Mohon tunggu...
Ilham Khaliq
Ilham Khaliq Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asal Tangerang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dinamika Politik dari Kekuatan Pemusnah Massal

20 Desember 2021   13:23 Diperbarui: 23 Desember 2021   17:48 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Sedangkan kedua kekuatan nuklir selanjutnya, India dan Pakistan, muncul akibat ketegangan geopolitik kedua negara. Sebagai satu  hubungan antar-negara yang paling fluktuatif di dunia, keadaan semakin menjadi ketika India mengadakan uji coba senjata nuklir mereka pada 1974, dan ditambah dengan eskalasi politik yang cepat yang sudah dimulai sejak adanya partisipasi India atas Perang Kemerdekaan Bangladesh yang kemudian diikuti dengan Perang India-Pakistan -- keduanya terjadi di tahun 1971 -- membuat Pakistan juga mengadakan program proliferasi senjata nuklir mereka sendiri pada tahun 1998, membuat kedua kekuatan politik di Asia Selatan ini memiliki kemampuan nuklir -- yang sekaligus menjamin keadaan pembalasan nuklir diantara keduanya.

Sebelum eskalasi semakin menjadi yang bisa berujung persaingan persenjataan, kekuatan-kekuatan nuklir yang lebih dulu ada (terutama Amerika Serikat) mengadakan intervensi dan mendinginkan suasana, yang pada akhirnya membuat kedua negara menyatakan bahwa senjata nuklir mereka adalah untuk memberi kekuatan pembalasan nuklir (Dittmer 2005), dan India, lebih jauh menyatakan tidak akan melakukan serangan langsung (first strike) atas arsenal nuklirnya.

Melihat kuatnya ketertarikan kekuatan-kekuatan dunia untuk melakukan proliferasi dan potensi kehancuran yang dapat ditimbulkan dari senjata nuklir, lima kekuatan nuklir awal (yang juga anggota tetap Dewan Keamanan PBB) membuat perjanjian Non-Proliferasi (NPT) yang membatasi akivitas proliferasi senjata nuklir untuk negara-negara lain (Brenner 1981)(Nah 2018). Tidak semua pihak menyambut baik perjanjian ini, salah satu alasan utamanya bahwa perjanjian ini bersifat diskriminatif dan hanya semakin menjamin kelangsungan dominasi kekuatan nuklir awal (Krass, Boskma, Elzen dan Smit 1983). Korea Utara, India dan Pakistan tidak ikut menandatangani perjanjian ini atas alasan tersebut (Barnaby 2005).

Terlepas dari usaha non-proliferasi yang dilakukan kekuatan nuklir awal, ada dugaan usaha proliferasi yang dilakukan oleh negara-negara lain di luar yang sudah disebutkan sebelumnya. Hal ini tetap menjadi dugaan karena belum adanya kepastian dan konfirmasi atas keberadaan senjata tersebut -- baik itu dari negara bersangkutan maupun pengamat asing -- tetapi perkembangan dari pengamatan asing menunjukan adanya usaha proliferasi senjata nuklir. 

Ada dua negara yang sering disorot dalam dugaan ini, yaitu Israel dan Iran. Israel secara luas dianggap memiliki arsenal nuklir, meski tidak pernah ada konfirmasi pasti dari negara ini (Barnaby 2005). Iran -- menghadapi posisinya yang terisolasi karena embargo dari Amerika Serikat -- mulai mengadakan program senjata nuklir mereka sendiri tanpa intervensi siapapun, tetapi belum ada perkembangan yang menunjukan keberadaan hasil senjata nuklir dari program tersebut (Solingen 2010:211)(Barnaby 2005).. Israel tidak menandatangani perjanjian NPT, sedangkan Iran pernah meratifikasi NPT, namun dianggap sering melanggar.

Masyarakat sipil sangat memperhatikan potensi kehancuran dari senjata nuklir. Pandangan senjata nuklir atas kehidupan sipil hampir secara universal dipandang negatif: terutama atas alasan etis dan kemanusiaan. Dasar etika kemanusian atas penggunaan senjata nuklir senantiasa menjadi perdebatan di kalangan akademisi sejak pertama kali pengerahan senjata nuklir pada PD II -- baik itu dari tingkat kerusakan dan radiasi yang dihasilkan, serta potensinya untuk memicu bencana universal dari perang nuklir.

Demonstrasi sipil yang menyuarakan pelucutan senjata nuklir telah berlangsung sejak Perang Dingin, terutama ketika terjadinya ketegangan dari adanya persaingan persenjataan antar kedua adidaya. Kelompok perlucutan senjata nuklir termasuk Kampanye untuk Perlucutan Senjata Nuklir, Aksi Perdamaian, Konferensi Pugwash tentang Sains dan Urusan Dunia, Greenpeace, Soka Gakkai Internasional, Dokter Internasional untuk Pencegahan Perang Nuklir, Walikota untuk Perdamaian, Global Zero, Kampanye Internasional untuk Menghapuskan Senjata Nuklir , dan Yayasan Perdamaian Zaman Nuklir. Ada banyak demonstrasi dan protes anti-nuklir besar-besaran -- bahkan di dalam adidaya nuklir terbesar itu sendiri, satu juta orang berunjukrasa di New York menuntut pelucutan senjata nuklir pada Juni 1982. Seruan anti-nuklir juga kuat di tingkat internasional, terutama di Jepang sebagai satu-satunya negara satu-satunya yang pernah diserang senjata nuklir (Roehrig 2017:40).

Tekanan anti-nuklir dari kalangan sipil membuat negara-negara tanpa nuklir ikut mendukung agenda anti-nuklir dan anti-proliferasi. Beberapa negara tanpa nuklir yang memiliki kekuatan geopolitik kuat melalui ekonomi -- sepreti Jerman telah ikut berkontribusi atas sanksi yang dijatuhkan atas usaha proliferasi nuklir atas Korea Utara dan Iran -- membuat setiap usaha porliferasi yang dilakukan kekuatan lain akan mempertimbangkan konsekuensi berat di tingkat politik dan ekonomi.

Dinamika politik senjata nuklir sejatinya mengingatkan bahwa perdamaian dalam peradaban manusia modern tidak berdiri di atas harga yang "murah". Perdamaian kini terjadi semata-mata karena usaha defensif dan menahan diri dari kemungkinan terjadinya perang nuklir yang pada akhirnya dapat menghancurkan peradaban manusia, membuat perdamaian seolah tak terhingga terasa begitu rapuh. Aktivis perdamaian sejatinya telah mendorong untuk pelucutan senjata - baik itu secara terbatas atau secara total, nuklir maupun bukan, namun mereka tidak bisa memberikan alternatif untuk menghadapi konsekuensi konflik militer, karena sebagian besar gagasan mereka bersifat utopis alih-alih pragmatis - sebuah anggapan yang juga seolah-olah memberikan justifikasi untuk senjata nuklir. Perdamaian kini berwujud sebagai paradoks dari keberadaan senjata pemusnah massal.

Kepemilikan senjata nuklir tidak bisa dianggap remeh, namun bukan berarti harus ditakuti. Konflik politik yang muncul karena sejata nuklir bisa dijadikan pembelajaran tentang harga dari perkembangan peradaban manusia: tentang apa harga dari perkembangan teknologi dan perdamaian yang dimiliki kehidupan manusia itu sendiri. Kesadaran akan potensi konflik politik dapat menambahkan keawasan dalam perspektif pragmatis bahwa potensi kehancuran peradaban akan senantiasa ada, terlepas dari usaha manusia itu sendiri untuk menghindari kemungkinan itu. Memiliki senjata nuklir bukan saja menambah kemampuan sebuah negara untuk melindungi diri, namun juga berpartisipasi atas kehancuran peradaban manusia.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun