Mohon tunggu...
Ilham Hadinugraha
Ilham Hadinugraha Mohon Tunggu... Freelancer - Pemula

Writter, Reader and More.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pahlawan di Selembar Kertas

5 Januari 2020   05:57 Diperbarui: 5 Januari 2020   05:51 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam telah hilang. Tidak ada keramaian yang menghantarnya pulang. Hanya angin malam musim penghujan yang menemaninya, menggiring pertemuan dengan Tuhannya bersama dosa-dosa yang telah ditebusnya dengan aliran darah yang mengucur hebat dari urat lehernya.

Purnama bersembunyi di balik awan hitam pekat sedari tadi. Seakan enggan menjadi saksi. Gagak bertengger di atas pohon akasia tempat ia bersandar. Bersimpuh malu pada kenangan masa lalu.

Gagak berkoak memanggil kawanannya. Bahwa selesai sudah takdir Purnawan di malam ini. Telah datang segerombol kawanan gagak berkerubung bersama jasadnya di saat rona putih menguntit di ufuk timur. Tetapi tidak ada cahaya yang terlihat di sana. Hanya kejam dendam yang terbalaskan dengan rintik hujan yang akhirnya datang menjemput ajalnya.

***

Sepuluh tahun yang lalu.

Sepulang dari surau aku melipir ke warung mbah Darjo untuk menarik bayaran kerupuk ibu yang setiap pagi biasa dititipkannya. Mbah Darjo mengambilkan untukku beberapa lembar 'foto pahlawan bersenjatakan pedang', menambahkan gorengan tempe dan memintaku duduk sebentar di kursi warungnya.

"Duduk sebentar Nak, aku segera menutup warungku." ucap Mbah Darjo. Aku hanya menganggukkan kepala dan menghabiskan tempe dingin yang diberikannya. Meraba kantong bajuku sebentar dan bergumam, "Mbah Pattimura, akulah yang menjagamu disini," seraya mengelus-elus dadaku. "Mereka yang menginginkanmu pun akan takut dengan pedangmu, begitulah timbal balikmu untuk menjagaku." pikirku seraya tersenyum polos.

Mbah Darjo mengantarkanku hingga gang rumahku. Aku masih memikirkan Pahlawanku. Sepanjang perjalanan pulang aku diceritakannya tentang pahlawan itu, senjata pedangnya dan kisah-kisah heroik perjuangan bangsa kita melawan penjajahan.

Aku tidak mengenal penjajahan, yang aku tau hanyalah jika keranjang kerupukku masih tersisa berarti besok pagi laukku adalah air putih bercampur garam--tentu aku tak senang itu; Sesampainya di depan pintu rumah aku mengangkat setengah tanganku yang membawa keranjang itu dan berkhayal bahwa yang kuangkat adalah pedang yang tajam dan gagah--senjataku melawan hidup; Tidak, keranjang tidak bisa membunuh seorang pun!

***

Sembilan tahun yang lalu.

Ibu mengatakan padaku, "Aku tidak akan mencintai siapa pun selain kamu nak," Seraya mencium keningku, "dan almarhum bapakmu."  

***

Delapan tahun yang lalu.

Seraya merapikan kamar aku memperhatikan foto kusam yang terpajang di tembok kamar. Mengkhayalkan bahwa aku pernah bertemu dengannya. Tidak, sepertinya aku lupa pernah hidup bersamanya.

Perhatianku teralihkan. Aku menemukan sesuatu yang menakjubkan pagi itu. Kursi masih tidak menjangkauku untuk melihat apa yang kuraih, tetapi aku tau. Pusaka itu akan tetap disitu.

"Naaaaaaak, cepat antarkan kerupuk ituuuuu!"

Aku melompat dari kursi dan berlari menghampiri ibu. Mencium tangannya dan bergegas pergi ke warung. Sesampainya, aku menyapa sejenak mbah Darjo tanpa menyadari bahwa pusaka itu telah ditakdirkan untuk malam itu.

***

Tujuh tahun yang lalu.

Mbah Darjo, biasa orang memanggilnya. Pemilik warung di ujung kampung kami. Laki-laki enam puluh tahunan tempat biasa aku menitipkan keranjang kerupukku. Sore selepas bermain bola ia menghampiriku dan bertanya apakah aku bisa dimintakan bantuan, aku mengiyakan dan di sinilah aku kini.

Setelah aku persilakan duduk, aku pergi ke dapur dan membuatkan kopi untuknya. Di teras depan rumah ia membicarakan sesuatu yang kurang kupahami maksudnya tetapi menyadari satu hal.

Ibu tidak pernah semurung itu!

***

Enam tahun yang lalu.

Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahku. Sudah tidak ingin merepotkan keluargaku. Aku ingin ikut bersama pamanku saja. Mengantar barang dagangannya ke pasar. Menghabiskan siangku di sana. Mengangkut dan menurunkan barang dagangan di sana dan apa saja yang bisa kulakukan.

Mula-mula pamanku tidak setuju. Ia berujar bahwa lebih baik untukku menyelesaikan saja sekolahku. Tetapi sadar juga bahwa hidup dengan tiga putranya dan ditambah aku, tidak cukup juga penghasilannya dan membiarkan aku menemaninya.

Awalnya aku hanya diberikan tugas untuk mengangkut dan menurunkan barang dagangannya saja, tetapi melihat tenagaku yang besar ia juga memintaku untuk membantu warung sebelahnya, sebelah warungnya dan sebelahnya lagi dan akhirnya aku adalah kuli pasar itu. Anak remaja tanggung yang mehabiskan hari-harinya dengan karung beras dan bersak-sak barang dagangan pasar.

Remaja lain mengenal buku, aku mengubur masa lalu.

***

Lima tahun yang lalu.

Mbah Darjo sudah tidak lagi menjaga warung dagangannya. Tidak pula berada di desa kami. Rumahnya juga sudah tidak ditempatinya. Tetangganya menceritakan bahwa mbah Darjo telah memiliki rumah baru di Kampung Utara.

Pak RT adalah orang yang mengantarkan aku ke rumah pamanku waktu itu, padahal mbah Darjo adalah orang yang kuinginkan untuk mengantarkanku. Tetapi pak RT juga berpesan bahwa ialah yang bertanggung jawab kepada warganya. Belum mengerti pula aku waktu itu, juga masih dilanda kesedihanku akan nasib yang menimpaku.

Aku pulang hari ini. Dan memang tidak kutemukan mbah Darjo. Padahal banyak hal yang ingin kuceritakan padanya. Aku ingin mbah Darjo tau bahwa aku telah menjadi pahlawan dalam hidupku sendiri saat ini.

Di rumahku, tidak ada bagiku yang tersisa. Aku hanya mengunjungi sebentar dan meninggalkannya kotor dan tak terurus. Hanya membawa barang yang telah kukhawatirkan beberapa bulan terakhir. Syukur batinku bahwa ia tak kemana-mana. Masih di tempat yang sama.

Pusaka pernikahan almarhum bapak, siwar panjang[1] yang akhirnya bisa kusaksikan hari ini dengan mata kepalaku sendiri.

***

Empat tahun yang lalu.

"Aku menceritakan rahasia ini agar kau tau, aku bibimu, masih tidak bisa menerima hal itu."

"Aku mengenal baik ibumu, orang yang mencintai dengan sangat bapakmu. Dan tidak ada keraguan akan hal itu."

"Bapakmu meninggal saat kamu baru berusia dua tahun. Tetapi ibumu berjanji tidak akan menikah lagi. Dan siap menjadi tulang punggung keluargamu demi kamu."

"Itulah mengapa aku menceritakannya. Agar kau tau, bahwa ibumu mengorbankan hidupnya untukmu, maka jangan kau sia-siakan itu!"

"Aku hanya mau kau menjadi orang baik seperti kampung ini mengenal dirimu,"

"...dan jangan pernah ubah itu."

Saat itulah aku hanya akan menghabiskan sisa umurku untuk menemukannya, Darjo Punarwan.

***

Setelah malam itu.

Aku terbangun kaget ketika segerombolan warga mendatangiku. Polisi mengamankanku dan tidak ada sedikit pun perlawanan yang kulakukan. Lagipula setelah malam itu, setelah tiga tahun penantianku, tidak ada lagi penjajahan atas hidupku.

Polisi menarik kedua tanganku ke balik punggunggku. Memborgolku dan membawaku ke tempat di mana aku akan menghabiskan sisa hidupku. Masih terngiang jelas teriakannya yang menyumpahiku sebagai Anak Laknat! dan bagaimana setelah itu darah mengucur deras dari urat lehernya. Tidak ada lagi yang layak kuingat setelah itu. Tidak perlu ada ucapan selamat tinggal untuknya.

Darjo Punarwan, gambar diriku mungkin tidak akan pernah terpajang--jika tidak dikatakan mustahil; di selembar uang kertas. Namun pada akhirnya, bagiku, aku adalah pahlawan meski pun banyak manusia-manusia yang tidak akan menerima dan bahkan mengutuk semua yang pernah aku lakukan.

Manusia "Sia-sia berusaha memisahkan kebajikan dari kejahatan dalam samudera kehidupan yang tak henti-hentinya berubah dan mencampur-adukkan yang baik dan yang buruk" sehingga tak mampu menangkap dan memahami semua hakikat tingkah laku orang lain.[2]

[1]Siwar Panjang adalah sebuah pedang lurus, rata, pipih dan ringan yang 2 matanya tajam seperti silet.

[2]Catatan Pangeran Nekhlyudov (1857) oleh Leo Tolstoi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun