langsung, ego dan dominasi kedua belah pihak tidak bisa diabaikan bahkan demi alasan kemanusiaan sekalipun -- membuat dominasi adidaya nuklir menjadi ingatan buruk kepada negara-negara yang pernah jatuh di dalam dominasinya (contohnya seperti Indonesia di mana kekuasaan Suharto mendapat sokongan kuat dari AS, sedangkan di saat yang sama melakukan kerusakan di struktur pejabat pemerintahan dengan praktik KKN dan penghilangan kepada aktivis saat itu). 

Meski Perang Dingin dianggap sudah usai dengan bubarnya Uni Soviet pada 1991 tidak membuat aktivitas dominasi kekuatan nuklir benar-benar menghilang -- AS sebagai adidaya tunggal terus meluaskan ambisi politisnya, yang paling terkenal diantaranya adalah Perang kepada Irak di bawah Saddam Hussein (Perang Teluk, 1991), dan invasi yang kemudian diikuti dengan Perang di Afghanistan (2001 -- 2021) dan sokongan terhadap beberapa kekuatan regional, seperti sokongan terhadap Arab Saudi, yang tengah bersaing dengan Iran yang merupakan musuh politis Amerika (posisi yang akhirnya membuat Iran mencoba menginisiasi senjata nuklirnya sendiri -- posisi yang juga diserang oleh AS dan beberapa kekuatan lain) (Bahgat 2007).

Beberapa pendapat membantah konotasi negatif dari partisipasi tersebut dengan anggapan bahwa AS juga membawa nilai-nilai modernisme seperti liberalisme, demokratisme, dan kapitalisme kepada negara-negara yang notabene memiliki indeks rendah dalam nilai-nilai tersebut, dan paritisipasi mereka diharapkan dapat membawa negara bersangkutan kepada perdamaian dan standar yang sama dengan negara-negara yang sudah lebih stabil dan baik keadaannya di bawah AS (misal seperti negara-negara Eropa, Jepang dan Korea Selatan). 

Pendapat tersebut bukannya tiada salah -- karena dalam catatan partisipasi mereka tidak selamanya menunjukan hasil yang baik (baik itu partisipasi di era Perang Dingin atau sesudahnya) di mana justru malah menghasilkan efek sebaliknya -- banyak negara-negara "bentukan" AS gagal untuk memberikan hasil yang diharapkan oleh tatanan dunia modern, membawa noda dan ingatan kelam atas partisipasi internasional Amerika Serikat sejak Perang Dingin (di mana kasus paling baru di Afghanistan, di mana partisipasi AS telah mengeluarkan dana triliunan dolar untuk membangun kembali Afghanistan, membuat pemerintahan yang demokratis dan efektif, dan membiayai angkatan bersenjata Afghanistan untuk bisa mempertahankan kedaulatannya, hanya untuk tetap bertahan selama seminggu dalam serangan musuh ketika AS pergi).

Berbeda dengan kedua adidaya, kekuatan nuklir selanjutnya -- Britania Raya, Perancis dan Daratan Cina cenderung menghindari konflik kepentingan langsung yang disebabkan oleh persaingan persenjataan dengan memproduksi senjata nuklir secara "secukupnya". Persenjataan nuklir mereka adalah lebih untuk sebagai upaya pembalasan nuklir, menguatkan posisi mereka dalam geopolitik internasional meski tidak sekuat kedua adidaya. 

Meski arsenal persenjataan mereka tidak sebanyak kedua adidaya, pasokan mereka cukup untuk memastikan bahwa serangan nuklir atas mereka akan menelan biaya yang sangat mahal, baik itu secara materiil maupun politis. Ini juga yang tampaknya menjadi alasan proliferasi senjata nuklir Korea Utara. 

Terlepas dari posisi geopolitik negara ini yang tidak begitu banyak menguntungkan kepentingannya (Korea Selatan dan Jepang adalah sekutu dekat Amerika Serikat, musuh politik Korea Utara) (Barnaby 2005), usaha proliferasi mereka selain sebagai usaha pembalasan namun juga memiliki nilai propaganda: rezim Korea Utara perlu menunjukan kemampuan mereka untuk justifikasi cara mereka memerintah kepada rakyat mereka, dan di saat yang sama menunjukan bahwa Korea Utara tetap bisa bertahan dengan segala sanksi yang diberikan pihak asing (terutama AS) terkait isu kemanusiaan yang menyelimuti sang rezim (Solingen 2010). 

Melihat konteks geopolitik regional setempat, sejatinya posisi proliferasi Korea Utara juga menguntungkan Daratan Cina -- sebagai salah satu sekutu dekat Korea Utara sekaligus menjadikannya sebagai daerah penyangga (buffer zone) dari Korea Selatan, di mana hubungan rezim Daratan dengan Amerika Serikat yang sangat fluktuatif -- meski tidak selamanya rezim Daratan menyetujui aktivitas proliferasi Korea Utara, terlihat dengan ikutsertanya Daratan Cina terhadap sanksi PBB atas Korea Utara.

Sedangkan kedua kekuatan nuklir selanjutnya, India dan Pakistan, muncul akibat ketegangan geopolitik kedua negara. Sebagai satu  hubungan antar-negara yang paling fluktuatif di dunia, keadaan semakin menjadi ketika India mengadakan uji coba senjata nuklir mereka pada 1974, dan ditambah dengan eskalasi politik yang cepat yang sudah dimulai sejak adanya partisipasi India atas Perang Kemerdekaan Bangladesh yang kemudian diikuti dengan Perang India-Pakistan -- keduanya terjadi di tahun 1971 -- membuat Pakistan juga mengadakan program proliferasi senjata nuklir mereka sendiri pada tahun 1998, membuat kedua kekuatan politik di Asia Selatan ini memiliki kemampuan nuklir -- yang sekaligus menjamin keadaan pembalasan nuklir diantara keduanya.

Sebelum eskalasi semakin menjadi yang bisa berujung persaingan persenjataan, kekuatan-kekuatan nuklir yang lebih dulu ada (terutama Amerika Serikat) mengadakan intervensi dan mendinginkan suasana, yang pada akhirnya membuat kedua negara menyatakan bahwa senjata nuklir mereka adalah untuk memberi kekuatan pembalasan nuklir (Dittmer 2005), dan India, lebih jauh menyatakan tidak akan melakukan serangan langsung (first strike) atas arsenal nuklirnya.

Melihat kuatnya ketertarikan kekuatan-kekuatan dunia untuk melakukan proliferasi dan potensi kehancuran yang dapat ditimbulkan dari senjata nuklir, lima kekuatan nuklir awal (yang juga anggota tetap Dewan Keamanan PBB) membuat perjanjian Non-Proliferasi (NPT) yang membatasi akivitas proliferasi senjata nuklir untuk negara-negara lain (Brenner 1981)(Nah 2018). Tidak semua pihak menyambut baik perjanjian ini, salah satu alasan utamanya bahwa perjanjian ini bersifat diskriminatif dan hanya semakin menjamin kelangsungan dominasi kekuatan nuklir awal (Krass, Boskma, Elzen dan Smit 1983). Korea Utara, India dan Pakistan tidak ikut menandatangani perjanjian ini atas alasan tersebut (Barnaby 2005).

Terlepas dari usaha non-proliferasi yang dilakukan kekuatan nuklir awal, ada dugaan usaha proliferasi yang dilakukan oleh negara-negara lain di luar yang sudah disebutkan sebelumnya. Hal ini tetap menjadi dugaan karena belum adanya kepastian dan konfirmasi atas keberadaan senjata tersebut -- baik itu dari negara bersangkutan maupun pengamat asing -- tetapi perkembangan dari pengamatan asing menunjukan adanya usaha proliferasi senjata nuklir. 

Ada dua negara yang sering disorot dalam dugaan ini, yaitu Israel dan Iran. Israel secara luas dianggap memiliki arsenal nuklir, meski tidak pernah ada konfirmasi pasti dari negara ini (Barnaby 2005). Iran -- menghadapi posisinya yang terisolasi karena embargo dari Amerika Serikat -- mulai mengadakan program senjata nuklir mereka sendiri tanpa intervensi siapapun, tetapi belum ada perkembangan yang menunjukan keberadaan hasil senjata nuklir dari program tersebut (Solingen 2010:211)(Barnaby 2005).. Israel tidak menandatangani perjanjian NPT, sedangkan Iran pernah meratifikasi NPT, namun dianggap sering melanggar.

Masyarakat sipil sangat memperhatikan potensi kehancuran dari senjata nuklir. Pandangan senjata nuklir atas kehidupan sipil hampir secara universal dipandang negatif: terutama atas alasan etis dan kemanusiaan. Dasar etika kemanusian atas penggunaan senjata nuklir senantiasa menjadi perdebatan di kalangan akademisi sejak pertama kali pengerahan senjata nuklir pada PD II -- baik itu dari tingkat kerusakan dan radiasi yang dihasilkan, serta potensinya untuk memicu bencana universal dari perang nuklir.

Demonstrasi sipil yang menyuarakan pelucutan senjata nuklir telah berlangsung sejak Perang Dingin, terutama ketika terjadinya ketegangan dari adanya persaingan persenjataan antar kedua adidaya. Kelompok perlucutan senjata nuklir termasuk Kampanye untuk Perlucutan Senjata Nuklir, Aksi Perdamaian, Konferensi Pugwash tentang Sains dan Urusan Dunia, Greenpeace, Soka Gakkai Internasional, Dokter Internasional untuk Pencegahan Perang Nuklir, Walikota untuk Perdamaian, Global Zero, Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir , dan Yayasan Perdamaian Zaman Nuklir. Ada banyak demonstrasi dan protes anti-nuklir besar-besaran -- bahkan di dalam adidaya nuklir terbesar itu sendiri, satu juta orang berunjukrasa di New York menuntut pelucutan senjata nuklir pada Juni 1982. Seruan anti-nuklir juga kuat di tingkat internasional, terutama di Jepang sebagai satu-satunya negara satu-satunya yang pernah diserang senjata nuklir (Roehrig 2017:40).

Tekanan anti-nuklir dari kalangan sipil membuat negara-negara tanpa nuklir ikut mendukung agenda anti-nuklir dan anti-proliferasi. Beberapa negara tanpa nuklir yang memiliki kekuatan geopolitik kuat melalui ekonomi -- sepreti Jerman telah ikut berkontribusi atas sanksi yang dijatuhkan atas usaha proliferasi nuklir atas Korea Utara dan Iran -- membuat setiap usaha porliferasi yang dilakukan kekuatan lain akan mempertimbangkan konsekuensi berat di tingkat politik dan ekonomi.

Dinamika politik senjata nuklir sejatinya mengingatkan bahwa perdamaian dalam peradaban manusia modern tidak berdiri di atas harga yang "murah". Perdamaian kini terjadi semata-mata karena usaha defensif dan menahan diri dari kemungkinan terjadinya perang nuklir yang pada akhirnya dapat menghancurkan peradaban manusia, membuat perdamaian seolah tak terhingga terasa begitu rapuh. Aktivis perdamaian sejatinya telah mendorong untuk pelucutan senjata - baik itu secara terbatas atau secara total, nuklir maupun bukan, namun mereka tidak bisa memberikan alternatif untuk menghadapi konsekuensi konflik militer, karena sebagian besar gagasan mereka bersifat utopis alih-alih pragmatis - sebuah anggapan yang juga seolah-olah memberikan justifikasi untuk senjata nuklir. Perdamaian kini berwujud sebagai paradoks dari keberadaan senjata pemusnah massal.

Kepemilikan senjata nuklir tidak bisa dianggap remeh, namun bukan berarti harus ditakuti. Konflik politik yang muncul karena sejata nuklir bisa dijadikan pembelajaran tentang harga dari perkembangan peradaban manusia: tentang apa harga dari perkembangan teknologi dan perdamaian yang dimiliki kehidupan manusia itu sendiri. Kesadaran akan potensi konflik politik dapat menambahkan keawasan dalam perspektif pragmatis bahwa potensi kehancuran peradaban akan senantiasa ada, terlepas dari usaha manusia itu sendiri untuk menghindari kemungkinan itu. Memiliki senjata nuklir bukan saja menambah kemampuan sebuah negara untuk melindungi diri, namun juga berpartisipasi atas kehancuran peradaban manusia.

Referensi

Baghat, Gawdat. 2007. Proliferation of Nuclear Weapons in the Middle East. Gainesville: University Press of Florida.

Barnaby, Frank. 1993. How Nuclear Weapons Spread : Nuclear-weapon Proliferation in the 1990s. London dan New York: Taylor & Francis e-Library.

Brenner, Michael J. 1981. Nuclear Power and Non-Proliferation: The remaking of U.S. policy. Cambridge: Cambridge University Press.

Dittmer, Lowell, ed. 2005. South Asia's Nuclear Security Dilemma: India, Pakistan, and China. Oxon: Routledge.

Guertner, Gary L. 1990. Deterrence and Defence in a Post-Nuclear World. Hampshire: The Macmillan Press Ltd.

Krass, Allan S, Peter Boskma, Boelie Elzen, Wim A. Smit. 1983. Uranium Enrichment and Nuclear Weapon Proliferation. Solna: Stockholm International Peace Research Institute.

Mearsheimer, John J. 2001. The Tragedy of Great Power Politics. New York : Permissions, W. W. Noerton & Company, Inc.

Nah, Liang Tuang. 2018. Security, Economics and Nuclear Non-Proliferation : Morality Keeping or Surrendering the Bomb. Cham: Palgrave Macmillan.

Roehrig, Terence. 2017. Japan, South Korea, and the United States Nuclear Umbrella. West Sussex: Columbia University Press.

Solingen, Etel., ed. 2012. Sanctions, Statecraft, and Nuclear Proliferation. Cambridge: Cambridge University Press.

Waltz, Kenneth N. 1979. Theory of International Politics. Reading: Addison-Wesley Publishing Company.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun